Chereads / ARKANA : Imperfect Love / Chapter 10 - Ada Apa Dengan Naira?

Chapter 10 - Ada Apa Dengan Naira?

--Aku merindukan sore yang cerah dengan senja yang indah.--

Akhir-akhir ini langit selalu mendung. Hampir setiap sore pasti hujan datang. Kadang malah dari pagi sudah hujan. Ya. Ini konsekuensi musim hujan. Seperti pagi ini, jam baru menunjukkan angka 07.00, tapi bumi sudah diguyur air hujan dengan sangat deras. Waktunya istirahat dan makan indomie kuah pakai telur. Cocok sekali.

Gue buru-buru ke dapur buat masak indomie kesukaan gue. Oh iya, gue lupa bilang, sudah sekitar seminggu lebih gue nggak tinggal di kos lagi. Alhamdulillah gue sudah bisa beli rumah. Ya, meskipun nggak terlalu gede, tapi itu lebih baik dari pada waktu gue masih tinggal di kos yang sempit. Ya Allah, rasanya susah sekali gerak, apalagi barang-barang gue yang mulai beranak-pinak. Kos yang hanya berukuran 300x300 menjadi semakin pengap. Sekarang gue bisa lebih leluasa untuk tidur tanpa harus berbagi tempat dengan baju-baju manggung gue. Alhamdulillah...

Punya rumah sendiri adalah satu dari sekian banyak impian gue yang akhirnya bisa terwujud. Rasanya bahagia sekali. Bunda juga kelihatannya bangga sama gue. Hal itu bisa gue tebak saat gue syukuran rumah baru gue empat hari yang lalu. Meskipun bunda nggak bilang secara langsung, tapi gue bisa lihat dari sorot matanya saat memeluk gue. Dia seperti mau bilang, Bunda bangga dengan pencapaian kamu. Tapi terhalang oleh air mata yang lebih dulu berderai. Ya itu prediksi gue saja sih. Tapi sepertinya memang benar begitu.

Oke. Sekarang gue juga bisa masak sendiri, karena sudah punya dapur. Kalau dulu hanya bisa beli makanan di warung depan gang atau mengandalkan Naira yang berbaik hati mau mengantar makanan, sekarang keahlian gue sepertinya bertambah. Yaitu bisa masak. Masak mie instan dan masak air. Sebuah peningkatan. Tepuk tangan.

Lima menit menunggu, air sudah mendidih, mie siap dimasukkan dan....

Klung... Klung... Handphone gue bergetar.

Naira. Panjang umur sekali dia. Baru saja gue ngomongin dia. Dan gue bisa tebak, pasti dia mau bilang kalau sebentar lagi ada orang datang yang bawa makanan kesukaan gue. Seperti sebelum-sebelumnya. Yang selalu kirim makanan di jadwal libur gue.

Gue buka dan gue baca chatt dari dia,

'Arka.. Mau ketemu.'

Ternyata tebakan gue salah. Tapi bodoh amat. Gue melanjutkan masak mie yang tinggal selangkah lagi selesai. Urusan Naira bisa nanti, setelah hajat perut gue terpenuhi. Sudah lapar sekali ini.

Mie instan dengan telur setengah matang favorit gue siap untuk disantap. Di ruang tengah sengaja gue desain sesantai mungkin tanpa banyak furnitur yang aneh-aneh. Dan itu menjadi pilihan yang paling pas untuk menyantap Indomie kuah kali ini. Disini hanya ada karpet dengan 2 bean bag. Satu berwarna hitam dan yang satunya lagi putih. Sedangkan di pojok kanan ada rak buku kecil dan beberapa hiasan dinding yang terdiri dari beberapa foto gue ketika manggung, dan wall decor berupa quotes-quotes yang menurut gue keren dan menginspirasi.

Indomie kuah dengan ditemani alunan musik dari grup band Noah melengkapi minggu pagi gue kali ini.

Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.

Setelah bekerja tanpa kenal lelah. Setiap hari. Akhirnya gue punya waktu libur. Bisa menikmati hari dengan bersantai. Pokoknya hari ini gue mau me time. Gue mau menikmati waktu sendiri gue. Gue mau memanjakan diri sebelum besok mulai beraktivitas lagi. Kalau bisa bilang, tulang-tulang di badan gue ini rasanya remuk, saking capeknya.

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

"Pokoknya gue marah sama lo! Lo sekarang udah berubah. Gue sebel sama lo!" teriaknya sambil nunjuk ke arah gue.

"Berubah apa sih Nai? Emangnya gue ngapain?"

Jujur disini gue bingung dengan sikap Naira. Untuk pertama kalinya dia marah sambil nunjuk-nunjuk gue dengan tuduhan yang gue sendiri enggak tahu apa itu. Tiba-tiba dia datang dan langsung marah.

"Mana yang katanya selalu ada buat gue? Mana yang katanya selalu mau bikin gue seneng?"

"Arka. Jangan karena lo sekarang udah terkenal, lo udah punya segalanya, lo jadi berubah dan nggak mau temenan lagi sama gue! Gue tahu cyrcle lo sekarang udah beda, tapi bukan berarti lo juga berubah dan lupa sama orang-orang yang ada sama lo sebelum lo seperti sekarang ini."

Sumpah ya, sebenarnya gue masih bingung dengan semua ucapan Naira. Arah pembicaraan dia itu ke mana, gue nggak bisa tebak. Dia ini sebenarnya kenapa? Ada apa? Tapi gue tahu dia sedang marahdan kesel, makanya gue biarin dia menuntaskan apa yang ingin dia ungkapkan sampai selesai. Meskipun sebenarnya bisa saja gue potong dan gue marah balik karena keanehannya itu sudah mengganggu ketenangan minggu gue.

Gue diam sambil terus menatap matanya, mendengarkan semua ocehan ngawurnya itu. Entah dapat pengaruh dari mana si Naira ini. Kenapa tiba-tiba bisa bilang seperti itu.

"Gue selalu ada saat lo butuh. Tapi elo? Gue kecewa sama ello, Ka."

"GUE KECEWA SAMA ELO ARKA!!!"

Kalimat terakhirnya dibarengi dengan tangis, lalu dia duduk tersungkur di lantai. Cepat-cepat gue angkat dia agar duduk di kursi yang ada disebelahnya. Tapi dia sangat menolak uluran tangan gue. Gue semakin bingung. Serius.

"Udah selesai? Udah, marah-marahnya? Udah teriak-teriaknya? Udah puas?!"

Tanpa ada bentakan atau pun teriakan gue mencoba untuk menenangkan pikirannya. Pelan-pelan gue bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kesalahan apa yang sudah gue perbuat sampai dia semarah ini sama gue. Gue yakin ada seseorang yang sudah berbicara aneh-aneh sama dia.

"Sekarang jelasin ke gue. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa lo bisa marah-marah kayak gini?"

Dengan masih sesenggukan, dia hanya menatap gue dengan mengernyitkan kedua alisnya. Dia mengambil napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan. Seperti ingin marah lagi tapi ditahan.

"Nai... Nggak ada orang lain yang tahu gue lebih dari elo. Lo adalah sahabat terbaik gue. Jujur, gue nggak paham semua omongan lo tadi. Gue berubah? Gue udah bikin lo sedih? Lo kecewa sama gue? Karena apa? Karena kesalahan gue yang mana Naira?"

Naira masih terdiam dan sesenggukan. Sesekali ia seka air matanya.

Gue mencoba mengingat-ingat barangkali kemarin atau minggu-minggu ini gue berbuat salah sama dia. Tapi nihil. Nggak ada. Seingat gue, kesalahan gue yang kemarin waktu dia chatt minta ketemu dan gue nggak balas chatt dia. Tapi, dia seharusnya sudah paham. Kalau gue nggak balas chatt, berarti ada dua kemungkinan, pertama gue sibuk dan nggak sempat pegang handphone. Dan yang kedua, gue perlu istirahat dan nggak mau diganggu. Ini sudah sering terjadi. Dan bukan hanya berlaku untuk dia saja. Tetapi untuk teman-teman yang lainnya. Bahkan untuk Bunda juga. Dan selama ini, dia juga sudah memahami hal itu. Jadi, bisa dipastikan ini karena hal lain. Tapi apa? Kenapa nggak mau cerita dengan jelas? Kenapa harus membuat gue pusing dengan menebak-nebak? Padahal kan tinggal bilang, Arka gue marah sama lo, karena lo udah bla bla... Bla... Jadi gue tahu letak kesalahan gue dimana. Kalau perlu dijelasin gue jelasin. Sudah. Masalah beres. Nggak perlu harus berdebat dan berteriak.

Cewek memang punya hobi bikin teka-teki ya? Semakin mempersulit hidup saja. Nai.. Nai... Untung lo sahabat gue.

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Gue nggak pernah menyangka sama sekali bahwa gue akan bertengkar dengan Naira. Bahkan sampai lost contact seperti ini. Iya, sudah hampir dua minggu, gue sama Naira nggak bertukar kabar sama sekali. Naira yang biasanya nggak pernah absen nanyain kabar gue, dan selalu tahu gue lagi manggung dimana. Sekarang nggak ada lagi yang bawel.

"Gini banget ya, hari-hari tanpa Naira."

Sebenarnya gue juga bingung, kenapa akhir-akhir ini Naira sering mempermasalahkan hal-hal kecil, yang sebenarnya itu bukan jadi masalah. Tapi setiap gue bilangin, dia selalu bilang gue yang berubah. Padahal kalau menurut gue, ya, dia yang agak beda sikapnya.

Kalian tahu nggak? Seminggu yang lalu, gue berdebat hebat lagi sama dia. Dan itu Cuma gara-gara hal yang nggak penting. Gue minta pendapat dia tentang style rambut gue, harus potong atau dibiarkan gondrong saja. Diwarnai atau dibiarkan hitam saja. Eh dia malah nyolot. Katanya, "Yaudah sih, biasanya lo kayak gimana?! Kenapa harus nanya-nanya ke gue."

Fix sih, itu bukan Naira yang selama ini gue kenal. Lama-lama gue jadi seperti detektif kalau Naira terus seperti ini. Mending kalau masalahnya berat, lah ini... Tapi ya sudahlah ini demi berlangsungnya persahabatan gue sama dia. Gue harus cari tahu ada apa dengan Naira akhir-akhir ini. Tapi mungkin nggak bisa maksimal, karena nanti malam gue sudah mulai manggung lagi.