"Ah, baiklah, gadis kecil. Aku rasa, kamu memang tidak ingin memberi tahukan apa masalahmu. Tapi, aku bisa merasakan kebaikanmu. Jadi, aku akan memberi tahumu," ucapnya dengan wajah penuh senyuman.
"Oh, ya? Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?" tanya Freislor.
"Tentu saja dari cahaya yang ada di belakangmu," jawab wanita itu.
"Hah?" Freislor menoleh ke belakang. Gadis itu melihat sebuah dinding dengan adanya kaca. Kaca itu terlihat seperti memancarkan sebuah cahaya.
"Ah, aku baru paham. Kenapa bisa mengeluarkan cahaya, ya? Dan, bisakah aku tahu siapa namamu?" Freislor melihat ke arah sang wanita dengan penuh senyuman.
"Ah, yah. Kita belum pernah bertemu. Namaku Hudaiba. Namamu siapa?" tanyanya dengan wajah penasaran.
"Namaku Freislor."
"Freislor? Ah, apakah kamu orangnya?"
"Apa maksudmu?" gadis itu melirik ke arah Hudaiba.
"Yah, aku mengira kalo kamu adalah salah satu orang yang akan menyelamatkan dunia nantinya. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu sebelum aku kembali ke duniaku," ucapnya. Detik selanjutnya, Hudaiba mengetuk salah satu tangannya ke balok es. Dalam sekejap, balok es itu terbelah dan pecah. Wanita itu berjalan mendekati Freislor. Ia meletakkan salah satu tangannya ke atas kepala Freislor. Di sana, ada beberapa hal yang tidak diketahui olehnya.
"Hei, jangan. Tunggu dulu, apa yang sebenarnya ingin kau lakukan padaku?" tanya Freislor kepada wanita itu. Hudaiba tertawa lirih. "Tentu saja aku akan memberkatimu," jawabnya pelan.
"Kenapa kau meletakkan tanganmu di atas kepalaku? Apa yang sedang kau perbuat padaku?" tanyanya tak terima. Gadis itu mencoba menyingkirkan tangan Hudaiba.
"Freis, diamlah. Aku ingin memberimu berkah. Jangan hentikan aku," jawabnya dengan lembut. Freislor mengernyitkan kedua matanya. Ia tak menduga akan menjadi serumit ini.
"Ya sudahlah, terserah apa yang ingin kau lakukan. Tapi, jangan lakukan hal yang aneh, ya. Aku tidak suka bila kamu melakukan hal-hal yang aneh terhadapku. Aku bisa marah karena hal itu," ucap Freislor. Ia memejamkan kedua mata, berusaha menguatkan diri dan berpikir positif.
"Dengar, Freis. Dunia yang sedang kamu hadapi tidak akan mudah. Ada beberapa rintangan yang nantinya akan membuatmu merasa ingin menyerah. Aku bisa merasakan akan ada saat di mana kamu sampai pada kematian. Kamu harus melakukan perjalanan waktu untuk melakukan ini. Tapi, tenang saja. Kamu bersama dengan orang yang kamu cintai, dan-"
"Tunggu sebentar! Apa yang kau maksud dengan orang yang kau cintai?" tanya Freislor sembari menepis tangan Hudaiba.
"Ahahaha, apa kamu tidak pernah merasakan sesuatu? Soal temanmu, barangkali?" Hudaiba memejamkan kedua matanya sembari tersenyum. Kini, kedua tangannya membuat sebuah bola salju yang menampakkan dua orang saling bergenggaman tangan. Dua orang itu adalah Freislor dan juga Breckson.
"Jangan berkhayal, Nona. Dia bahkan selalu menganggapku sebagai kesialan. Dia bilang, aku selalu merepotkannya. Jadi, aku rasa itu tidak akan mungkin terjadi," ucapnya dengan wajah penuh tawa. Hudaiba menggelengkan kepala. "Dasar tidak peka, kamu saja yang tidak tahu. Hahaha, padahal kamu sudah mendapatkan tandanya, bukan?" tanya Hudaiba sembari mencubit lengan Freislor.
"Hei, hei. Kembali ke topik, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali atau dia akan memarahiku lagi. Aku tidak suka mendengarnya terlalu banyak berceramah, serius," jawab Freislor sembari mengelap wajahnya dengan gusar.
"Oke, baiklah. Lihat ini, kau bisa menemukan orang yang kau cari di sini. Dia punya jawaban atas permasalahanmu. Semoga berhasil," ucap Hudaiba sembari tersenyum. Freislor menyaksikan sebuah papan yang menunjukkan Hutan Derilso di depannya.
"Hutan ini? Bukannya itu hutan kematian?" tanya Freislor dengan wajah sedih.
"Yah, makanya. Aku bilang, kan? Kamu bisa aja ada di dalam hal yang mengerikan. Termasuk pada kematian," jawab Hudaiba dengan tatapan tajamnya ke arah depan.
"Ah, tapi tidak apa. Aku pasti bisa melaluinya. Bisakah Anda menunjukkan bagaimana penampilan orang itu?" tanya Freislor dengan wajah penuh senyuman.
"Yah, tentu saja," jawabnya sembari menggerakkan kedua tangannya ke depan. Kedua tangannya mengeluarkan air yang menjelma menjadi sosok Levois. Kedua mata yang lebar dengan perawakan besar dan gagah. Ada yang unik dari sosok tersebut karena, di pergelangan tangannya tergambar sebuah ular yang tengah melilit potongan daging.
"Wow, itu menakutkan," ucap Freislor.
"Yah, itu memang dia, Freis. Mau tidak mau, kamu harus menerimanya."
"Baiklah, tidak masalah. Terima kasih banyak, Nyonya Hudaiba. Aku akan pergi sekarang, selamat pagi," kata Freislor sembari tersenyum.
"Tentu, sama-sama, Freis. Semangat," jawab Hudaiba dengan wajah penuh senyuman. Gadis itu langsung pergi menemui Breckson yang berada di depan rumah.