Sebenarnya ini adalah hal yang sulit dalam perjalanan hidup gue, apalagi untuk menceritakan kembali masa itu. Masa yang bisa gue bilang masa kelam, masa yang kelabu, dan mungkin hampir hancur. Gue sempat berdebat dengan diri sendiri, antara mau menceritakan bagian ini atau enggak. Tapi setelah gue minta saran dan pendapat Bunda dan Ayah, mereka bilang it's ok, yang penting gue tahu mana bagian yang boleh untuk diceritakan, dan mana yang cukup menjadi cerita kita saja. Oke maka dari itu, dengan membaca bismillah, gue akan kasih tahu kalian sebuah rahasia.
Saat itu usia gue baru tujuh tahun. Nggak banyak yang gue ingat. Tapi, bagian dimana Ayah bertengkar dengan Bunda, itu nggak akan pernah gue lupakan. Seumur hidup gue, mungkin. Ketika itu tengah malam melihat Bunda menangis dan Ayah yang berteriak kencang, membuat gue ketakutan. Kita hanya bertiga dalam satu rumah itu. Karena lagi libur panjang, mbak pamit pulang dan sopir juga lagi ijin.
"Ayah kenapa? Ayah..." teriak Bunda malam itu disertai dengan tangisan.
Gue melihat semuanya. Tapi gue nggak punya keberanian untuk mendekat. Gue hanya bisa melihat dari balik pintu kamar gue. Sementara Ayah dan Bunda ada di dapur. Kebetulan kamar gue dan dapur berhadap-hadapan.
"Ayah. Lihat Bunda, yah. Kenapa bisa seperti ini?" berkali-kali Bunda mengoyok badan Ayah. Tapi Ayah tetap diam.
Yang gue lihat saat itu adalah Ayah marah-marah nggak jelas. Seperti orang kesurupan.
"DIAM KAMU!" bentaknya kepada Bunda.
Untuk kesekian kalinya Bunda dibentak dan sepanjang bentakan itu pula Bunda kaget. Karena ini adalah untuk pertama kalinya Bunda diperlakukan seperti itu oleh Ayah.
"PERGI KAMU DARI SINI."
Nggak lama setelah itu, terdengar suara barang pecah. Saat gue lihat, dilantai sudah berceceran pecahan piring. Entah berapa piring yang Ayah banting. Nggak cukup hanya membanting piring, Ayah juga sempat mendorong Bunda sampai terjatuh ke lantai. Melihat Bunda yang tersungkur di lantai, gue langsung lari menghampiri. Gue peluk erat Bunda kesayangan gue.
"Ayah jahat! Arka benci sama Ayah!"
Kalimat spontan yang keluar dari mulut gue pada saat itu.
Mendengar omongan gue. Sepersekian detik sorot mata tajam Ayah beradu dengan mata gue.
"Sini kamu!" Ayah menarik badan gue dengan kasar. Lalu mendudukkan gue di atas meja makan.
"Dasar anak kurang ajar!" bentaknya. Tangan kanannya diangkat. Hampir saja gue ditampar, seandainya Bunda telat menghalangi. Melihat hal itu, Bunda berbalik menampar Ayah, hingga akhirnya tersungkur di atas meja. Kali ini Ayah seperti orang yang nggak punya tenaga. Bahkan untuk bangun saja seperti nggak ada kekuatan. Matanya terpejam. Bunda buru-buru ambil gue. Kita berdua saling berpelukan satu sama lain.
"Bunda, mulut Ayah bau apa?"
"Nggak ada sayang. Mungkin Ayah lagi kecapean."
Gue diam. Gue menerima jawaban Bunda. Saat itu gue berpikir bahwa orang yang sedang capek itu akan marah-marah dan membuat kacau rumah. Gue nggak tahu kalau sebenarnya Ayah sedang ada dalam pengaruh alkohol. Iya. Ayah mabuk berat. Saat usia gue baru menginjak angka 7, gue harus menyaksikan pemandangan yang mengerikan dari orang-orang yang gue sayangi, di dalam rumah yang gue pikir memberikan rasa aman dan tenang.
Ayah mencederai harapan indah Arka kecil tentang keluarga.
Situasi yang sangat tidak baik dalam masa pertumbuhan seorang anak. Ayah yang seharusnya menjadi panutan justru memberikan contoh yang nggak baik. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa peran orang tua itu sangatlah penting dalam proses tumbuh kembang anaknya.
Memang benar kata orang. Laki-laki di uji kesetiaannya saat dia punya segalanya. Dan perempuan diuji kesetiannya saat dia mau atau tidak membersamai lelakinya dari nol. Nggak semua orang diberi privilage, dia dilahirkan di keluarga yang berada, mempunyai nama, jabatan, dll. Dan Ayah Rasyid adalah termasuk orang yang beruntung itu. Begitu pun dengan Bunda. Tapi, Ayah kurang beruntung dalam hal kasih sayang dari keluarga. Pola asuh yang diterima Bunda dan Ayah jauh berbeda. Dan hal itu yang membuat pendirian Ayah mudah goyah.
๐๐๐
Dari kejadian Ayah gue menyadari, bahwa menjadi anak seorang pemabuk itu bukan hal yang mudah, terutama dalam bergaul dengan teman-teman. Meski gue masih kecil, teman-teman main gue saat itu nggak mau berteman dengan gue. Katanya, ibu mereka melarang. Karena gue anak seorang pemabuk. Yang bisa saja sewaktu-waktu Ayah melukai siapa pun. Termasuk teman main gue. Benar-benar nggak adil bagi gue. Ayah yang salah, kenapa gue harus ikut menanggung akibatnya?
Keadaan normal ternyata hanya berjalan dua bulan saja. Setelah itu, Ayah kembali lagi. Kesabaran Bunda kembali di uji. Cara Tuhan isi ulang kesabaran Bunda memang unik.
"Bunda kenapa Ayah selalu capek?"
"Karena Ayah banyak kerjaan sayangku," kata Bunda masih dengan senyum. Meski senyumnya tipis sekali. Dan lebih terlihat seperti senyuman palsu.
"Kalau gitu Ayah nggak usah kerja, Bun. Biar Ayah nggak capek. Kalau Ayah nggak capek, Ayah nggak akan marah-marah dan Bunda nggak akan nangis lagi."
Bunda tersenyum. Lalu peluk gue.
"Ayah harus kerja. Tapi, Ayah nggak boleh capek, oke?"
"Kalau Ayah capek terus? Bunda akan nangis terus?"
Bunda menarik gue agar duduk dipangkuannya. Laku berkata, "Bunda janji sama Arka. Bunda nggak akan nangis lagi."
"Tapi Bunda. Arka nggak suka Ayah yang teriak-teriak. Arka benci Ayah."
"Sayangku, Bunda minta tolong, boleh?"
Gue mengangguk.
"Mulai sekarang Kalau Arka lihat Ayah pulang kerja dan Ayah capek. Arka berdoa sama Allah ya. Arka minta tolong sama Allah biar Ayah menjadi Ayah baik lagi."
Melihat Ayah sendiri mabuk adalah masa-masa kelam dalam hidup gue. Rasa takut berlebih yang gue rasakan saat itu berlangsung lumayan lama. Hampir setiap sabtu minggu, gue lihat Ayah dalam kondisi mabuk. Dan saat itu juga, gue dan Bunda menjadi sasaran amukan Ayah. Kita berdua seperti tahanan yang ada dalam sel yang sama dengan seorang pembunuh. Serem. Melihat kondisi Ayah pada saat itu, nggak ada jaminan gue dan Bunda selamat. Karena yang namanya orang mabuk, pasti nggak bisa mengontrol dirinya. Nggak bisa mengendalikan emosinya.
Seiring berjalannya waktu,berkat kesabaran Bunda dan doa yang nggak pernah putus, Ayah kembali lagi ke jalan yang benar. Nggak pernah lagi gue lihat Bunda nangis tengah malam. Nggak pernah lagi gue lihat Ayah pulang kerja jalannya sempoyongan, baju acak-acakan, dan mulut bau alkohol.
Sekarang, kalau gue membahas momen pada saat itu, Ayah selalu bilang kalau dia sangat malu pernah menjadi seorang pemabuk. Dan Ayah juga selalu mewanti-wanti gue, agar jangan sampai meniru apa yang dulu pernah dia lakukan. Menjadi seorang Ayah adalah jabatan yang sangat dia dambakan dalam hidupnya. Sedangkan menjadi seorang Manajer dalam sebuah perusahaan adalah jabatan yang menghancurkannya. Ayah terlalu bangga, tinggi hati, dan lupa diri. Karena merasa punya jabatan yang mentereng. Punya uang dan lingkungan yang salah. Akhirnya Ayah ikut terpengaruh.
Peran penting seorang istri ketika suami sedang nggak baik-baik saja. Mendampingi, mengingatkan, mendoakan. Doa adalah kekuatan yang tiada duanya. Mengadu kepada Sang Pencipta, berserah, dan yakin pasti akan ada jalan keluar yang terbaik.
Kesabaran Bunda benar-benar terbentuk karena kelakuan 'nakal' Ayah.