Sebuah rutinitas yang mulai membuat gue jenuh. Berkecimpung di dunia musik memang cita-cita gue. Dan gue juga bahagia bisa mewujudkan itu. Tapi yang membuat gue merasa jenuh adalah orang-orang di sekitar gue atau bahkan orang yang nggak kenal gue secara pribadi, mulai toxic. Terkadang mereka membuat gue ada dalam sebuah tekanan yang gue sendiri pun sulit untuk menjelaskannya.
Gue bersyukur sudah diberi kesempatan untuk mewujudkan impian gue, menjadi penyanyi yang di kenal banyak orang. Bisa membuat keluarga bangga. Tapi, dibalik itu semua, gue mendapat pelajaran yang lebih penting dari sekedar materi. Yaitu attitude. Bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan baik, kepada siapa pun, tanpa memandang dia siapa, asalnya dari mana, ketika posisi gue sedang diagung-agungkan oleh banyak orang. Gue terus mengingatkan diri gue sendiri bahwa uang tidak bisa membeli etika. Kesuksesan nggak boleh melunturkan hal baik yang sudah tertanam dalam diri sejak dulu. Benih kebaikan yang sudah diajarkan harus tetap tumbuh. Nggak boleh layu, apalagi mati.
Dan dari semua yang terjadi dalam hidup gue akhir-akhir ini, ada keadaan yang sampai sekarang masih agak asing buat gue pribadi. Kalau dulu gue bisa berteman dengan siapa pun atau bisa foto dengan perempuan mana pun, sekarang ruang gerak gue mulai terbatas. Seperti beberapa waktu lalu, saat gue melakukan sesi pemotretan untuk salah satu brand. Dan entah dari mana asalnya, mereka dapat bts nya dan langsung nyerang akun sosmed gue dan partner gue. Namanya Ranty.
Kalau dibiarkan semakin lama, yang kena adalah psikologis gue dan mungkin orang-orang di sekitar gue juga. Karena itulah sekarang gue mulai membatasi diri untuk tidak terlalu aktif di sosmed, kecuali untuk pekerjaan. Gue juga sangat menghindari posting apa pun yang berhubungan dengan keluarga gue. Bunda, Ayah, cukup tahu gue menjadi Arka yang dikenal banyak orang, tanpa perlu tahu seperti apa pusingnya gue menghadapi fans-fans toxic gue.
"Arka mau sarapan apa?" tanya Bunda tiba-tiba saat gue lagi sibuk main gitar. Membubarkan lamunan gue.
Gue lihat sekilas. Dan kaget. Bunda cantik sekali pagi ini. Pakai baju yang gue pilih waktu kita belanja bareng. Highwast warna hijau tosca berpadu dengan kemeja broken white.
"Bunda.. cakep amat. Mau kemana sih?"
"Bunda mau ketemu seseorang," jawabnya tanpa menyebut nama. Membuat gue penasaran.
"Oh ya? Siapa?"
"Ada deh."
"Dih. Bunda apa sih?"
"Kepo ya kamu," gelak tawanya meledek gue.
"Bunda nggak seru ah."
"Udah. Nanti juga kamu bakal tau sendiri. Kamu pasti seneng ketemu sama dia."
Setelah duduk di samping gue. Bunda kedipin satu matanya sambil tersenyum.
Aih, genit sekali Bunda gue ini. Bener-bener sudah ketularan Ayah jahilnya.
"Jadi mau sarapan apa kamu?" tanyanya sekali lagi. Memastikan anaknya makan dengan baik sebelum dia pergi.
"Eemmm nasi goreng kayaknya enak, Bun."
"Siap tuan Arka. Segera laksanakan," ucapnya seraya melakukan gerakan hormat seperti sedang upacara bendera.
"Apa sih Bunda, ih. Kenapa sih? Kenapa hari ini centil gini?"
Bunda hanya membalas dengan senyuman penuh teka-teki. Menyebalkan sekali.
"Bun, dia laki-laki atau perempuan?"
"Dia siapa?"
"Orang yang mau Bunda temui itu loh."
"Dua-duanya," jawabnya sembari menuangkan nasi ke penggorengan.
Oke. Kalau begitu bukan dia. Lalu siapa? Bunda hari ini Arka libur shooting, libur nyanyi, berharap bisa menjalani hari minggu dengan tenang. Lah kok malah dikasih PR begini. Hmmm. Hati gue mulai ikut bergumam juga.
Setelah kurang lebih sepuluh menit, nasi goreng siap disantap. Nasi goreng daun jeruk kesukaan gue. Dan Bunda paling jago bikin itu.
Gue bersyukur sekali punya Bunda dalam hidup gue. Bunda cinta pertama gue. Perempuan yang menyayangi dan mencintai gue dengan setulus hati. Kasih sayangnya nggak pernah pudar. Meskipun gue sering bikin Bunda kesal, bahkan marah. Tapi Bunda nggak pernah benci sama gue. Dan gue yakin hal itu juga berlaku dalam kamus Ibu yang ada di seluruh dunia. Nggak ada ceritanya seorang Ibu membenci anaknya. Kalau pun ada, itu hanya 1 banding 1000.000, kalau menurut gue, ya. Dan pasti ada masalah juga dalam dirinya.
Sorry, kali ini gue kembali membahas Bunda Syafira. Tapi tenang, setelah ini gue akan cerita tentang Ayah Rasyid. Gue janji.
Pagi ini penampilan Bunda nenar-benar menarik perhatian gue. Iya sih, memang, Bunda selalu ingin tampil seperti anak muda. Jiwanya masih remaja, kalau gue bilang. Tapi kali ini tumben, Bunda mau pakai style yang gue pilih waktu itu. Sedangkan selera berpakaian gue dan Bunda sebenarnya beda banget.
"Bun, emang orangnya spesial banget ya?" gue masih terus berusaha mencari tahu.
"Ehm..."
Kita berdua berjalan menuju meja makan. Bunda membawa sepiring nasi goreng sedangkan gue mengekor di belakangnya, seperti anak kucing yang minta makan kepada tuannya. Setelah memastikan gue duduk dan makan, Bunda lalu beralih menuju kulkas dan mengambil air minum. Air mineral dingin. Seperti biasa. Gue nggak bisa minum air kalau nggak dingin.
Belum dapat jawaban yang memuaskan, gue kembali bertanya, "Orangnya seperti apa sih Bun."
Sebelum menjawab, Bunda tersenyum simpul. Lalu mengusap rambut gue, setelah meletakkan air minum.
"Jadi, orang yang akan Bunda temui ini, dua orang yang penting dalam hidup kamu. Mereka ini yang selalu buat kamu happy. Udah pokoknya itu cluenya."
Dan setelah melihat jam tangan. Bunda langsung pamit. sambil lari kecil mengambil tas hitam kebanggaannya, lalu berjalan keluar.
"Bunda nggak mau Arka antar?"
"Bunda bisa nyetir sendiri," jawabnya sedikit berteriak.
Oke. Selamat pagi hari minggu. Kali ini minggu gue dihiasi dengan ulah Bunda yang berhasil bikin gue penasaran. Untuk mengalihkan rasa penasaran itu, gue memutuskan untuk olahraga. Dan karena baru beli sepeda, maka gue memutuskan untuk bersepeda. Sekalian juga gue mau menuntaskan rasa penasaran gue yang lain. Astaga, kenapa hidup gue berhiaskan rasa penasaran begini? Hahaha kocak memang.
๐๐๐
Seorang lelaki berperawakan tinggi sekitar 170cm, badan kurus, rambut cepak, dan hampir tiap hari memakai hoodie, kadang juga bertopi. Sepertinya koleksi hoodie-nya banyak banget. Karena setiap kali gue ketemu dia, selalu pakai hoodie. Ya, laki-laki itu adalah Tristan. Pacarnya Naira. Katanya. Tapi gue nggak yakin mereka benar-benar saling mencintai.
Dan satu orang lagi, perempuan manis berambut panjang dan tinggi semampai. Ini adalah kali kedua gue lihat dia. Gue nggak tahu sebenarnya dia siapanya si Tristan. Dan itulah yang akan gue cari tahu sekarang. Niat gue ingin istirahat di hari libur, seketika lebur, saat gue ingat si kulkas dengan perempuan manis itu.
"Libur menjadi penyanyi, gue beralih profesi jadi detektif. Semua ini gue lakuin karena lo nggak cerita ke gue, Nai. Lo kenapa sih sebenernya? Ada apa Nai?"
"Mas..." panggil abang ketoprak yang tempatnya gue jadikan sebagai pos pantau.
"Iya bang. Ngagetin aja."
"Kesini lagi? Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Masih sama kayak kemarin Bang Mail."
Bang Mail hanya mengangguk-angguk paham.
Iya. Nama tukang ketopraknya adalah Ismail. Biasa dipanggil Bang Mail. Dan tiga hari yang lalu gue juga melakukan hal yang sama seperti yang sedang gue lakukan sekarang. Tapi nihil. Karena perempuan manis itu nggak ada di tempat. Akhirnya penyelidikan berlanjut hari ini.
"Bang boleh deh ketopraknya satu."
"Siap mas."
Terpantau perempuan manis itu sedang merapihkan tanaman-tanaman. Sedangkan si kulkas lagi sibuk telfonan. Mungkin sama Naira. Nggak lama setelah itu, Tristan pergi dengan buru-buru. Meninggalkan perempuan itu seorang diri. Hmmm kesempatan bagus.
Setelah memastikan Tristan semakin jauh, gue melipir ke toko bunga.
"Ada yang bisa dibantu?" suara perempuan manis itu bener-bener ngagetin gue yang lagi celingukan.
"Eh, iya. Gue mau beli bunga."
"Bunga yang seperti apa, mas?"
"Yang paling bagus disini yang mana?"
"Kalau menurut saya ini mas," sembari menyodorkan bucket bunga Aster berwarna Ungu.
Dalam hati gue, sama kayak yang disukai Bunda.
"Kalau yang biasanya orang beli itu yang mana?"
Dia beralih mengambil bucket bunga mawar merah. Lalu menunjukkannya ke gue.
"Bucket mawar yang paling banyak orang beli. Baik itu mawar merah, putih, atau pun Pink."
"Oke, kalau gitu gue ambil mawar merah aja, tapi gue mau ada 999 jenis dan yang dua kuntum warna putih."
Trik yang bagus Arka. Dengan begitu lo punya waktu sedikit lebih lama untuk ngobrol. Karena perempuan itu harus merangkaikan bunga dengan jumlah yang banyak.
"Udah lama kerja disini?"
"Udah. Kebetulan ini punya sendiri."
"Oh sorry, sorry. Jadi toko bunga ini punya lo? Kirain baru ada. Soalnya gue baru liat."
Sebuah basa-basi yang membosankan sekali Arka.
Ya, iya gue baru lihat. Selama ini kan gue nggak pernah ke toko bunga. Selama Bunda tinggal sama gue saja, gue kenal sama toko bunga-bungaan begini.
Belum lengkap semua pertanyaan gue, tiba-tiba Bunda telfon, meminta gue untuk datang ke Benjiro. Dengan sangat terpaksa penyelidikan gue hentikan. Dan mungkin akan berlanjut kalau gue ada waktu.
See you di Benjiro guys ๐ค