Chereads / ARKANA : Imperfect Love / Chapter 16 - Bertemu

Chapter 16 - Bertemu

Apa hal yang membuat lo semangat menjalani hidup ini? Alasan apa yang menggugah semangat lo untuk meraih impian? Apa jadinya jika yang menjadi alasan lo itu tiba-tiba menghilang? Apa yang akan lo lakukan? Apakah lo hanya diam meratapi nasib? Atau berteriak menuntut keadilan kepada Tuhan? Rasanya nggak etis sekali kalau gue berani protes ke Tuhan. Tapi pada akhirnya, lo harus terima apa yang sudah digariskan Tuhan dan terus melanjutkan hidup, sesuai dengan tujuan lo di awal.

Gue, Arka Derrien Mahendra, memilih pilihan yang terakhir. Berusaha untuk menerima dan berdamai dengan segala keadaan yang terjadi di hidup gue. Sedih, senang, susah, kecewa. Dan sebenarnya itu bukan pilihan yang sulit. Gue hanya perlu kesadaran yang baik untuk mengambil keputusan yang tepat.

Memang benar. Guru terbaik adalah pengalaman. Tuhan pasti menciptakan keadaan beserta dengan pelajaran dan pengajaran. Semakin dewasa gue semakin memahami banyak hal. Termasuk menjadi 'penipu' ulung. Gue juga bingung dapat keahlian itu dari mana. Yang jelas terkadang keahlian gue itu sangat diperlukan di saat-saat tertentu. Seperti sekarang. Ketika gue bertemu dengan Naira tanpa persiapan sama sekali. Bunda kembali berulah. Ditambah lagi sekarang ada Ayah.

"Kamu nggak mau ajak Ayah room tour?"

"Room tour apa Ayah?"

"Halah, kamu jangan belaga nggak tau gitu. Ayo. Cepet!" gertaknya.

Maka dengan sangat terpaksa gue menuruti keinginan Ayah. Meninggalkan Bunda dan Naira berdua. Biar, gue ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan. Gue penasaran juga apakah Naira akan cerita ke Bunda, atau malah pura-pura nggak ada apa-apa. Kapan lagi ada momen seperti itu.

Selama hampir satu jam gue keliling Cafe dengan Ayah. Gue menjelaskan secara detail sudut demi sudut. Konsep gue bikin Cafe ini dengan Niko. Dan awal mula Niko ajak gue bisnis. Gue senang bisa berbagi cerita dengan Ayah. Sesuatu yang mahal.

"Idenya keren. Jadi kapan mau buka cabang?" tanyanya sembari kembali ke tempat duduk semula.

"Hah? Belum kepikiran Ayah."

"Mau Ayah cariin tempat yang bagus?"

"Ya, boleh sih. Tapi kan ini usaha Arka bareng Niko. Jadi ya, nanti deh Arka ajak Niko ketemu Ayah."

Dan Ayah menyetujui.

Dengan jarak lima meter, gue melihat Bunda dan Naira sedang bercanda. Sepertinya. Karena Naira terlihat tertawa. Begitu pun Bunda. Ya, nggak diragukan lagi. Dari dulu memang mereka dekat. Bahkan kedekatan mereka sempat membuat gue cemburu, pada saat itu. Karena Bunda pasti akan selalu ada di pihak Naira, kalau kita sedang berantem.

Beneran. Momen kali ini akward banget buat gue. Dan gue yakin Naira juga. Lo bayangin. Kita udah benar-benar lost contact lama banget. Tiba-tiba nggak ada angin, nggak ada hujan, Bunda mempertemukan kita tanpa sepengetahuan gue. Dan gue yakin Naira juga kena jebakan Bunda.

"Lo sekarang sibuk banget ya pasti," Gue mencoba memulai lagi pembicaraan.

Naira hanya membalas dengan anggukan kepala. Setelah itu dia kembali bertanya.

"Lo sendiri?"

"Ya, seperti yang lo lihat sekarang."

Setelah itu kembali senyap. Tidak ada perdebatan panjang seperti dulu. Membahas hal konyol, hal yang ga penting sama sekali. Semua sudah berbeda.

"Bun, Naira ini kan sahabatnya Arka, kok kayak orang baru kenal begini?" Tanya Ayah.

Bunda hanya mengamati kita berdua. Melihat gue, setelah itu beralih ke Naira. Hmmm, sepertinya Bunda sudah tahu kalau gue dan Naira sedang berkonflik. Tapi mungkin belum tahu permasalahan yang sebenarnya apa. Dan juga belum mengetahui tentang kehadiran si manusia kulkas dalam kehidupan Naira.

"Ah masak sih Yah. Perasaan Ayah aja kali. Ya kan Nai," gue mencoba untuk sok asik.

Naira pun mengangguk menyetujui.

"Halah, gayamu itu loh. Meskipun Ayah ini jarang pulang, tapi Ayah itu punya mata-mata tau. Jadi Ayah tau segalanya."

"Ahh itu mah bisa-bisaannya Ayah aja. Emang siapa mata-mata Ayah?"

"Hemm..." Ayah menyembulkan lidahnya melalui pipi sebelah kanannya. Itu artinya mengarah ke Bunda.

Sepanjang pembicaraan kami Naira hanya diam seribu bahasa. Sesekali dia ikut tertawa kecil mendengar guyonan Ayah.

Jujur, sebenarnya banyak banget yang mau gue tanyain ke Naira. Tapi gue bingung mulai dari mana. Kedekatan yang selama ini kita berdua bangun, seketika rusak. Sekarang seperti ada tembok besar yang menghalangi kita, bahkan untuk sekedar ngobrol sekali pun.

Sekarang, gue mengandalkan Bunda dan Ayah yang akan membuka obrolan. Gue hanya akan menimpali obrolan mereka. Itu pun kalau seru dan nyambung dengan selera humor gue. Ya,lo pasti paham kan seperti apa jayusnya lawakan bapak-bapak? Lagi pula, apa maksud Bunda ajak Naira? Nggak bilang sebelumnya.

Saat gue lagi melamun, mikir kira-kira apa yang terjadi dengan Naira, tiba-tiba gue teringat momen ketika dia membentak gue dan bilang kalau gue sudah berubah. Sementara sampai sekarang gue masih bingung. Sikap gue yang mana yang menurut Naira sudah berubah. Apa mungkin karena gue terlalu sibuk dengan kegiatan gue. Tapi kan, sesibuk-sibuknya gue, gue selalu ingat dia. Gue selalu berusaha ada buat dia. Semampu gue.

Seolah paham dengan gelagat gue, Bunda dan Ayah tiba-tiba saja pamit duluan dan meninggalkan kita berdua. Ah, Ayah Bunda memang the best. Mereka mengerti tanpa harus gue kasih tahu. I Love you Ayah Bunda. Muuaahhh hehehehe.

Setelah memastikan Ayah dan Bunda sudah benar-benar nggak terlihat lagi, gue mulai mengumpulkan niat untuk menginterogasi Naira. Tapi untuk saat ini berbeda dengan saat gue interogasi dia waktu kabur dari rumah dulu. Gue yakin kali ini sedikit lebih sulit. Tapi gue akan melakukannya. Demi kedamaian hidup gue.

Oke, langsung saja. Rasa penasaran gue perihal Tristan muncul di otak paling pertama.

"Jadi gimana?"

"Apanya gimana?"

"Ya hubungan lo sama si kulkas."

"Namanya Tristan," jawabnya memperjelas. Lalu menyeruput lemon tea. Kesukaannya.

"Ya itu maksud gue. Si Tristan."

"Ya, nggak gimana-gimana."

"Sejak kapan lo pacaran sama dia? Kenapa lo nggak cerita sama gue Nai? Kan gue sahabat lo? Kenapa gue jadi orang yang nggak tahu menahu soal ini? Bahkan mungkin orang yang terakhir tau."

"Karena..."

Belum sempat dia menjawab sepenuhnya, gue memotong ucapannya.

"Lo udah anggep gue nggak penting lagi?"

Gue melihatnya sekilas.

"Nai," dia menatap mata gue. Deg, seketika hati gue berdebar dengan cepat. "Lo masih inget janji kita dulu kan?"

Dia mengangguk pelan.

"Ya terus kenapa lo nggak kasih tau gue? Kenapa lo ngejauh dari gue? Kenapa lo nggak mau ngomong sama gue?"

Dia masih diam. Sedari tadi memainkan sedotan yang di putar-putar di ujung gelas.

"Naira, ngomong lah, jangan diem aja. Bilang Nai, salah gue dimana? Kasih tau gue. Marahin gue. Tampar gue kalau perlu. Tapi jangan diemin gue kayak gini."

Mulutnya masih terkunci rapat. Astaga, demi Tuhan. Anak ini kenapa sih? Kenapa sekarang dia jadi pendiam? Dimana Naira gue yang bawel dulu? Siapa yang berani ambil itu semua?

"Naira, please."

"Karena lo terlalu sibuk, Arka. Lo tau kan seberapa pentingnya lo bagi gue? Bahkan gue ngerasa udah ketergantungan sama lo. Tapi saat gue ada masalah, saat gue butuh lo. Lo sibuk dengan semua kegiatan-kegiatan lo itu."

Gue mengambil napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya pelan-pelan.

"Tapi kenapa lo nggak bilang ke gue kalau lo ada masalah?"

"Elo sibuk Arka. Lo sibuk. Lo sadar nggak sih?"

Gue mengangguk menyetujui. Karena memang gue sibuk banget dan saat gue pikir-pikir lagi, selama berbulan-bulan gue bahkan hampir nggak pernah libur. Ada saja kegiatan. Bahkan jarang di rumah juga.

Berarti memang benar. Gue yang salah.