Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran.
"Kalian sedang apa?"
Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik.
Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya.
"Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak.
"Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja.
"Aku tadi sedang mencuci piring di sini, lalu dia datang dengan membawa piring kotor dari meja makan. Alasannya adalah untuk membantuku mencuci piring. Aku nggak tau, ada niat apa di dalam kepalanya,"
Tak di sangka, Mentari malah membuat runyam keadaan. Tentu saja kedua lelaki berseberangan arah itu terperangah bukan main. Cakra membelalak tak percaya, sejenak mulutnya terbuka. Mungkin hendak melakukan pembelaan diri, tetapi ia urungkan.
Sementara itu, netra Bima yang juga membelalak sangat lebar. Menatap nyalang ke arah Cakra, yang beberapa kali terlihat mengerjapkan matanya.
Perlahan, Bima melepaskan kedua tangan mentari yang masih melilit di lehernya. Lalu berjalan mendekati Cakra, tatapannya tak beralih dari wajah bergaris tegas, dan memiliki tatapan teduh itu.
Meski sepasang alis tebal menghitam, membingkai kedua mata elang dengan tatapan dalam. Namun sorot matanya teduh, ia juga memiliki senyuman hangat dan karismatik. Khas seorang guru.
"Membantu cuci piring, kamu bilang? Atau ada maksud lain yang tersimpan di dalam otakmu itu?" Bima mengarahkan ujung telunjuknya, menyentuh kasar kening Cakra yang telah di selimuti butiran-butiran bening.
"Apa kamu nggak percaya padaku, Mas?"
"Bagaimana aku bisa percaya dengan orang baru, yang belum lama berada di rumah ini?" Bentak Bima.
"Tidak ada sedikitpun niatan untuk berbuat seperti itu, Mas. Apalagi dengan saudara iparku sendiri," Cakra berusaha mencari pemenangan.
"Memangnya mana ada maling yang mau ngaku, hah?"
"Sudah kukatakan, Mas. Aku nggak akan mungkin berbuat hal seburuk itu!" Suara Cakra meninggi. Membuat Bima semakin naik pitam.
"Memangnya mana ada pengantin baru yang betah dianggurkan berhari-hari? Aku ini lelaki normal, sama sepertimu. Aku tau isi otakmu!" Bima memekik.
"Kamu tidak tahu apa yang aku pikirkan!"
"Ada apa, ini?" Ketiganya bungkam. Menoleh pelan ke arah belakang. Orangtua mareka telah berdiri di sana dengan kening mengernyit, juga tatapan penuh tanya.
Bima maju, melangkah tegas mendekati orangtuanya. Lalu telunjuknya kembali terarah pada Cakra yang berdiri tak jauh daej mereka semua.
"Lihatlah, Pak. Buk. Menantu baru di rumah ini, selain ia miskin harta, ternyata juga miskin moral. Katanya saja seorang guru, tapi apa otaknya?" Bima mengadukan semuanya.
"Apa maksudnya?" Tanya Pak Moko, tentu saja tak memahami apa yang baru saja di ucapkan menantu pertamanya itu.
Bima. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman sinis, memperlihatkan ketidaksukaannya pada Cakra.
"Dia akan berbuat jahat pada istriku!"
"Apa?" Serentak pertanyaan sama, terlontar dari dua sosok paruh baya itu. Mereka saling menatap tak percaya. Lalu mengalihkan pandangan, Sama-sama menuju ke arah Cakra.
"Nggak mungkin!" Belum usai orang tua itu menetralisir rasa terkejutnya. Seseorang tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata berkaca. Mungkin ia sudah mendengar semua pembicaraan sejak tadi.
Tanpa kata lagi, sosok yang baru datang itu berbalik arah. Menghentakkan kakinya, berlari menuju lantai atas.
"Mega!"
Cakra berteriak. Sebelah kakinya terangkat untuk melangkah, tetapi lebih dulu lengannya dicekal oleh Bapak mertua.
"Jelaskan pada kami semua!" Pak Moko menghardik. Memperhatikan bagaimana menantu barunya itu sekuat tenaga menahan emosi. Agar tak meledak di sembarang tempat.
"Saya tidak ada maksud apapun, pak. Juga tidak mungkin akan berani berbuat jahat pada saudara sendiri."
"Heh! Ngaku saja kamu!" Mentari menyela.
"Nggak usah sok suci, apa maksudmu tadi Pegang-pegang tanganku, hah? Kalo bukan berniat jahat!"
"Maaf, Mbak tari. Kenapa malah memutar balikkan fakta, sih?" Cakra mendengus.
"Kamu yang memutar balikkan fakta!"
"Sudah, sudah!" Semua terdiam ketika Pak Moko angkat bicara.
"Karena nggak ada fakta yang bisa ditunjukkan, dan karena itu semua hanya indikasi saja. Maka kita biarkan saja Cakra. Namun, lain kali jika kejadian itu terulang kembali. Sudah tak ada maaf lagi dariku!" Pak moko mengakhiri, lalu menggamit lengan sang istri untuk pergi saja dari tempat itu. Meninggalkan mereka bertiga yang saling melirik tak percaya.
"Ayo sayang, kita ke kamar saja," Ajak Bima pada mentari. Lelaki itu berjalan mendahului mentari yang menatap Cakra dengan tersenyum menyeringai.
"Rasain, kamu!" Lirih perempuan itu sebelum melangkah.
"Apa tujuanmu, Mbak?" Cakra bergumam. Menatap nanar pada kedua punggung menjauh itu. Mentari yang berjalan di belakang, sebelum menapaki tangga naik, ia sempat menoleh lagi.
Kali ini nampak wajahnya terkekeh-kekeh sambil menggelengkan kepalanya. Membuat Cakra ikut menggeleng tak habis pikir.
Tak lama wajahnya terkesiap. Teringat pada istri yang sedang merajuk di dalam kamarnya. Ia berjalan cepat menuju lantai dua, sepanjang jalan menuju kamar, pikirannya dipenuhi hal buruk.
Baru saja Mega mau berbicara dari hati ke hati tentang pernikahannya itu. Kini ia harus salah paham.
"Mega?" Ucapnya sambil membuka pintu kamar. Di sana, gadis itu duduk menekuri meja rias dengan meremas jemari. Mungkin kebiasaannya ketika hati sedang gundah.
"Mega, kamu percaya sama kesalahan pahaman tadi?" Cakra bertanya hati-hati.
"Mbak tari bukan orang yang pandai berbohong," Mega menjawab datar.
"Itu, mungkin dulu. Ketika kalian masih sama-sama melajang," Cakra menyahut. Beberapa jenak, mega terdiam. Hanya sesekali terdengar isakan lirih tertahan. Saking ditahannya, hingga permukaan dada itu bergerak tak beraturan.
"Mbak tari nggak mungkin bohong!" Lirihnya lagi.
"Iya, aku tau. Mentari adalah saudara kandungmu. Dan aku tidak boleh menghasutnya. Tapi, sekali lagi aku tegaskan. Semua tadi cuma salah paham,"
"Lalu, kamu memaksaku untuk percaya begitu saja padamu? Dengan pengalaman pahit yang ku alami sebelumnya. Harusnya aku tidak boleh mudah percaya sama laki-laki. Mereka semua sama, jahat!"
"Mega," Cakra menyapa lembut, sambil meraih bahu rampung bergetar halus.
"Tolong beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya," Ia meminta.
"Apalagi yang mau kamu jelaskan? Semuanya sudah jelas. Kamu mau berbuat jahat pada kakakku. Kamu nggak ada bedanya dengan mereka!" Suara mega parau. Berada di sela-sela isakannya.
"Mega. Tolonglah. Ini semua cuma salah paham. Kalaupun aku dan kakakmu tadi sempat berpegangan tangan, itu karena nggak sengaja. Kamu tau, kan? Artinya nggak sengaja?" Ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa mentari hendak menjebaknya, tetapi tak sampai hati. Gadis itu pasti tak percaya begitu saja.
Mega mengangkat wajah, menatap Cakra dengan mata memerah. Pandangannya sendiri, meski berliput rasa tak suka.
"Siapa yang harus kupercaya?" Ia bergumam lirih. Lantas kembali menunduk, isakannya semakin sering.
"Aku nggak memaksamu untuk percaya padaku. Suatu saat nanti, pasti akan terlihat siapa yang benar dan siapa yang salah," Cakra bangkit, berjalan gontai. Lalu menjatuhkan badannya di atas sofa, tempat biasanya itu tidur. Menghabiskan malam-malam panjang, selama berada di rumah itu.
***