--Benjiro Cafe menjadi saksi.--
"Gila bro, serius lo? Kira-kira reaksi pengunjung gimana ini?" Tanya gue setelah disodorin beberapa lembar kertas.
"Justru ini yang bakalan jadi ciri khas Cafe ini, Bro."
Gue coba mengingat daftar lagu awal tahun 2000-an yang bisa dibilang Hits pada masanya. Mulai dari Sheila on 7, Slank, Naff, Kerispatih, Ungu, Dewa, Peterpan yang sekarang jadi Noah. Lumayan menantang sebenarnya.
"Gue yakin, lagu-lagu mereka ini masih melekat di ingatan orang-orang, Bro. Dan anak-anak muda yang nggak tahu lagunya pun, gue rasa bakal fine-fine aja. Malah menikmati sekali. Gue yakin," ucapnya.
"Udah gue percaya sama lo, lo pasti bisa menarik perhatian pengunjung di hari pertama Cafe ini dibuka, dan sampai tiga hari ke depan," sambungnya penuh keyakinan.
Dialah Niko, Pengusaha muda yang bergerak di bidang kuliner dan otomotif. Niko ini salah satu sahabat gue yang juga selalu mensuport gue saat gue lagi down. Bahkan dia juga yang mendorong gue untuk bareng-bareng mengelola bisnis Cafe, yang lagi Grand opening. Kita sepakat kasih nama Benjiro Cafe.
Pengalaman pertama menjajal dunia bisnis. Disini peran Niko sangat besar. Dia bukan hanya sahabat saja, tapi juga mentor. Dia mengajarkan gue banyak hal di dunia yang baru gue jajal.
"Bro, gue tinggal ya. Ada meeting sebentar. Ntar lo mulai aja acaranya."
"Lah.. Gimana sih. Ini ntar gue harus ngapain? Kan bisnisnya kuta berdua, Bro. Masak gue sendiri sih?"
"Yaudah lo nyanyi aja. Acara resmi pembukaannya kan udah tadi siang. Malam ini tinggal have fun aja. Oke?!"
Nggak ada pilihan lain. Akhirnya gue mengiakan saran Niko. Malam ini gue harus mengisi acara di tempat gue sendiri. Di usaha gue. Ceileh... Belajar jadi pengusaha muda bro, gue. Eh enggak, berdua bareng Niko. Hahahaha.
Tepat pukul 20.00 gue mulai naik ke atas panggung mini yang memang sudah disiapkan. Bukan hanya untuk hari ini saja, tapi juga seterusnya.
Sesuai dengan kesepakatan. Bahwa lagu-lagu yang akan kita bawakan adalah lagu dari band ternama Indonesia. Tapi malam ini gue tertarik buat bawain beberapa lagu Sheila On 7, Dewa19 dan Naff. Mungkin sekitar sepuluh lagu.
Sephia, Itu Aku, Seberapa Pantas, Berhenti Berharap, Kau Masih Kekasihku, Akhirnya ku Menenukanmu, Pupus, Kangen, Separuh Nafas, Roman Picisan, Siapa yang nggak tahu lagu-lagu itu. Deretan lagu sejuta umat yang easy listening.
Hampir satu jam gue nyanyi. Satu persatu lagu dari band legend berhasil gue nyanyikan, baik secara akustik maupun full musik. Ya, lumayan juga ya guys rahang gue. Hahaha.
Di detik-detik gue bawain lagu terakhir, lagu milik Dewa19 โ Pupus, pandangan gue tertuju ke sudut meja di dekat pintu keluar. Meskipun terlihat dari belakang, tapi postur tubuh itu nggak asing di ingatan gue. Mulai dari gaya rambutnya, caranya duduk, dan style-nya. Gue kenal.
Akhirnya gue samperin. Dan ternyata benar.
"Naira..." Sapa gue tepat di sebelah dia.
Dia menoleh dengan mimik muka yang sangat kaget. Kedua bola matanya agak melotot, keningnya mengernyit.
"Lagi ngapain? Siapa dia?" Tanya gue kepada orang yang sedang bersama dengannya.
"Oh, kenalin. Gue Tristan Hariwijaya. Tapi lo boleh panggil gue Titan aja."
Tanpa diberi aba-aba orang itu memperkenalkan diri ke gue. Dalam hati gue, Dih... Sok asik banget nih orang. Siapa sih?! Tapi ya walau bagaimana pun gue harus menghargai dia.
"Arka," gue balik menyodorkan tangan, memperkenalkan diri.
Disini gue mengamati gerak-gerik Naira. Dia aneh. Gugup dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Loh kalian kok bisa saling kenal? Naira salah satu fans lo ya? Dia pasti pernah ketemu sama lo sebelumnya," tanyanya. Sepertinya dia sedikit banyak tahu tentang siapa gue. Tapi, dia nggak tahu hubungan gue dengan Naira. Itu artinya Naira nggak cerita tentang persahabatan kita ke cowok ini.
Hmmm... Siapa dia. Kenapa Naira nggak pernah cerita ke gue tentang orang ini. Sudah berapa lama dia kenal? Apa mungkin dia pacar Naira? Tapi kalau pacar, bagaimana bisa dia nggak cerita ke gue. Atau Cuma teman saja? Apa mungkin juga dia yang sudah bikin sikap Naira akhir-akhir ini berubah? Gue harus tahu semua ini. Bisa-bisanya dia nggak cerita ke gue.
๐๐๐
Hari ini sebenarnya adalah hari yang spesial buat Naira. Hari ini juga adalah hari dimana gue seharusnya menepati janji gue untuk membawa dia jalan-jalan ke Jogja. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Dan hari ini juga, rencananya gue mau ketemuan sama dia. Iya, gue tahu, kita memang lagi nggak baik. Eh sebentar. Bukan kita sebenarnya. Tapi dia. Cuma dia. Dia yang sepertinya sedang bermasalah. Entah dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain, tapi melampiaskannya ke gue. Sebagai sahabat sebenarnya gue nggak ada masalah dengan hal itu. Hanya saja gue khawatir dengan psikologis Naira. Niat gue ingin tahu permasalahan dia adalah gue ingin membantu. Barangkali gue bisa. Gue itu nggak tega dan nggak bisa lihat Naira uring-uringan seperti kemarin.
Oh iya, ini juga satu hal yang gue enggak suka dari Naira. Terkadang, dia itu suka menyembunyikan permasalahannya dan nggak mau cerita. Dia pendam sendiri.
Hari ini, pukul 13.00, gue meminta Naira untuk datang ke Benjiro. Gue bilang, ada yang perlu gue bicarakan ke dia. Dan gue harap dia mau datang. Karena selama di telefon, dia nggak bicara sama sekali. Ya Tuhan... Ada apa dengannya?
Pukul 10.00 gue berangkat, karena setengah jam kemudian, gue ada meeting dengan Niko. Sebelum berangkat gue mencoba untuk menghubungi Naira. Meskipun gue tahu, sangat kecil kemungkinan dia mau angkat. Tapi gue akan mencobanya.
Satu, dua, tiga kali panggilan gue nggak diangkat. Mungkin masih tidur. Selang sepuluh menit, sekali lagi gue mau telefon dia. Ternyata masih nggak diangkat juga.
'Jangan lupa pukul 13.00 nggak boleh telat. Gue tunggu ๏'
Whatsapp gue pun hanya di read sama dia.
It's oke Naira. Lo mau uji kesabaran gue? Oke, gue ladeni. Kita lihat, siapa yang akan kalah dalam hal ini. Sekeras Lo mau marah sama gue, Lo mau cuekin gue, sekeras itu pula gue akan terus sabar menghadapi elo. Setelah itu, mari kita lihat. Siapa yang bertahan. Elo dengan amarah lo yang nggak jelas itu, atau gue. Dengan ketenangan gue.
Sekitar dua jam, meeting baru selesai. Masih ada waktu setengah jam untuk menunggu Naira datang. Gue nggak sabar mau kasih kejutan ini ke dia. Pasti dia akan happy banget. Seperti yang dia katakan waktu itu.
Saat gue lagi duduk santai, tiba-tiba gue ingat Bunda. Hari ini gue belum menghubunginya. Dan sudah hampir sebulan gue nggak ketemu sama Bunda. Rindu sekali Bun, anakmu ini.
Oke. Telefon Bunda sepertinya hal yang tepat. Banyak yang ingin gue ceritain ke Bunda. Khususnya tentang Naira, kesayangan Bundadari. Siapa tahu, Bunda tahu sesuatu yang gue nggak ketahui.
"Assalamu'alaikum Bundadari yang manis tanpa pemanis buatan. Yang cantiknya sedang-sedang saja, karena sesuatu yang berlebihan itu enggak baik."
"Wa'alaikumussalam... Kamu ini, kebiasaan."
"Bunda apa kabar?"
"Bunda baik. Eh, tunggu sebentar, Ada apa ini? Tumben kamu telefon Bunda siang-siang."
"Ya Allah, Bun. Emang enggak boleh, Arka telefon Bunda?"
"Ya... Tumben aja kamu. Biasanya kan Bunda dulu yang hubungi kamu, baru kamu inget kalau ada Bunda."
"Yaa, maaf Bun. Bunda kan tahu aku sibuk. Hehehe."
"Hmmm iya, anak Bunda memang sibuk. Kayaknya lupa kalau masih punya Bunda. Sekarang malah jarang banget pulang semenjak punya rumah sendiri."
"Enggak lah Bun. Mana ada Arka lupa sama Bundadari yang cantik jelita ini."
"Eh iya Bun. Arka mau tanya sesuatu ke Bunda."
"Tuh kan. Apa Bunda bilang. Pasti ada sesuatu nih, kalau kamu tiba-tiba telefon Bunda gini."
"Hehehe.. Gini Bun, Naira pernah cerita sesuatu nggak ke Bunda belakangan ini."
"Naira? Cerita? Cerita apa?"
Gue mencoba mengubah posisi duduk gue. Dari yang awalnya duduk bersila, gue turunkan kaki gue.
"Ya nggak tahu juga. Apa aja gitu Bun."
"Enggak ada deh kayaknya. Ada apa? Kalian berantem ya?"
"Iya nih Bun. Eh enggak, Cuma dia marah sama Arka."
"Tuh. Kamu kebiasaan. Punya hobi kok bikin orang kesel. Mangkanya, lain kali jahilnya itu mbok ya dikurangi gitu lo."
Gue kaget dengar reaksi Bunda.
"Lo lo lo kok Arka yang disalahin. Arka aja nggak tahu akar permasalahannya apa. Tiba-tiba aja dia marah-marah nggak jelas."
"Nggak mungkin. Pasti kamu bikin ulah dulu itu. Perempuan itu, nggak mungkin marah kalau laki-lakinya nggak cari gara-gara."
"Tapi bun..."
"Ayo ngaku! Kamu apain dia?"
"Bunda..."
"Arka... Bunda nggak suka ya kalau anak Bunda sampai bikin nangis anak orang."
"Bundaku yang cantik, dengerin dulu. Pertama, Arka nggak tahu sama sekali permasalahannya apa. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba dia marah-marah, katanya aku udah berubah. Aku bikin dia kecewa. Bun.. Aku aja bingung, berubah yang kayak gimana? Perasaan sama aja kayak dulu. Iya kan? Bunda ngerasa ada yang berubah enggak dari aku?"
Dan setelah gue jelasin panjang lebar, akhirnya Bunda nggak nyalahin gue lagi. Bisa-bisanya si Bunda ikut-ikutan ngeyel seperti Naira. Anaknya sendiri disalahin pula. Luar biasa memang Bunda gue perihal kasih sayangnya ke Naira.
"Maaf telat."
Suara yang tiba-tiba mengagetkan gue. Buru-buru gue matikan telefon Bunda. Pas gue tengok, ternyata Naira sudah datang. Tapi kok...
"Oh enggak apa-apa, baru lima menit," jawab gue sesaat setelah melirik jam di tangan kiri gue.
"Duduk.. Duduk."
Sial. Kenapa ajak si manusia kulkas sih.
"Hai, apa kabar bro?" Sapa si Tristan.
Sok akrab banget dia. Dalam hati gue sebenarnya kesel. Kenapa Naira pakai ajak si Tristan?
"Silahkan kalian mau pesen apa?" Basa-basi gue yang sebenarnya untuk menutupi kebingungan gue.
"Oh nggak usah. Lagi pula habis ini kita mau makan. Ya kan sayang."
Jawaban Naira yang sukses bikin gue shock. Sayang? Itu artinya mereka? Astaga Naira... Elo kenapa nggak cerita ke gue?! Jujur, saat itu perasaan gue campur aduk. Untuk pertama kalinya gue menyaksikan sahabat yang paling gue sayangi, bersama dengan kekasihnya. Gue bingung harus bereaksi seperti apa pada saat itu. Padahal, niat gue adalah ingin kasih kejutan ke Naira. Kita akan berlibur bareng ke Jogja. Bersama tim juga tentunya. Tapi, melihat Naira dan Tristan di depan gue yang saling berpegangan tangan, rasanya nggak mungkin gue bilang.
"Jadi gimana?" Tanya Naira.
"Heh, apanya?" Gue menjawab seperti orang linglung. Otak gue mulai nggak konsen.
Wah kacau. Arka, perasaan lo harus kondusif.
"Ya, katanya lo mau ngomong sesuatu? Apa?"
"Oh o iya. Emmmm kayaknya nggak jadi deh Nai. Gue lupa sepuluh menit lagi gue ada meeting penting. Habis itu juga gue ada latihan sama temen-temen," gue pura-pura sibuk cek Handphone sambil lihat jam tangan. Padahal hari ini gue sengaja meluangkan waktu buat kasih kejutan ke Naira. Gue nggak mau ada kegiatan apa pun.
"Beneran?" Tanya Naira meyakinkan. Kali ini dia sudah kembali ke Naura yang dulu. Nggak nyolot sama sekali.
"Iya. Sorry udah ganggu waktu kalian. Sorry banget ya. Gue cabut duluan ya."
Dengan sangat terpaksa gue harus berbohong ke Naira. Entah kenapa gue enggak suka lihat Naira sama Tristan. Sekarang kebingungan gue bertambah. Satu permasalahan belum selesai, nambah satu lagi. Belum juga tahu sebab Naura marah-marah ke gue, dan hari ini tiba-tiba dia bersikap manis sekali. Terus, si Tristan itu sudah berapa lama mereka saling kenal? Kok tiba-tiba saja pacaran? Kenapa gue bisa nggak tahu? Ini sebenarnya siapa yang berubah?