"Baiklah, aku akan mencobanya. Sekarang, bisakah kau membantuku untuk menemukan ketenangan? Tolong, jangan ganggu aku dulu," pinta sang adik. Freislor menganggukkan kepala. Ia melepaskan tangannya dari salah satu tangan adiknya. Kreysa berdiri, lalu berjalan ke tengah lingkaran. Ia memejamkan kedua mata dan mulai melakukan apa yang dia bisa.
"Gwendloin," ucapnya lirih. Gadis itu menyatukan tangannya seperti orang yang tengah memberi penghormatan, salah satu kakinya ia tekuk. Ia melakukannya selama lima menit untuk mendapatkan ketenangan di dalam dirinya.
"Aku tahu ini benar-benar tak mudah untukmu, Kreysa," batinnya. Freislor yang memperhatikan adiknya hanya bisa berdiam diri. Ia memilih untuk duduk dan tak berkomentar. Sementara itu, langit yang tadinya cerah berganti menjadi gelap. Beberapa kali, ia mendongakkan kepala ke atas, ada beberapa cahaya merah bertahta di langit. Cahaya itu menjelma menjadi seperti tengkorak.
"Aish, kenapa tengkorak ini harus muncul di saat-saat seperti ini? Aku benar-benar membencinya," batinnya kesal. Ia menghentakkan salah satu tangannya ke tanah. Selang beberapa saat, Kreysa selesai dengan dirinya sendiri. Ia berjalan menuju kepada sang kakak.
"Kak, ayo kita lakukan ritualnya. Aku sudah siap dengan diriku sendiri," ucapnya pelan. Gadis itu tersenyum dan kembali duduk bersama dengan Freislor.
"Oke, pejamkan kedua matamu. Aku akan segera memulainya, jangan ragu untuk mengatakan sesuatu bila kamu ragu di tengah-tengah ritual nanti, oke?" tanya Freislor sembari melirik sang adik. Ia ingin memastikan adik kecilnya baik-baik saja. Di samping itu, Freislor menggumamkan sesuatu. Ada beberapa hal yang tak bisa ia hindari. Pelabuhan malam hari yang dilakukan oleh para leluhur adalah salah satu jalan agar mereka bisa bermain di dimensi yang sama.
"Atreuson," ucap Freislor lirih. Gadis itu memejamkan kedua mata. Salah satu tangannya bergerilya di udara. Menghamburkan kerlipan cahaya berwarna abu-abu dan merah. Detik selanjutnya, angin nan lembut menghampiri. Hamburan cahaya di atas langit seketika menjelma menjadi sebuah perantara.
"Gwelfonsio," Freislor menghirup udara di sekitarnya. Setelahnya, ia menghembuskannya perlahan. Tengkorak yang bertahta di langit bergerak ke kanan dan kiri. Freislor secara sengaja mengiris jari telunjuknya. Darah seketika bercucuran. Sang tengkorak mencium wanginya, dan ia membuka lebar mulutnya.
"Akhh," ucapnya dengan nada keras. Sesaat kemudian, tengkorak itu mengeluarkan abu berwarna abu-abu. Abu itu turun ke bumi layaknya asap, menjelma menjadi beberapa manusia dengan tubuh dan wajah pucat pasi. Freislor dan Kreysa seketika membuka mata.
"Apa kau siap?" tanya Freislor sembari menatap sang adik. Kreysa mengangguk pelan. Keduanya berdiri dan mendekati beberapa leluhurnya. Ketiga leluhurnya adalah sosok lelaki. Sedang empat yang lainnya adalah perempuan.
"Selamat malam, Kakek, Nenek," ucap Freislor sembari menekuk salah satu lututnya. Ia ingin bertingkah laku sopan di hadapan para leluhurnya, begitu pula dengan Kreysa. Sang leluhur menganggukkan kepala dan tersenyum ke arah mereka.
"Berdirilah, Nak," ucap salah seorang wanita. Ia mengenakan konde di kepalanya. Wanita itu berwajah oval, ada bekas jahitan di sisi kanan dan kiri dari pipinya. Sedangkan di keningnya, terdapat sebuah simbol "K" yang menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang memiliki gelar sebagai keturunan Krapolis yang agung.
"Baik, Nek," balas Freislor. Baik Kreysa dan Freislor, keduanya sama-sama berdiri.
"Apakah kalian hanya berdua saja? Di mana Ibu kalian?" tanya seorang lelaki yang berbaris bersama dengan yang lainnya.
"Ibu pergi, dia tidak memberi kabar kepada kami berdua soal kepergiannya," jawab Kreysa. Gadis itu memberikan karangan bunga yang telah dia buat.
"Tunggu sebentar, apa terjadi sesuatu yang buruk dengan kalian?" tanya seorang gadis yang seumuran dengan Freislor. Gadis itu memakai gaun berwarna biru muda, ada luka memar di lengan kanannya. Bagian yang paling parah dari dirinya adalah sebuah palu yang menancap di bagian kakinya. Dan itulah yang membuat Kreysa selalu ketakutan ketika dia melakukan ritual ini.
"Ah, yah. Kemarin, aku dan Kreysa baru saja bertarung. Salah satu temanku meninggal karena pertarunganku di malam itu. Aku tidak bisa menyelamatkannya, sungguh. Aku menyesal karena membuatnya terlibat dalam pertarungan itu," ucap Freislor sembari menitikkan air mata. Ia berusaha untuk membuat dirinya tegar.
"Apa dia orang yang sama?" tanya sang wanita dengan wajah cemas. Freislor menganggukkan kepala. Kreysa yang berdiri di sampingnya hanya berdiam diri. Ia menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dan memberikan pendapatnya.
"Aku sama sekali tidak mengerti dengan putaran waktu yang berjalan di sekitar kita. Tapi, aku hanya ingin katakan satu hal sebelum semuanya terlambat," ucap Nenek Freislor. Wanita itu membuka mulutnya dengan lebar.
"Apa yang ingin Nenek bicarakan?" batin Kreysa.