Chereads / ARKANA : Imperfect Love / Chapter 15 - Benjiro Menjadi Saksi

Chapter 15 - Benjiro Menjadi Saksi

Hari ini gue menjadi Arka, anak Bunda Syafira. Bukan Arka si penyanyi yang lagi naik daun itu.

Setelah bersepeda dan menjadi detektif di toko bunga langganan Bunda, jadwal gue selanjutnya adalah ke Benjiro. Tapi sebelum ke Benjiro gue pulang dulu untuk mandi. Dan nggak mungkin juga gue ke Benjiro bawa sepeda. Yang ada kaki gue jadi kayak tulang presto. Lemes.

Kaos dark grey, berpadu dengan kemeja navy polos, jeans hitam, dan topi putih. Pas gue lihat di kaca, ganteng juga gue. Ya, nggak jelek-jelek amat lah. Masih aman jalan dibawa ke kondangan. Hahaha.

Eh iya, gue lupa bilang. Topi yang gue pakai ini hadiah dari Naira. Bukan kado ulang tahun. Nggak tahu dalam rangka apa, tiba-tiba saja dia kasih hadiah ke gue, pada saat itu. Dan ngomong-ngomong soal Naira, Gue kangen banget sama dia. Rasanya lama banget gue nggak berdebat sama dia, nggak hangout bareng, dan gue juga udah nggak bisa lihat keanehannya, tawanya. Ah, sial. Gue sekarang benar-benar kehilangan dia.

Naira, gue tau, suatu saat nanti lo pasti bakal baca buku ini. Dan saat lo baca buku ini, mungkin lo udah bahagia dengan pasangan lo. Dan gue, akan tetep anggep lo sahabat gue kok. Gue nggak akan pernah lupa dengan janji kita dulu. Gue akan selalu ada kapan pun lo butuh gue.

Berkali-kali sebenarnya gue mau hubungin dia. Tapi nggak tahu kenapa, gue takut. Bukan takut Naira marah. Tapi kayak ada sesuatu yang dengan spontan mencegah gue buat nggak ngelakuin itu. Mungkin karena hadirnya Tristan dan hubungan kami akhir-akhir ini. Naira menempatkan gue di situasi yang rumit. Dengan dia semakin menjauh dari gue, seolah-olah gue adalah trouble maker, penyebab persahabatan kita berantakan.

Padahal, dulu kita sering banget membicarakan tentang masa depan kita berdua. Tentang rencana setelah lulus SMA.

"Ka, abis ini gue mau kuliah," katanya waktu itu. Saat kami sedang asik makan bakso di pinggir jalan sepulang sekolah.

"Iyalah. Nggak kuliah lo mau ngapain? Mau nikah lo?"

"Gila lo. Nikah muda maksud lo? Belum siap gue."

Gue terus menyuap bakso. Sementara dia seperti lagi berkhayal indah masa-masa kuliah.

"Pokoknya nanti gue mau jadi Desainer muda yang sukses."

Gue masih terus makan bakso sambil terus mendengarkan ceritanya.

"Kalau lo, Ka?"

"Gue?"

"Iya. Lo mau lanjut kemana?"

"Ke Depok. Hahaha."

Dia menatap mata gue dengan tatapan tajamnya. Lalu menghembuskan napasnya dengan cepat.

"HAHAHA NGGAK LUCU!"

"Ya kan gue udah pernah bilang, kalau gue bukan pelawak. Ya wajar kalau gue nggak lucu."

"Gue serius Arka."

"Ya gue juga serius Naira."

"Tau ah. Gue BT sama lo!"

Gue sengaja nggak mau jawab. Karena gue udah punya plan sendiri yang berbanding terbalik dengan tujuan dia. Tapi kalian pasti sudah tahu sifat Naira. Kalau dia nggak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban yang pas, menurut versi dia.

Setelah makan-makan selesai, barulah gue bilang, kalau gue mau fokus ke karir gue dulu selama satu tahun atau dua tahun. Gue mau mengembangkan hobi gue ke skala yang lebih luas lagi. Setelah itu baru gue akan lanjut kuliah.

"Kenapa?" tanyanya setelah mendengar penjelasan gue.

"Apanya?"

"Ya kenapa? Kan lo masih bisa nyanyi meskipun lo kuliah. Lo masih bisa ngelakuin hobi-hobi lo dan nggak harus nunda kuliah."

"Gue tau jalan seperti apa nanti yang akan terjadi kalau gue udah masuk dunia perkuliahan. Bakal sangat jauh berbeda dengan hobi gue. Dan, gue mau melakukan itu full 100% sepenuh hati gue. Gue nggak mau fokus terpecah-pecah. Gue juga nggak mau ngecewain Ayah gue."

"Sok bijak lo." Setelah itu tawanya terkekeh.

Begitulah Naira. Selalu ada pembahasan disetiap pertemuan. Dan selalu ada perdebatan di setiap pembahasan.

Lo tahu nggak sih Nai, gue kangen banget sama lo.

Rindu yang akan terus gue pendam. Rindu yang mungkin nggak akan bisa lagi gue sampaikan dengan sempurna. Rindu yang ternyata memang berat. Benar apa yang dikatakan Dilan. Kalau nggak kuat mending jangan coba-coba memelihara rindu. Pesan untuk gue sendiri. Rasakan semua elemen rasa itu. Rindu, kesal, marah, sedih, kecewa, bahkan penasaran juga. Terima semuanya, setelah itu pasti akan lebih baik. Pelan saja. Nggak perlu tergesa-gesa.

Banyak hal yang memang terjadi di luar kendali kita sebagai manusia. Dan kita, bukan hanya harus menerima saja, tetapi juga alangkah baiknya ketika kita bisa belajar dari banyaknya hal yang terjadi dalam hidup ini.

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Benjiro Cafe. Sebuah nama sebuah cerita. Gue masih merasa kalau ini semua seperti khayalan gue selama ini. Seperti mimpi, gue bisa punya usaha sendiri di usia gue yang terbilang masih muda. Kalau boleh jujur, terjun ke dunia bisnis adalah langkah yang cukup berani. Karena gue nggak punya pengalaman bisnis sama sekali sebelumnya. Tapi gue bersyukur, punya sahabat seperti Niko, yang mau berbagi ilmu dan mau mentoring gue dalam bisnis kita ini.

Melihat bangunan yang lumayan besar ada di depan mata gue. Melihat tulisan 'Benjiro Cafe' tertulis dengan jelas di depannya, membuat hati gue semakin terharu. Boleh kan, gue bangga sama diri sendiri. Cuma bangga kok. Nggak membangga-banggakan diri. Setelah puas memandangi Benjiro dari depan, gue masuk dan langsung mencari keberadaan Bunda. Dan... Sebuah pemandangan yang hanya bisa gue lihat dalam diam. Inikah yang Bunda maksud tadi?

Gue menghembuskan napas perlahan. Lalu melanjutkan langkah menghampiri Bunda beserta dua orang seperti yang Bunda katakan tadi pagi.

"Ayah," sapaan gue membuat ketiganya kaget. Ayah langsung bangkit dan memeluk gue. Diikuti dengan Bunda.

"Putraku," ucap Ayah menepuk pundak gue.

"Kok Ayah nggak bilang sama Arka?"

"Enggak surprise dong kalau bilang-bilang," sahut Bunda membuat pelukan Ayah terlepas.

"Bunda sekarang udah jago ya bikin surprise gini. Oke, lihat ya pembalasan Arka nanti."

"Apa sih Arka. Udah ayo duduk."

"Oh iya, ini ada temen kamu loh, Ka," kata Ayah.

Gue menengok ke kanan. Pucuk dicintai ulama pun tiba. Naira. Iya dia hadir. Dia di depan gue sekarang.

"Hai. Apa kabar?"

"Baik. Lo sendiri gimana?"

"Gue juga baik. Alhamdulillah."

Setelah itu senyap. Semua diam. Sumpah. Ini momen canggung banget. Gue sama Naira seperti dua bocah yang baru pertama kali bertemu. Kaku. Bukan seperti sahabat yang sudah lama. Bahkan Naira lebih banyak diam. Dia bukan Naira yang gue kenal dulu. Yang banyak tingkahnya, yang selalu ingin tahu segala hal. Ke mana perginya Naira gue yang petakilan itu?

Tapi, di balik semua pertanyaan-pertanyaan gue itu, gue bersyukur karena Naira masih mau bertemu gue. Ya, meskipun gue tahu, alasan dia datang pasti karena Ayah Bunda. Bukan karena gue. Tapi bodoh amat. Yang penting gue bisa lihat wajah Naira yang imut dan menggemaskan. Style rambutnya sudah berubah. Dia sudah nggak menggulung rambutnya menjadi dua lagi. Hari ini dia bahkan menggerai rambutnya keritingnya itu.