"Kemana suamimu?" Sang Ibu tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Mega terkejut bukan main. Mata garang itu langsung tertuju pada sosok yang masih tertidur pulas di balik selimut.
"Bangunkan dia!" Perintahnya pada Mega yang kemudian membelalak sambil menggeleng cepat. Tentu saja ia tak berani mengganggu tidur sang suami, yang jelas-jelas terlalu kelelahan itu.
"Cepat, bangunkan dia, Mega!"
"Tapi, Buk .... "
"Nggak ada tapi-tapian. Cepat, bangunkan dia, atau aku siram dia pake air bekas cucian!"
"Tidak perlu, Ibuk."
Keduanya menoleh serentak. Begitupun sang ibu yang baru saja usai dari teriakan melengking di pagi hari ini.
"Ibuk tidak perlu memerintah dengan berteriak seperti itu pada Mega. Kasihan dia, buk. Ibuk paham kan, bagaimana kondisinya selama ini?" Cakra berkata dengan tenang. Sambil beranjak dari atas ranjang, mendekati mereka berdua yang kebingungan. Sejak kapan ia bangun? Mungkin itu yang ada di dalam pikiran kedua wanita beda usia itu.
"Saya sudah bangun, Buk. Tidak perlu di siram dengan air apapun," Cakra berkata lagi.
"Bagus, kalo kamu sudah bangun. Kamu itu harusnya bisa ngaca. Apa posisimu di rumah ini, hingga kamu bisa enak-enak jam segini masih tidur!" Desis bu moko dengan mata yang masih melebar, menyeramkan. Layaknya monster yang siap menerkam lawan.
"Hari ini kamu nggak boleh pergi kemanapun. Kamu harus berada di rumah, membantu mempersiapkan untuk acara arisan nanti!" Belum sempat Cakra menyahut ucapan Bu Moko yang pertama tadi, wanita itu sudah kembali bersuara. Tanpa ada titik koma, tanpa menerima alasan apapun, titahnya harus dituruti.
"Baik, Buk," Jawab Cakra tanpa banyak berkata.
"E, Buk. Tapi .... "
"Apa, kamu?" Bu Moko menyela ucapan anak gadisnya yang terpotong. Entah akan berkats apa Mega tadi, karena ketika sang Ibu membentaknya. Gadis itu terdiam seribu bahasa, menundukkan wajahnya, tak berani bertanya lagi.
"Sekarang juga, cepat mandi dan pergi ke dapur. Aku dan tari akan menunggu di sana!" Titah Bu Moko lagi, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar Mega.
Sedangkan kedua orang yang masih berada di kamar itu saling menghela nafas kasar.
"Mega, kenapa tadi tidak bangunkan aku? Ini sudah jam tujuh," Tanya Cakra pada sang istri yang masih menyembunyikan wajahnya.
"Aku nggak tega," Gadis itu menjawab lemah.
"Tapi kamu tega, melihat aku diperlakukan seperti tadi sama orangtuamu," Cakra berkomentar sambil melangkah menuju kamar mandi.
Mega terheran-heran Dengan kalimat suaminya barusan. Ia pasti ketakutan saat ini, terlihat dari raut wajah memucat dan meremas jemari dengan keras. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya hingga Cakra keluar dari kamar mandi dan memandangnya dengan penuh tanya.
"Kamu kenapa?" Tanyanya seakan tak pernah terjadi apapun.
"Aku ... Aku, minta maaf," Ucapnya terbata. Mendekati Cakra masih dengan menunduk, membuat lekaki itu mengernyitkan dahi, tak habis pikir.
"Minta maaf?" Tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.
"Iya, gara-gara aku tidak membangunkanmu. Kamu jadi kena marah sama Ibuk. Orangtuaku memang sudah sangat keterlaluan," Mega berujar penuh penyesalan.
"Maafkan aku juga, karena pernikahan ini hanya membuatmu tersiksa," Lanjutnya. Dan Cakra semakin menyipitkan kedua matanya, karena tak percaya jika Mega akan mengatakan hal itu.
Ia lantas memakai pakaian dengan cepat dan membimbing Mega untuk kembali duduk di atas sofa.
"Mega, kenapa kamu tiba-tiba berkata seperti ini," Cakra bertanya. Tentu saja ia keheranan.
"Ucapanmu sebelum ke kamar mandi tadi, pasti mewakili isi hatimu selama ini, kan? Makanya aku minta maaf, atas nama seluruh anggota keluargaku yang telah berbuat kurang baik kepadamu,"
"Sudahlah, Mega. Kamu tidak perlu meminta maaf seperti ini. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka, sikap mereka itu nggak pernah aku fikirkan hingga masuk ke hati. Kamu tenang saja, ya," Cakra menyahut dengan senyuman hangat dan tatapan meneduhkan. Sejurus kemudian, terbitlah sebuah senyuman manis dari bibir Mega yang berwarna kemerahan itu.
Cakra tentu saja semakin tersenyum lebar, sejak hidup bersamanya. Sepertinya baru kali ini melihat senyumnya yang seindah ini.
"Lebih baik kita bantu-bantu Ibuk sama Mbak tari saja, ya. Di dapur," Cakra mengusulkan, namun Mega segera menggeleng dengan cepat.
"Aku nggak mau di sana. Semua orang id rumah ini pasti ijin kerja,"
"Lho, memang kenapa kalo semuanya ada di rumah. Kan di sini nanti mau ada arisan keluarga katanya," Cakra mencecar alasan tak masuk akal dari istrinya itu.
"Aku nggak kau ketemu mereka, aku mau di sini saja," Rupanya Mega tetap kukuh dengan pendiriannya.
"Ya udah kalo kamu mau di sini saja, aku turun, ya?" Ucapnya kemudian berlalu keluar kamar.
Cakra melenggang, menuju dapur yang telah berantakan, entah sejak kapan. Padahal baru jam tiga pagi tadi ia membereskan semuanya. Terkadang ia berfikir, rumah sebesar ini kenapa tidak membayar asisten rumah tangga saja? Memang sebelum ada menantu baru di rumah itu, siapa yang bertugas bersih-bersih? Apakah Bima? Ah, rasanya tak mungkin sekali. Cakra membatin sambil mendekati kedua perempuan ibu dan anak itu.
Belum sempat ia tiba di tempat tujuan, bu moko menoleh. Mengacungkan telunjuknya ke arah meja di samping Cakra.
"Aduk itu!" Titah Bu Moko menunjuk pada baskom besar berisi tepung, mungkin mereka mau membuat jajanan sendiri.
"Iya, Buk," Jawabnya, lalu mengambil mixer yang sudah diletakkan di sebelah baskom besar. Dengan cekatan ia memasukkan gula dan beberpa telur ke dalam adonan itu.
Pekerjaan yang cukup menguras tenaga, sementara Bima, Pak Moko dan anak bungsunya itu hanya duduk santai di ruang TV. Sesekali terdengar celotehan dan gelak tawa dari mereka berdua, membuat telinga Cakra kian memanas. Namun, ia hanya bisa mengelus dada. Sadar akan posisinya saat ini.
Proses memasak telah usai ketika siang menjelang, semua orang telah berdandan rapi kecuali Cakra. Keadaan dapur yang masih berantakan, membuatnya belum sempat untuk membersihkan badan. Apalagi, Ibu dan kakak iparnya tadi pergi begitu saja ketika masakan telah matang. Tanpa peduli dengan keadaan sekeliling yang kotor berserakan.
Bahkan ketika para tamu mulai berdatangan, Cakra masih berkutat di dapur. Parahnya, sang ibu memintanya untuk membuatkan minuman dan mengantarkan ke depan. Ke tempat orang-orang itu berkumpul, becanda dan tergelak bersama.
"Eh, ini menantumu yang katanya guru itu, ya? Kok dekil gini, sih? Nggak kayak Mas Bima itu," Celetuk salah satu Ibu-ibu muda berdandan menor. Dengan benda berkilauan memenuhi lengan dan lehernya yang tak jenjang.
"Iya, tuh. Dia itu emang anak mantu yang nggak ada gunanya. Makanya aku nyuruh dia buat jadi pelayan aja di rumah ini," Jawab Bu Moko dengan antusiasnya, tanpa peduli sama sekali dengan perasaan Cakra yang tengah sibuk menata gelas di meja.
Kaos oblong berwarna putih itu telah berubah menjadi beberapa warna, akibat kotoran yang ia geluti sejak tadi pagi.
"Wah?" Yang lain menimpali.
"Iya. Kami juga sudah bikin perjanjian sama guru miskin itu, kalo dalam waktu lima tahun nggak bisa merubah hidupnya, mereka harus bercerai!" Suara Bu Moko begitu lantang. Berkata dengan sombongnya, hingga membuat semua orang yang ada di rumah itu berdecak kagum. Bagi yang pro dengan sikapnya. Bagi yang tidak, mereka hanya menggeleng, terkadang menatap Cakra dengan pandangan iba.
Acara berlangsung hingga menjelang sore, selama itu pula Mega tak ikut bersama mereka. Ia tetap berada di dalam kamarnya. Sementara Cakra, belum bisa membersihkan badan sebelum semua orang pulang. Karena sepulang mereka semua, keadaan ruang tamu pasti lebih buruk dari sebelumnya.
Ia baru bisa menghempaskan badan lelah, setelah jam delapan malam. Setelah ia membersihkan badannya. Bahkan rasa perut yang teriris itu tak lagi ia hiraukan. Tak peduli meski istrinya menatap iba dari pinggir ranjangnya.
Cakra terkesiap ketika mendengar gawainya berdering. Nama pak Hendra terpampang di layar lima inchi itu, hatinya sempat berdebar sebelum menjawab telepon darinya.
"Iya, Pak?"
"Pak Cakra, besok anda bisa ke sekolah, kan? Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Terkait dengan beberapa kali kali anda tidak masuk tanpa ijin."
***