"Ndis cepat, jangan sampai kita ketinggalan pesawat," jerit Bhanuwati dari lantai bawah,
"Baik Ma…, Aku sudah siap dan sebentar lagi akan turun,"
Bhanuwati yang sudah tidak sabar menunggu menjadi sangat gelisah, Nehan yang sedari tadi melihat omanya mondar-mandir dihadapannya menjadi bingung.
"Oma apakah kamu tidak bisa duduk saja? Aku pusing melihat oma dari tadi," ucap bocah kecil yang bijak itu dengan wajahnya yang imut.
"Maaf, maaf," ucap sang oma,
"Oma seperti ini karena mamamu tidak selesai bersiap dari tadi," lanjutnya dengan nada kesal.
Tidak lama kemudian terlihat Gendis berlari kecil menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru.
Dengan diantarkan pak Mamat mereka pergi menuju Juanda International Airport, pak Mamat yang sangat mahir mengendarai mobil mengantarkan mereka dengan tepat waktu ke bandara.
***
Sesampainya di Malang mereka langsung menuju rumah Bhanuati dengan menumpangi sebuah taxi. Raut bahagia sangat ketara yang terpncar dari wajah Bhanuwati.
"Wahh ada sawah," ucap Nehan melihat sekeliling perjalanan menuju rumah omanya.
"Ya sayang, sebentar lagi kita akan sampai," sahut Bhanuwati.
Terdengar suara dering ponsel dari hanbag bewarna merah marun milik Gendis.
"Halo,"ucapnya sembari menjawab panggilan telponnya.
"Ndis kamu sedang dimana?" ucap Ayesha dari saluran telepon.
"Aku sedang berada di Malang nemeni mama pulang, memangnya ada hal penting apa Sha, kok tiba-tiba kamu menelponku?"
"Yahhhh, jadi kamu sedang di Malang, padahal aku ingin mengajakmu menginap dirumahku, aku bosan sendirian dirumah" ucapnya kesal dan sedikit merengek kepada Gendis.,
"Manggala akan pergi ke Jakarta sore nanti," lanjutnya menyelesaikan ucpannya.
"Kamu aja yang susul aku kemari, pasti lebih seru kalau ada orang lemot kayak kamu disini," ucapnya sembari meledek Ayesha.
"Ide bagus itu," sahutnya dengan suara yang penuh dengan rasa gembira.
"Tapi, aku akan minta izin dulu ke mas Gala,"
"Ok, sudah dulu Ndis ini aku langsung bicarain dulu ke mas Gala," lanjutnya.
"OK, by" sahut Gendis sembari menutup panggilan telponnya.
Bhanuwati melihat senyum yang merekah dari bibir mungil putrinya itu dapat langsung menebak bahwa Ayesha yang barusan menelponnya.
"Ayesha yang menelpon,?" Tanya Bhanuwati memastikan,
"Iya Ma, dia bilang ingin mengajakku menginap dirumahnya," sahutnya sembari menaruh ponselnya kedalam Hand Bag nya
"Memangnya Manggala dinas keluar kota lagi?" sahut Bhanuwati.
"Iya, biasalah ma!" ucapnya
Gendis melihat pemandangan yang sangat indah dan terhampar luas membuat pikirannya jauh berjalan ke masa lalu. Dia tersenyum sendiri ketika melihat beberapa tempat ketika mereka melaluinya.
"Masa-masa sekolah memanglah sangat indah" batinnya.
Setibanya mereka dirumah, Sunarsih sudah menyiapkan hidangan makan siang sederhana. Sunarsih adalah asisten rumah tangga yang menjaga dan merawat rumah Bhanuwati.
"Nyonya sini kopernya biar saya yang antarkan ke kamar," ucap Sunarsih kepada Bhanuwati.
Sunarsih sangat senang Nyonya nya itu pulang, sehingga rumah tampak ramai.
"Mbak Narsih apa kabar." Ucap Gendis menyapa.
"Alhamdulillah Non, saya baik." Sahut Sunarsih.
Gendis mengedarkan pandangannya pada setiap sudut rumah ibunya itu. Dia masih dapat melihat potret-potret kenangan yang masih rapi terpampang di ruang tamu.
Bahkan Bhanuwati masih dengan sengaja memajang foto laki-laki yang sudah menelantarkan mereka bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai sekarang mereka tidak mengetahui keberadaanya.
Rasa marah dan benci di hatinya seolah kembali muncul, memori pahit dan kelam itu lewat seperti film yang sedang tayang di dalam pikirannya. Tanpa di sadarinya air mata mengalir melalui sudut matanya.
Bhanuwati yang keluar dari kamar dan melihat putrinya berdiri mematung memandangi salah satu potret yang ada diruan tamunya, menyadari apa yang dilihat putrinya dia-pun mengambil potret yang terbingkai rapi diatas meja hias itu dan menyimpannya.
"Kenapa foto dia masih mama pajang disini?" ucapnya ketus kepada Bhanuwati.
"Bagaimanapun dia adalah orang yang pernah mencintaiku dan aku juga pernah mencintainya," sahut lirih Bhanuwati.
Sunarsih yang paham akan situasi yang dilihatnya saat ini, dia pun membujuk Nehan agar mau bermain bersamanya di halaman belakang rumah omanya.
"Untuk apa cinta Ma! Kalau itu membuatmu luka," ucap Gendis
Bhanuwati yang begitu tenang mencoba meredakan emosi putrinya itu, Gendis memang selalu di penuhi emosi yang membara jika membahas sesuatu tentang Ayahnya.
Gendis duduk di sofa bewarna Brown gold berbahan jepara asli menambah kemewahan ruangan itu, dengan mata yang sudah beair dia mencoba meredakan emosinya.
Dia menatap wajah ibunya yang terlihat sedih karena ucapannya. Dia pun menghampiri Bhanuwati dan memeluknya dengan hangat.
"Maafkan aku Ma, aku selalu tidak berhasil mengontrol emosiku jika mengingat semua yang dilakukan ayah kepada kita." Ucapnya sembari memeluk ibunya dengan erat.
"Aku mengerti sayang," Ucap Bhanuwati.
"Namun, kamu harus tetap menghargai dia sebagai ayahmu. Karena bagaimanapun dan apapun yang dilakukannya kepada kita tidak akan mengubah takdir dan kenyataan bahwa dia adalah suamiku dan juga ayahmu." Lanjutnya dengan suara yang lirih.
Gendis melepaskan pelukannya dan kali ini dia menggenggam erat tangan yang sudah terlihat keriput itu, seolah menguatkan hati Bhanuwati.
"Baiklah Ma, aku akan berusaha untuk tidak menyimpan dendam ini lebih lama lagi," ucapnya setelah menarik nafas panjang.
"Aku akan berjuang membuang semua kenangan pahit itu ma, walaupun sulit," gumam gendis dalam hatinya.
"Baiklah ma, aku akan istirahat sebentar…"
"Ntah mengapa aku sangat lelah setelah perjalanan panjang kita tadi,"
"Pergilah kekamarmu sayang, istirahatla," sahut Bhanuwati dengan lembut.
Setelah Gendis beranjak memasuki kamarnya, Bhanuwati juga kembali kekamar nya dengan membawa foto suaminya.
Di dalam kamar Bhanuwati duduk termenung di kasur tidurnya, dalam pikirannya kembali terusik kejadian pada malam itu. Dia yang tampak kuat dan tegar di depan Gendis kini lesu seperti penuh beban.
"Mas, kamu sekarang ada diman?"
"apa kamu tidak pernah memiliki keinginan untuk menemui putri tersayangmu" ucapnya dalam hati
Bhanuwati sangat sedih melihat Gendis yang begitu emosi saat membahas apapun tentang ayahnya, dia menyalahkan dirinya karena merasa gagal menyembuhkan luka itu.
"Ndis, mau sampai kapan kamu membenci nya nak.." batinnya.
Bhanuwati memandang dalam foto mantan suaminya itu, jauh dilubuk hatinya yang terdalam dia masih sangat mencintainya. Bhanuwati berharap masih memiliki kesempatan untuk dapat bertemu dengan mantannya itu.
Rasa luka yang diberikan Adika Wirya Utama kepadanya masih bisa tertutupi oleh rasa cintanya yang sangat besar. Rindu yang terpendam dan tidak pernah dapat terobati terus menggerogoti hatinya.
Kehidupan yang dijalani Bhanuwati seperti berjallan diatas kerikil yang tajam, hidup dengan penantian yang tidak pernah berujung.
Di usia senjanya dia masih memiliki harapan yang sangat besar untuk dapat bertemu pujaan hatinya itu sebelum matanya tertutup untuk selamanya,
Namun dia mengerti bahwa itu hanyalah mimpi ataupu bunga tidur yang menjadi penguatnya untuk berdirik tegak hingga saat ini