Cakra terkesiap ketika mendengar gawainya berdering. Nama pak Hendra terpampang di layar lima inchi itu, hatinya sempat berdebar sebelum menjawab telepon darinya.
"Iya, Pak?"
"Pak Cakra, besok anda bisa ke sekolah, kan? Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Terkait dengan beberapa kali kali anda tidak masuk tanpa ijin," Suara dari seberang ujung telepon membuatnya tersentak. Baru menyadari bahwa ia tak masuk hari ini, tanpa ada pemberitahuan sama sekali pada pihak sekolah.
"Iya, Pak. Besok saya akan masuk, maaf jika hari ini saya tidak ijin dulu. Karena ada aktivitas mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," Ia berkilah.
Ketika sambungan telepon telah terputus, ia lemparkan gawai itu ke atas sofa hingga terpental beberapa kali. Mega yang melihatnya langsung berdiri, hendak mendekatinya meski ada rasa ragu. Ragu bila sikapnya kini malah akan memancing kemarahan suaminya.
"Mas?" Ia menyapa. Pertama kalinya memanggil Cakra dengan sebutan mas, secara langsung. Perempuan itu perlahan mendekati suaminya dan duduk di sebelah.
"Apa yang terjadi?" Ia bertanya lagi, karena Cakra hanya meliriknya sekilas lalu kembali memalingkan wajah. Memijat pelipisnya dengan kelima jemari.
"Nggak apa-apa, kok. Kita tidur saja, ya," Cakra menjawab tak bersemangat sama sekali. Lalu, serta merta membaringkan badan di atas permukaan sofa.
"Kalo nggak apa-apa, kenapa sepertinya ada masalah?" Mega rupanya belum puas dengan jawaban tadi.
"Kalo aku bilang baik-baik saja, ya nggak apa-apa, mega. Sudahlah, kamu tidur saja sana," Ia menyahut agak ketus. Berbeda sekali dengan sikapnya selama ini.
"Mas, kalo memang ada masalah. Bicaralah, biar beban pikiran jadi berkurang,"
Bukannya senang, Cakra yang tadinya memejam, kini kembali membuka matanya. Bahkan menatap sang istri dengan cukup tajam, hingga mega terhenyak. Tak biasanya lelaki itu bersikap seperti ini.
"Puas kamu? Lihat aku seperti ini!" Cakra berteriak tertahan. Detik selanjutnya mengelus dada karena teriakannya tadi membuat Mega terperangah. Lalu menunduk penuh penyesalan.
"Ma, maaf," Suara Mega terbata, setelah beberapa saat mereka saling terdiam.
"Sudahlah. Ayo tidur saja," Ia memilih untuk segera mengalihkan pembicaraan dengan merangkul pundak Mega. Mengajaknya naik ke atas ranjang.
Malam ini Cakra tertidur sangat pulas, meski perutnya belum di isi apa-apa sejak tadi siang.
Pagi-pagi sekali ia sudah bangun, jam enam pagi telah siap dengan baju seragamnya.
"Mau berangkat sepagi ini?" Tanya sang istri yang baru keluar dari kamar mandi.
"Iya. Pak Hendra memanggilku untuk menemuinya. Sepertinya aku akan dapat peringatan, karena telah beberapa kali tidak masuk tanpa ijin,"
"Apa karena aku dan keluargaku?"
"Bukan. Aku berangkat, ya."
"Mas!"
Cakra menuruni anak tangga menuju lantai bawah, tanpa memperdulikan panggilan istrinya lagi. Bahkan ketika tiba di dekat pintu depan, ia mempercepat langkahnya ketika melihat Ibu mertua yang menatap tajam.
"Cakra! Berani benar kamu jam segini sudah berangkat. Siapa yang mau beres-beres rumah, hah?" Teriak Bu Moko.
"Maaf, Buk. Saya ada urusan mendadak, dan tidak boleh di tunda. Sesekali mbak tari atau lintang yang beberes rumah kan bisa," Jawabnya santai, sambil naik ke atas motor dan menyalakan mesinnya.
"Hey, menantu durhaka, kamu!"
Teriakan wanita itu tak lagi dihiraukannya, meski sebenarnya suara tadi cukup keras. Namun, tetap saja teredam oleh raungan mesin motor digas tinggi untuk di bawa melaju kencang.
Setengah jam setelahnya, ia tiba di depan gerbang sekolah yang masih lengang. Hanya ada beberapa siswa masuk dengan kendaraannya.
"Pagi pak gan, tumben sekali masih pagi sudah datang? Hehe," Sapaan dari salah satu satpam itu. Membuatnya tersenyum nyengir untuk menanggapinya.
Tiba di tempat parkir khusus guru dan karyawan, pandangannya langsung tertuju ke depan gedung kepala sekolah. Tempat parkir khusus untuk petinggi SMP itu telah terisi dengan mobil Pak Hendra. Sudah bisa dipastikan, ia pasti telah berada di ruangnya.
Cakra melangkah perlahan menuju ruangan kepala sekolah itu. Nampak dari kaca jendela, Pak Hendra sedang serius di depan laptopnya. Ia mengetuk pintu yang terbuka sedikit, pada ketukan ketiga pemiliknya menoleh dan berkata, "masuk."
"Oh, Pak Cakra?" Kepala sekolah berwajah tegas penuh wibawa itu menyapa, dengan disertai senyuman tipis. Ia beranjak menuju satu set sofa di ruangan luas depan ruangan pribadinya.
"Silahkan duduk, Pak," Ucapnya. Cakra hanya mengangguk, menurut pada titah petinggi sekolah negeri itu.
"Maaf, Pak. Tapi langsung saja, ya. Saya juga haran, kenapa akhir-akhir ini Bapak jadi sering tidak masuk sekolah? Bahkan tanpa ijin," Pak Hendra membuka pembahasan.
Cakra menarik nafas panjang, memang semenjak menikah dengan anak Pak Moko, ia jadi seringkali tak masuk sekolah. Hal itu, bukan tanpa sengaja. Melainkan karena tugas rumah yang diberikan Bu Moko, membuatnya melupakan jadwal mengajar.
"Maaf, Pak. Saya menyadari selama ini saya keliru," Ucap Cakra, berpikir keras bagaimana mau membuat alasan yang masuk akal.
"Memang apa kesibukan Bapak semenjak menikah?" Tanya Pak Hendra, menatap lekat ke arah lawan bicara. Membuat Cakra menghentikan nafas sejenak. Merasakan kesan buruk, bahwa perubahannya itu justru setelah ia menikah.
"Saya memang sibuk membantu usaha Bapak mertua, Pak," Jawabnya berbohong. Tak mungkin ia menjelaskan kebenarannya.
"Mohon pengertiannya, Pak. Saya ini masih numpang hidup di rumah mertua. Jadi, saya segan bila harus selalu meninggalkan, sementara mereka sibuk bekerja sepanjang hari," Lanjutnya.
Kali ini pak Hendra nampak mengangguk beberapa kali, sambil berfikir keras sepertinya.
"Iya. Saya mengerti. Tapi, alangkah lebih baiknya jika sebelumnya memberitahukan pada pihak sekolah, Pak Cakra."
"Iya, Pak. Sekali lagi mohon Maafkan saya, setelah ini saya akan berusaha memperbaiki diri."
"Bukan saya yang rugi, Pak. Tapi Bapak sendiri, juga anak-anak. Iya, kan?" Pak Hendra memberikan pertimbangan, "jadi, bukan pada saya Bapak meminta maaf, tapi pada anak-anak yang sering ketinggalan materinya," Ia melanjutkan.
"Iya, Pak. Saya mengerti. Tapi, apakah kesalahan saya ini sangat fatal, dan berimbas pada jam saya di sekolah ini?" Cakra berujar. Iya, dia sangat membutuhkan pekerjaan itu meski gaji yang tak seberapa.
Hanya satu tujuannya, bila ada keseringan seperti kemarin, ia berharap akan nasib baik. Menunggunya esok hari.
"Ini peringatan terakhir untuk Pak Cakra. Karena sudah terlalu sering membolos tanpa ijin. Jika beberapa bulan ke depan masih seperti ini lagi, mohon maaf sekali, Pak. Bapak harusnya paham yang saya maksud,"
"Iya, Pak. Saya mengerti. Saya akan berusaha lebih baik lagi. Terimakasih atas pengertiannya, Pak," Cakra berucap disertai senyuman hangat. Senyuman yang sangat ia paksakan untuk hari ini, sebuah senyum palsu.
"Baiklah. Kalo begitu silakan Bapak kembali ke ruangan," Pak Hendra mengakhiri percakapannya. Pria itu berdiri, dan Cakra mengikutinya.
"Terimakasih, Pak. Sekali lagi mohon maafkan saya," Ucap Cakra sambil menyalami kepala sekolah itu.
Setelahnya, ia melangkahkan kaki gontai. Menuju ruang guru yang sudah ramai, tak menyadari bahwa pembicaraannya dengan Pak Hendra tadi memakan waktu cukup lama.
Melewati para guru itupun ia harus berusaha tersenyum hangat seperti biasa, meski di dalam hati tercipta rasa nyeri. Beruntung, hari ini ia terjadwal di jam ke dua, sehingga bisa duduk lebih tenang.
"Pak Cakra," Suara Bu Nur, mengagetkannya.
"Eh, iya, Bu?" Suaranya terbata, ketika Bu Nur menyusul duduk di sebelahnya.
"Sabar Pak, ya," Ucap wanita paruh baya itu dengan tersenyum hangat. Menampilkan aura kewibawaannya sebagai seorang guru wanita yang dicintai para muridnya.
"Semoga tahun depan ada perekrutan CPNS lagi, dan Bapak bisa lolos seleksi," Tambahnya. Cakra hanya mengangguk sambil tersenyum getir.
***