"Aku hanya ingin bersama denganmu, apa yang kau cari di sini?" tanya Freislor sembari menatap ke segala arah. Anak itu menundukkan kepala, lantas, ia memberikan sebuah koran kepada Freislor.
"Apa ini?" tanyanya. Tangan kanannya mengambil sebuah koran yang ada di tangan gadis itu. Sesaat kemudian, ia membacanya dengan seksama.
"Astaga, dia tidak punya keluarga?" tanyanya pada diri sendiri. Ia membaca sebuah surat kabar yang mana menyatakan bahwa, keluarga besarnya meninggal dunia setelah kecelakaan besar menimpa di Pegunungan Hloki. Sebuah pegunungan tertinggi, tempat para Grendolfin berada. Gunung yang sejatinya belum pernah ditembus oleh manusia manapun.
"Heum, sebaiknya kau pergi dari sini, aku akan memberikanmu doa ketika aku megadakannya. Tidak perlu khawatir, aku bisa melakukan itu untukmu. Pergilah dengan tenang setelahnya, gadis kecil. Semoga kau tenang di sana," jawab Freislor sembari tersenyum dan memberikan koran itu kepadanya. Namun, gadis itu menggelengkan kepala. Ia menitikkan air mata di hadapan Freislor.
"Hei, jangan menangis. Kenapa kau-?" Freislor berusaha untuk mencari tahu.
"Aku ingin bertemu dengan temanku," ucapnya lirih. Ia berputar dan berdansa, seluruh tubuhnya bergerak. Freislor menyaksikannya memejamkan kedua mata. Tangannya menari-nari di udara, membentuk gelembung-gelembung berwarna pelangi. Dan yang paling aneh, ada suara-suara berkeliaran di kepalanya. Percikan cahaya berwarna abu-abu seketika menggambarkan bagaimana sosoknya dan salah satu temannya saling bercanda tawa. Mereka memainkan bola basket dan saling melempar lelucon.
"Ah, apa kau ingin bertemu dengannya?" Freislor kembali melanjutkan pertanyaannya. Gadis itu menghentikan tariannya. Ia tersenyum tipis di hadapan Freislor sembari mengangguk.
"Bisakah kau memberi tahuku siapa namamu? Dan, siapa orang yang ingin kau temui?"
"Namaku Breisa, dan dia adalah Aldo," jawabnya pelan. Jawaban yang didengar oleh Freislor membuatnya terpenjerat. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan bertemu dengan salah satu leluhur kerajaan tertua di kaumnya.
"Akh, Nona Breisa. Aku turut berduka cita atas kepergianmu," ucapnya sembari menekuk salah satu lututnya. Memberikan penghormatan dengan jalan menundukkan kepala. Setelahnya, gadis itu berjalan mendekati Freislor. Salah satu tangannya mengelus kepala Freislor dengan lembut sembari tersenyum. Sesudah itu, ia melepasnya. Freislor akhirnya kembali berdiri.
"Nona, biarkan aku mengembalikan waktu agar berjalan dengan normal. Setelah ini, aku akan mencarinya bersamamu," ucap Freislor sembari tersenyum. Breisa tersenyum dan menganggukkan kepala. Detik itu juga, Freislor akhirnya menjentikkan jarinya. Perputara waktu kembali berjalan dengan normal. Orang-orang yang ada di sekitar mereka berjalan seolah-olah tak ada yang terjadi.
"Apa kau siap?" Freislor melakukan kontak batin dengan Breisa. Ia sengaja melakukannya agar tidak ada yang menganggap dirinya melakukan hal-hal aneh.
"Ya, aku siap. Aku akan terbang dan mengikutimu."
Freislor memacu sepeda pancalnya. Di sepanjang perjalanan, kedua matanya tak pernah lepas dari sekitarnya. Kanan, kiri, depan, dan belakang. Semua hal nampak terasa penting baginya saat ini. Ia memacu sepeda pancalnya dengan cepat. Sampai akhirnya, gadis itu berhenti di salah satu rumah tua tak berpenghuni di sudut jalan Dewsua.
"Heum, jalanan ini bukannya yang paling sepi, ya? Apa kau yakin kita akan ke sini?" tanya Freislor, ia sedikit melirik ke arah samping. Tak jarang ia mengetukkan jemari di gagang sepedanya. Breisa tiba-tiba menitikkan air mata sembari berkata dengan lirih, "Ya, tempat ini yang aku cari. Aku yakin, kita bisa menemukannya di sini. Jangan takut, aku akan menjagamu. Tempat ini memang agak sedikit berbahaya."
"Ah, jangan membuatku takut, Nona. Usiamu bahkan jauh lebih muda dariku, biarkan aku yang menjagamu," balas Freislor. Gadis itu tak ingin terlihat lemah di hadapan leluhurnya.
"Aku tidak yakin kau bisa menghadapinya sendirian."
"Ayolah, aku yakin tempat ini tidak semengerikan itu, lihat?" tanya Freislor sembari tersenyum dan tertawa. Ia berjalan ke depan Breisa. Freislor ingin menunjukkan bahwa apa yang dibicarakan oleh Breisa itu sama sekali tidak benar. Sialnya, ia yang malah tertimpa masalah.
"Aaaa!" bentaknya. Gadis itu berhadapan dengan seekor naga yang didominasi dengan warna ungu, hitam dan juga putih.
"Apa-apaan, si?" tanyanya sembari mengelus dada. Breisa yang melihat tingkah Freislor tertawa lirih.
"Sudah ku bilang, kan? Dengar, kami yang telah mati tetap saja bertumbuh. Jadi, jangan menganggapku lebih muda darimu, sekalipun aku memang lebih kecil darimu," jawabnya. Gadis itu berjalan dan membantu Freislor berdiri.
"Apa? Yang benar saja? Geris jenis apa kalian ini? Apakah semua Geris juga begitu?" tanya Freislor, gadis itu penasaran. Geris adalah salah satu penamaan para leluhur yang telah tiada. Di negara lain selain Zavrainz, terdapat banyak penamaan mengenai para leluhur. Namun, yang paling terkenal adalah Geris.
"Apa aku harus menjelaskannya padamu? Sudah jelas semua Geris seperti itu, apa kau tau berapa usiaku sekarang?" tanya Breisa.
"Tentu saja tidak tahu," jawab Freislor.
"Dua puluh lima tahun, puas?" tanya Breisa sembari tertawa.
"Apa? Yang benar saja? Kenapa wajahmu terlihat seperti anak kecil?"