Pemilik senyum terindah adalah Bunda. Pemilik sabar terhebat adalah Bunda. Pemilik cinta luar biasa juga Bunda. Perempuan terbaik dalam hidup gue adalah Bunda. Bunda pemenangnya. Disana tempat gue mencari tahu elemen-elemen rasa dalam hidup ini. Seperti saat gue ingin tahu seperti apa itu ketulusan. Saat gue lihat Bunda, gue mendapatkan itu dari sorot matanya, hatinya dan perilakunya. Gue mau belajar sabar, gue lihat Bunda. Dan gue menemukan itu. Lalu saat gue ingin tahu seperti apakah cinta itu? Bagaimana caranya ikhlas? Dengan melihat Bunda, gue menemukan jawaban dari kegelisahan dan kegundahan yang gue rasa.
Meskipun gue anak tunggal. Tapi gue bukan tipe anak manja yang setiap saat bisa gelendotan dan bergantung dengan fasilitas yang orang tua gue punya. Tapi gue memilih untuk belajar mandiri. Gue nggak mau hanya mengandalkan keistimewaan dari keluarga gue.
Untuk masalah mandiri, gue memang bisa, tapi gue nggak bisa hidup tanpa Bunda. Gue akui, dibanding dengan Ayah, gue lebih dekat dengan Bunda. Mungkin karena Ayah juga jarang ada di rumah. Dan lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. Jadi gue lebih sering menghabiskan waktu bareng Bunda. Dan itu terjadi sejak gue kecil.
Meskipun lebih dekat dengan Bunda, dan Ayah sibuk mencari nafkah, bukan berarti hubungan gue dengan Ayah nggak akur. Itu salah. Sejak awal gue menulis buku ini, memang gue jarang sekali atau bahkan mungkin nggak pernah membahas tentang Ayah gue. Karena mungkin gue terbiasa sama Bunda, jadi yang gue bahas Bunda. Tapi, oke. Hari ini, 02 Agustus 2020, bertepatan dengan hari spesial Ayah. Gue akan perkenalkan Ayah gue melalui sedikit cerita waktu gue masih kecil.
Ayah gue namanya Rasyid Mahendra. Seorang konsultan bisnis. Ayah Rasyid adalah Ayah sekaligus suami yang hebat, menurut gue. Bertanggung jawab dan juga disiplin waktu. Sedangkan untuk karakter dan sifat, nggak jauh beda sama gue. Ayah itu orangnya tegas. Tapi dibalik sikapnya yang tegas, Ayah adalah orang yang kocak, jahil, dan suka bikin Bunda kesel. Banyak momen-momen masa kecil yang tersimpan rapi di ingatan gue. Baik itu momen yang manis atau pun pahit. Semua tersimpan rapi di masanya, yang nantinya akan gue ceritakan ke anak-anak gue, bahwa gue di didik oleh orang tua yang luar biasa. Seluar biasa apa sih? Nanti ada saatnya gue kasih tahu. Tapi, sebelum kisah itu sampai ke telinga anak-anak gue, kalian yang akan tahu. Iya, soalnya gue belum punya anak. Hahahaha.
Momen pertama yang terlintas di pikiran gue adalah, saat Ayah dan Bunda jemput gue dari sekolah. Saat itu gue baru masuk kelas 4 SD. Bunda duduk di depan, di samping Ayah yang lagi nyetir. Dan gue duduk di belakang sambil memantau tulisan-tulisan yang ada di jalanan. Hobi baru gue saat itu, yaitu membaca setiap tulisan yang gue lihat di jalan. Saking senangnya karena baru bisa baca tanpa mengeja.
Sekitar sepuluh menit perjalanan, gue sama Bunda mulai merasa ada bau yang aneh di dalam mobil. Lalu Bunda melihat ke belakang. Melihat ke arah gue dan mengamati sekitar. Celingukan mencari sumber bau. Barangkali menemukan sesuatu yang sudah basi.
"Ayah kentut, ya?" tanyanya setelah memastikan tidak ada apa-apa di sebelah gue.
"Enggak. Kata siapa?" jawab Ayah sambil terus fokus mengemudi.
"Ini baunya."
"Ah, perasaan Bunda aja kali. Mana ada Ayah kentut."
"Enggak. Bunda udah hafal. Ini bau kentut Ayah."
Nggak lama kemudian Ayah kentut lagi. Dan kali ini ada bunyinya.
"Tuh kan..." jawab Bunda penuh keyakinan.
"Hayo, Bunda sama Arka mau ngapain?"
"Buka kaca, Ayah."
Gue di belakang mengangguk. Menyetujui dan juga mengikuti apa yang akan Bunda lakukan.
"Hehh nggak bisa. Orang lagi hujan gini kok kacanya di buka. Nanti airnya masuk semua loh."
Lalu Bunda mengurungkan niatnya. Begitu pun gue. Benar juga apa yang dikatakan Ayah. Hujannya lumayan lebat. Akhirnya gue sama Bunda terpaksa menahan bau kentut Ayah selama beberapa menit lamanya. Melihat kami menutup hidung masing-masing dengan lengan baju, Ayah terlihat sangat puas sekali tertawa.
Itu hanyalah satu dari sekian momen kocak gue bareng Ayah. Nanti gue akan ceritakan lebih lanjut lagi, hal-hal yang bisa membuat kalian semua tertawa.
"Hari ini Bunda nggak mau ke mana gitu?" Tanya gue menghampiri Bunda yang lagi asik merangkai bunga di ruang tamu.
"Enggak. Emang mau ke mana?"
"Ya, Arka nggak tau. Kali aja Bunda minta dianterin ke mana gitu?"
"Emangnya kamu nggak sibuk?"
"Hari ini, waktu Arka untuk Bunda seorang. Bunda mau ke mana? Ayo, Arka anter."
Mendengar jawaban gue, Bunda langsung tersenyum simpul. Ia lalu meletakkan rangkaian bunga terakhirnya, dan beralih posisi duduk menghadap ke arah gue.
Setelah mengambil tangan gue dan menggenggamnya, Bunda berkata, "Sebenarnya hari ini Bunda nggak mau ke mana-mana. Tapi, kalau kamu maksa, ya sudah kita ke toko bunga saja. Gimana?"
"Oke, lets go Bundadariku. Arka ambil dompet dan kunci mobil dulu."
"Bunda tunggu di depan ya," ucapnya sedikit berteriak setelah keluar dari kamar dan membawa tas hitam favoritnya. Hadiah ulang tahun dari Ayah tahun lalu.
๐๐๐
"Toko bunga langganan Bunda, kan?"
Bunda hanya membalas pertanyaan gue dengan mengangkat kedua alisnya sambil mengangguk.
Bunda memang penggila bunga. Atau lebih tepatnya tanaman. Semenjak Bunda tinggal bareng gue, bagian depan rumah gue jadi seperti toko tanaman. Banyak banget jenis-jenis tanaman yang gue sendiri nggak tahu namanya. Yang gue hafal, Bunda suka banget sama bunga mawar, Lily dan bunga Aster. Selebihnya gue nggak paham sama sekali. Dan bukan hanya di depan rumah, di dalam rumah pun, jadi ada hiasan-hiasan bunga. Setiap seminggu sekali Bunda mengganti bunga-bunga yang layu. Katanya saat-saat merangkai bunga itu adalah hal yang paling dia sukai. Karena bisa menaikkan imun tubuhnya. Katanya lagi, keindahan bunga-bunga yang dirangkai itu bisa memberikan energi yang positif. Dan memang gue sering liat Bunda happy banget kalau sudah berurusan dengan tanaman dan bunga.
"Kamu mau nungguin di sini aja?" tanya Bunda begitu sampai di depan toko Bunga. Namanya 'Trendy Garden'.
"Bunda duluan aja. Arka mau angkat telefon dari Niko dulu."
Bunda berjalan menuju toko bunga. Saat Bunda asik dengan bunga- bunga yang hendak dibeli, gue sibuk membahas meeting untuk besok pagi dengan Niko. Kurang lebih lima menit waktu yang gue butuhkan untuk berbicara dengan Niko.
"Gimana, Bun?"
"Ini, Bunda udah milih."
"Mawar merah aja, Bun?"
"Iya. Kan tiga hari lalu Bunda baru beli."
"Kenapa nggak ambil semua warna aja Bun, biar bagus," kata gue yang sok ngerti tentang bunga.
Bunda menimpali pertanyaan gue dengan senyuman tipis sambil menggelengkan kepalanya. Nggak lama pemilik toko bunganya keluar. Dan Seketika mata gue terbelalak, saat pemiliknya keluar membawa bingkisan bunga yang sudah di pilih sama Bunda.
"Tristan??"
Nggak lama setelah itu, keluar juga seorang perempuan cantik. Rambutnya lurus, panjang sampai siku. Dan saat dia tersenyum, terlihat manis sekali karena gingsul di gigi bagian kanannya.
Jujur saat itu juga, pikiran gue mulai aneh-aneh. Gue nggak bisa berpikir positif lagi, begitu melihat si Tristan dengan perempuan itu. Mereka juga kelihatannya sangat akrab. Untungnya, gue lebih dulu keluar sebelum dia lihat gue.
Lama gue menyaksikan interaksi antara Bunda, Tristan dan perempuan manis itu. Mereka berdua ramah sekali dengan Bunda. Iya itu memang harus. Menghormati setiap pembeli yang datang ke toko mereka. Tapi, keakraban yang ditunjukkan si manusia kulkas dengan perempuan itu sangat mencuri perhatian gue. Mereka berdua bukan seperti dua orang yang baru kenal. Dari body languange- nya terlihat sekali mereka sudah lama saling kenal.
"Naira gimana ya? Dia tau nggak ya kalau si manusia kulkas itu sama cewek lain di belakang dia."
๐๐๐
Sebuah kebanggaan bagi gue bisa menemani jalan-jalan perempuan yang paling gue sayang di dunia ini. Quality time berdua. Mendampingi ke mana pun langkah kakinya. Dan begitu gue lihat sorot matanya, di sana terpancar kebahagiaan. Bagi gue senyumnya adalah ketenangan. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang gue sayangi bahagia.
Lebih dari delapan jam gue dan Bunda keliling-keliling kota. Dari siang sampai malam. Mulai dari beli bunga sampai belanja, makan-makan, bahkan kita berdua nongkrong di Cafe, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Bunda Syafira memang the best. Bisa beradaptasi dengan anaknya yang remaja ini. Bunda bisa dengan mudah mengikuti jaman. Meski usianya tidak muda lagi, tapi Bunda Syafira adalah Bunda yang jiwanya selalu muda. Dia bisa membaur dengan siapa pun, tapi tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Itu yang selalu gue contoh. Kita bisa berbaur dengan siapa saja, tapi tetap memfilter baik atau buruknya cyrcle kita.
"Baru jam tujuh, Ka. Kenapa kamu ajak Bunda pulang?" ucapnya sepuluh menit setelah kita meninggalkan Cafe.
"Eehh, emang mau sampe jam berapa, Bun? Nggak baik tau perempuan nongkrong-nongkrong sendiri tanpa suaminya."
"Lo kan Bunda sama kamu."
"Dan Bunda selalu di kira kakaknya Arka."
"Hahaha kenapa sebel gitu mukanya?"
"Ya iyalah Bun. Kalau Bunda dikira Kakaknya Arka, artinya muka Arka boros banget dong?"
Bunda melihat wajah gue, lalu berkata, "Enggak kok. Anak Bunda masih muda, cakep juga, mirip banget sama Ayah. Cuma mungkin Bunda aja yang wajahnya terlalu seperti anak muda," ucapnya sambil meledek.
"Ya udah terserah Bunda aja. Eh iya Bun. Arka mau nanya."
"Apa?"
"Toko bunga tadi,"
"Kenapa toko bunganya? Bagus ya?"
"Iihh, bukan."
"Kamu mau beliin Naira bunga?"
"Bunda... Dengerin dulu atuh Bun..."
Tawanya terkekeh. Bunda memang begitu. Suka bercanda. Suka iseng. Mungkin ketularan Ayah.
"Menurut Bunda, perempuan yang tadi itu siapa?"
"Pemiliknya dong Arka. Emang siapa lagi?"
Mendengar jawaban Bunda, pikiran gue semakin kacau. Apa mungkin perempuan itu pacarnya Tristan? Atau istrinya? Apa mungkin mereka nikah muda? Atau Cuma karyawannya saja? Tapi kalau cuma karyawan, kok... Ah Tuhan, ini terlalu menyita pikiran gue. Huft.