"Kreysa, Kakak keluar dulu, ya. Kamu jaga rumah sendiri, nggak papa, kan?" tanya Freislor. Gadis itu memasukkan beberapa buku dan alat-alat lain seperti teleskop dan juga dua buah kamera berukuran sedang.
"Apa? Kakak mau pergi sekarang? Kenapa harus buru-buru? Kakak bahkan belum makan sepulang dari kerja," ucap Kreysa sembari melirik ke arah Freislor. Ia meletakkan beberapa buah jambu di meja. Seekor kucing yang berasal dari kamar Kreysa seketika keluar dan berjalan mendekatinya. Kucing itu menggesekkan tubuhnya di pergelangan kaki Kreysa.
"Yah, tentu saja. Kakak tidak punya banyak waktu, Krey. Kamu tahu sendiri bahwa kaum kita tidak boleh lemah. Kita dituntut untuk selalu menjadi yang pertama dan mengejar semuanya dengan cepat. Jadi, Kakak rasa, tidak ada waktu bagi kita untuk bersantai," ucap Freislor sembari menghela nafas. Jemari gadis itu bermain dengan tas punggung yang ia pegang di tangan kanannya.
"Oh, ayolah, Kak. Aku rasa, Kakak terlalu keras sama diri Kakak sendiri. Sayangnya, Kakak nggak pernah sadar sama hal itu," ucap Kreysa sembari tersenyum simpul.
"Sepertinya tidak. Kakak hanya ingin melakukan tanggung jawab Kakak dengan benar, itu saja," ucap Freislor. Ia menunjukkan wajah datarnya, berharap agar adiknya berhenti memberikan komentar untuknya.
"Baiklah, aku pergi sekarang," Freislor berjalan ke luar tanpa senyuman. Kreysa yang mengetahui hal itu dengan jelas, seketika menepuk jidatnya sembari bertanya, "Apa yang telah aku lakukan? Kakak pasti marah karena kata-kataku."
Di satu sisi, Freislor telah berada di jalanan. Berkawan dengan kerumunan orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Kue froya yang merupakan salah satu kue buatan orang-orang Krapolis berjejeran di sepanjang perjalanan. Kue itu berbentuk persegi panjang dengan adanya cokelat berbentuk rusa di bagian tengah.
"Oh tidak, ini akan menjadi hari yang panjang," keluhnya. Ia menyaksikan bagaimana orang-orang menghiasi rumah-rumah mereka dengan pernak-pernik yang menawan. Dimulai dari bola-bola Spaerk yang memancarkan beberapa bintang dengan background berwarna biru dan ungu. Hanya saja, semua itu hanya terlihat di malam hari. Beralih ke Freislor, gadis itu mulai mengayuh sepedanya. Namun, ketika di jalan, ia bertemu dengan Brekcson.
"Freis! Tunggu!" teriak Breckson dari kejauhan. Remaja itu berlari sekuat tenaga untuk mengejar Freislor. Freislor yang mendengar teriakan Breckson seketika menghentikan sepedanya. Menoleh ke belakang, sesekali ia menyipitkan kedua matanya. Sampai kedua bola matanya bertemu dengan Breckson yang berdiri di depan toko.
"Ah, Breckson. Kenapa dia memanggilku?" batinnya. Ia mulai memacu sepedanya dengan pelan. Setibanya di depan toko, Freislor turun dari sepeda. Mengamati sekitar. Beberapa pelanggan memakan makanannya dengan wajah sedih, sisanya masih menunggu antrian.
"Freis, kamu tadi mau ke mana?" tanya Breckson penasaran.
"Aku ingin mengecek tempat kita untuk nanti malam. Ingat, kan? Apa yang aku bicarakan kemarin malam? Aku akan marah jika kamu melupakan itu, aku serius," kata Freislor. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Breckson mengangguk pelan, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang sebuah tas hitam.
"Heum, tentu saja aku ingat. Baiklah, ayo kita mengeceknya bersama-sama. Apa kau tidak keberatan dengan itu?"
"Hah? Kamu mau ngecek juga? Serius?" tanya Freislor sembari mengernyitkan salah satu matanya. Gadis itu berada di ambang kebingungan. Antara menerima dan menolak. Mana yang harus dia pilih. Breckson menunjukkan beberapa buah permen cokelat di tangannya.
"Sudahlah, Freis. Jangan terlalu banyak berpikir, kau hanya perlu untuk menganggukkan kepala dan mengiyakan kata-kataku. Ke mana kita akan pergi? Duduklah di belakang, biar aku yang menggoncengmu," jawab Breckson sembari menaruh cokelat itu ke dalam saku Freislor tanpa permisi. Sesekali, remaja itu mengelus kepala Freislor.
"Hei, siapa yang mengizinkanmu, Breckson? Aku bahkan belum memberikan jawaban," gadis itu merasa kesal. Namun, Breckson tetap keras kepala. Ia menarik paksa tangan Freislor dan menyuruhnya untuk duduk di belakang.
"Hahaha, kau ada-ada saja. Sejak kapan aku membutuhkan izinmu jika aku ingin menemanimu, Freis," katanya. Kini, mereka berdua berada di sepeda pancal. Beberapa orang melirik ke arah mereka dengan wajah penasaran. Sebagian lagi menjadikannya sebagai bahan pembicaraan.
"Ini benar-benar menyebalkan," pekik Freislor pelan.