Chapter 16 - Bab 16

Seperti biasa, ketika malam tiba, seluruh anggota keluarga pak moko berkumpul mengelilingi meja makan besar. Aneka makanan terhidang di sana. Acara makan malam itu, selain untuk makan bersama juga untuk saling bercurah keluh kesah. Tentunya selain Cakra. Hingga saat ini, sepertinya ia belum mendapatkan tempat di hari bapak dan ibu mertuanya.

Malam ini, ada yang berbeda dari raut wajah mentari, sejak beberapa hari yang lalu. Sejak wanita itu hendak berbuat jahat pada Cakra, lalu terhalang oleh Mega. Perubahan wajah mentari itu, hanya Cakra yang bisa memahaminya. Tanpa ada siapapun di keluarga itu yang tahu, selain mega tentunya.

"Pak, Buk," Cakra membuka percakapan yang sejak tadi belum terdengar. Semua orang menoleh, termasuk Mega yang duduk disebelahnya.

"Saya mau minta ijin, sebulan lagi akan mengikuti tes CPNS di luar kota," Ucap Cakra agak ragu.

"Apa? Tes PNS? Emang kamu sepintar itu, ya?" Bima yang menimpali. Dan Cakra telah siap dengan segala hinaan itu, karena telah menjadi makanan sehari-hari baginya. Sejak ia berada di rumah mewah itu, bahkan sejak ia kecil. Ketika tumbuh besar di rumah sang paman. Cacian dan hinaan telah menjadi temannya sehari-hari.

"Iya, tuh. Emang yakin, dia bisa lolos?" Seloroh mentari. Sepertinya baru wanita itu baru mendapatkan bahan omongan untuk menyembunyikan raut wajah kikuknya.

"Iya, ya?" Bima kembali menjawab suara sang istri, lalu suara gelak tawa memenuhi isi ruangan itu.

Cakra memasang wajah tenang, tak ingin terpancing emosi. Mega yang nampak tak suka dengan celotehan keluarganya tentang Cakra. Terlihat dari gestur tubuh kaku, juga cara makan melambat.

Hal itu lagi-lagi tak ada yang peduli, baik dari Ibu maupun bapaknya. Hanya Cakra yang mengetahui perubahan itu, ia menoleh ke arah istrinya sekilas. Menggerakkan tangan kiri ke atas pangkuan Mega, menepuknya perlahan untuk menyalurkan hawa positif.

"Memangnya dimana tes akan diadakan?" Pak Moko angkat bicara, melerai tawa yang masih sesekali terdengar menggelitik pendengaran.

Serentak semua orang terdiam, mentari wajahnya telah lebih santai dari sebelumnya. Bersama dengan yang lain, memperhatikan Cakra untuk menunggu jawabannya.

"Belum tau, Pak. Mungkin di Madiun atau di Ponorogo," Jawab Cakra.

"Kalo lolos jadi pegawai negeri, sudah jelas kalian akan hidup enak. Tapi kalo tidak lolos, apa rencanamu selanjutnya?" Kali ini bu moko yang bertanya. Tentunya dengan raut wajah sinis, tak suka sama sekali dengan menantunya itu.

"Iya. Betul itu. Masa selamanya mau numpang makan tidur di rumah mertua? Dimana harga dirimu?" Bima menyela. Belum sempat menjawab pertanyaan dari pak moko, harus ditambah lagi dengan Bima.

Lelaki itu bertanya seakan tiada beban. Padahal ia sendiri saja masih tinggal di rumah ini, dan sudah memiliki seorang anak. Belum juga berinisiatif untuk mencari rumah sendiri. Jika saja tak peduli dengan kondisi setelahnya, Cakra pasti menyindir hal itu.

"Baiklah. Tapi aku tidak mau tau. Jika kalian ingin pernikahan ini bertahan lama, maka kamu harus lolos seleksi itu. Kalaupun tidak, setelahnya kamu harus punya usaha lain yang lebih baik dari pada hanya sekedar guru sukuan!" Pak Moko berkata lantang.

Cakra tak menyahut, hanya terdengar suara mulut terkekeh dari Bima dan istrinya. Bisa dipastikan ada wajah penuh kemenangan dari mereka berdua.

***

Hari-hari Cakra selanjutnya di penuhi dengan tugas rumah kian menumpuk yang tak ada habisnya. Bahkan akhir-akhir ini, tugas mencuci dan membersihkan rumah pun dilimpahkan kepadanya. Hal itu membuatnya nyaris tak ada waktu untuk sekedar mempersiapkan materi tes.

Hingga kini pun, karena kesibukan itu, Cakra belum bisa merasakan indahnya menjadi pengantin baru. Apalagi istrinya masih tetap sama, dingin dan selalu takut disentuh.

Pernikahan yang berjalan hampir dua bulan lamanya. Belum pernah sekalipun mereka tidur di atas ranjang yang sama.

Malam ini adalah malam pertama mereka berada di atas ranjang yang sama. Karena menginap di sebuah hotel, dekat alun-alun kota Ponorogo. Menjelang Cakra menghadapi seleksi CPNS.

"Kamu belum tidur?" Cakra miring menghadap Mega yang masih terjaga, menatap dengan mata mengernyit. Sosok yang ditanya itu hanya menggeleng pelan, sambil memandang hampa pada langit-langit kamar.

"Apa kamu masih belum nyaman tidur seranjang denganku?" Cakra menegakkan badan. Pandangannya memindai sekeliling, kamar hotel sederhana, tanpa sofa atau kursi apapun di dekatnya.

"Kalo kamu masih belum nyaman, aku tidur di bawah saja," Ia menyibak selimut sambil menurunkan sebelah kaki. Namun, tiba-tiba tangan kanannya di pegang seseorang. Mega.

Gadis itu menggeleng ketika Cakra menoleh, "jangan. Di bawah dingin," Katanya.

"Tapi kalo kamu nggak bisa tidur?"

"Nggak apa-apa. Nanti lama-lama pasti tidur," Mega tersenyum manis. Malam ini sangat manis hingga Cakra tak dapat berkedip. Melihat senyuman itu, seperti hipnotis yang membuatnya berhalusinasi.

Cakra kembali menarik ujung selimut dan menutupi tubuh mereka berdua hingga sebatas dada. Kali ini mereka tidur miring berhadapan. Kini giliran pemuda itu yang tak nyaman. Ia melewati detik demi detik yang sangat menegangkan.

Perlahan tangannya menyentuh jemari sang istri. Ketika mega tak melakukan perlawanan, ia meraih dan memegangnya erat.

"Apa di hatimu sudah ada cinta buat aku?" Tanya Cakra dengan pandangan sendu.

"Aku, belum tau," Mega menjawab lirih.

"Bagaimana perasaanmu jika bersamaku, selama ini?" Cakra kembali bertanya. Sebagai lelaki normal, bohong jika ia tak mati-matian menjaga gejolak jiwa saat bersama dengan sang istri.

Apalagi malam ini, berbaring dalam satu selimut, jauh dari keluarga yang biasanya tak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk berdekatan. Sepertinya orang serumah memang sengaja menyibukkan cakra, agar tak ada kesempatan untuk meraih hati Mega.

"Jujur, sekarang aku lebih merasa tenang. Merasa ada yang melindungi dari pada sebelumnya," Jawaban Mega membuat Cakra tersenyum lebar.

Lalu dengan segala jerih payah, juga sikap penuh kehati-hatian. Akhirnya Cakra bisa menyentuh tanpa jarak, wajah pucat dan bergetar gugup itu.

Pagi menjelang, Cakra beranjak meski hasrat belum tertuntaskan sepenuhnya. Karena sikap Mega yang timbul tenggelam. Mengingat jadwal seleksi pada jam awal, ia lantas membersihkan diri di kamar mandi.

Ketika keluar, ia melihat Mega telah duduk menunduk di pinggir ranjang. Dengan rambut yang masih berserakan.

"Maaf," Lirih gadis itu, ketika Cakra berjalan menuju tas besarnya. Terpaksa ia menoleh, sebelum sempat membuka resletingnya.

"Nggak apa-apa," Cakra berujar lembur disertai senyuman hangat. Berusaha memaklumi kondisi istrinya saat ini.

"Kamu mandi, ya. Terus kita keluar cari udara pagi, sambil cari makan," Cakra berusaha membebaskan Mega dari rasa bersalahnya yang terlihat dari raut muka tertekuk itu.

Jam delapan pagi, mereka tiba di tempat tes seleksi CPNS yang diadakan di salah satu Perguruan tinggi swasta di kota Ponorogo.

Cakra mencarikan tempat aman untuk istrinya, di dekat para polisi yang bertugas di sana.

"Kamu tunggu di sini, ya. Jangan kemana-mana sebelum aku kembali ke sini lagi," Cakra berpesan sebelum masuk ke ruang tes. Mega hanya mengangguk, tetapi ada bias keraguan terselip di wajahnya.

"Nggak apa-apa, kan?" Sekali lagi ia bertanya, dan lagi-lagi Mega mengangguk memberikan jawaban.

Selanjutnya, Cakra berjalan masuk ke ruang tes setelah menjalani berbagai pemeriksaan dan pendaftaran.

Hingga dua jam kemudian, ketika peringatan batas waktu telah berbunyi di layar komputer.

Ia menyerah, menyelesaikan beberapa sisa soal dengan sembarangan. Pikirannya sudah kehilangan fokus, juga sejak tadi ada rasa pesimis memperkeruh logika.

Ketika ia menutup aplikasi di layar itu, tak lama meraupkan kedua tangan pada wajah sambil berhembus berat.

Langkahnya gontai mendekati sang istri yang sudah menunggu tak sabar. Tangannya terulur memperlihatkan secarik kertas bertuliskan catatan hasilnya tadi.

"Aku minta maaf."

***