Mereka berdiri tertegun di depan pintu rumah saat hari telah gelap, dan tak ada seorang pun berada di luar. Ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali, menggiring seseorang berjalan membukakan pintu untuk mereka berdua.
Wajah yang muncul sangat datar, menatap penuh selidik sambil menyedekapkan kedua tangan.
"Apa hasil yang kamu bawa pulang?" Sosok itu bertanya sinis. Membuat kedua orang yang baru datang berpandangan sejenak, lalu serentak menundukkan wajah.
"Kenapa diam? Kamu gagal, kan?" Dengan entengnya bu moko bertanya demikian. Seperti kompetisi itu bisa dengan mudah di rebut kejuaraanya.
"Maaf, Buk. Saya masih belum bisa memberikan yang terbaik," Jawaban cakt akhirnya.
"Sudah ku duga. Kamu itu orangnya bodoh, sok-sokan mau ikut seleksi segala!" Selorohnya sambil berkacak pinggang.
"Ada apa sih, Buk? Sudah malam begini kok ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Moko muncul dari dalam rumah. Mendadak Cakra menahan nafas sejenak, tak lama lagi pasti akan segera mendapatkan makian dari lelaki setengah abad itu.
Apalagi, ketika Pak Moko sudah melihat mereka berdua, tatapannya berubah menjadi lebih mengerikan.
"Kalian rupanya," Suara Pak Moko terdengar sangat datar. Entah terbuat dari apa hati keduanya, anak baru pulang dari jauh bukannya di suruh masuk segera masuk. Melainkan di todong dengan berbagai pertanyaan memuakkan.
"Apa hasilmu? Harus lulus, bukan?" Pak Moko melanjutkan. Sementara Cakra sudah sesak, enggan untuk menjawab pertanyaan yang sama.
"Pak, Buk. Mas Cakra capek, biarkan dia istirahat dulu," Kali ini Mega memberanikan diri untuk ikut angkat bicara. Meski setelahnya, kedua pasang mata melotot yang ia dapat.
"Apa maksud kamu, Mega? Kamu mau membela suamimu yang nggak berguna itu? Makan tidur saja masih numpang, berani-beraninya ngatur!" Hardik Pak M nggxoko, benar-benar tanpa belas kasihan. Akhirnya Mega yang hendak kembali menjawab mengurungkan niatnya.
"Jadi bagaimana hasilnya?"
"Maaf, Pak. Saya belum berhasil," Cakra menjawab lirih. Membuat Pak Moko membulatkan matanya.
"Kabar macam apa, ini?" Lelaki itu memekik. Jantung Cakra serasa berhenti seketika.
"Aku tidak mau tau. Lima tahun yang akan datang, kamu sudah harus bisa menyaingiku. Kalau tidak rumah tanggamu taruhannya!" Usai berkata begitu, Pak Moko berbalik dengan menggebrak daun pintu menggunakan kepalan tangannya. Sementara bu moko mencebik, lalu ikut masuk. Menyusul suaminya.
Kini tinggal Cakra dan Mega berada di depan pintu, berdiri mematung tanpa sepatah katapun. Mega melepas jaket tebalnya, lalu menjatuhkan badan di atas kursi anyaman rotan di teras itu.
"Belum mau masuk?" Tanya Cakra ikut duduk. Pandangan mereka menatap hampa pada pemandangan sekitar rumah di malam hari. Kerlap-kerlip lampu perumahan hingga ke ujung pantai terlihat jelas, berpadu gemintang di atas sana.
Memandangnya, menunjukkan rasa tenang tersendiri. Namun, jika hati tengah gundah begini, pemandangan seindah itu tak berpengaruh apapun bagi mereka.
"Mega, sudah malam. Ayo masuk saja," Ajak Cakra setelah beberapa saat lamanya mereka saling terdiam.
Mega mengangguk, mengikuti langkah suaminya menuju kamar. Tempat mereka menumpahkan segala penat dalam dada.
Tiba di depan pintu, Mega mendahului Cakra masuk ke dalam kamar dan merebahkan badan di atas ranjangnya.
"Ngantuk, ya?" Cakra menyahut, langsung duduk di sebelahnya.
"Aku capek. Mau mandi dulu terus tidur," Mega berkata dengan suara dingin, sambil beranjak menuju kamar mandi. Cakra yang melihatnya sempat mengernyitkan dahi, bertanya dalam hati. Apa sikapnya ini telah menyinggung perasaannya?
Ia termenung hingga beberapa saat. Hingga Mega keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Perempuan itu mengenakan piyama pendek bermotif bunga, membuatnya semakin terlihat cantik.
"Mega, kamu cantik," Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa mampu ia kendalikan. Meski lirih, tetapi Mega mendengarnya, dan menatap jengah padanya.
Perempuan itu hanya melempar senyum tipis, sebelum akhirnya kembali merebahkan badan di atas ranjang. Menarik selimut hingga menutup badannya.
"Aku tidur di mana?" Tanya Cakra, tatapannya tak bisa beralih dari wajah Mega yang miring menghadap ke arahnya.
"Di sini saja," Jawab Mega tak bersemangat. Namun, berhasil membuat Cakra tersenyum lega. Dua bulan lebih menikah, baru kali ini bisa tidur bersama.
"Makasih, ya. Aku mau mandi dulu biar segar," Cakra menyahut antusias, lalu meloncat dari atas ranjang. Tujuannya kali ini adalah kamar mandi, ia harus mandi dengan cepat. Tak sabar rasanya ingin segera memeluk erat badan ramping di kamarnya tadi.
Tak butuh waktu lama baginya untuk kembali keluar dari sana, kaos oblong dan jogger selutut membalut badannya malam ini. Namun, sayang sekali. Ketika ia berjalan mendekati ranjang, Mega telah tertidur pulas.
Ia menghela nafas panjang, sejenak menyadari kondisinya. Perjalanan jauh tadi, pasti membuatnya begitu kelelahan. Apalagi sebelum pulang mereka masih sempat melakukan pergumulan bersama.
Akhirnya ia hanya bisa tersenyum getir, menyusul istrinya perlahan.
"Kamu pasti lelah, tidur yang nyenyak, ya," Ucapnya lirih, sambil menarik ujung selimut.
Namun, belum sempat ia memegang selimut itu, pintu kamarnya terdengar di ketuk oleh seseorang. Terpaksa ia turun membukanya.
"Besok di rumah ini mau ada arisan keluarga. Bereskan semaunya sekarang juga!" Tanpa aba-aba seblumnya, sosok yang baru muncul dari balik pintu itu langsung bersuara.
"Tapi, ini kan sudah malam, Buk. Saya juga sangat capek habis perjalanan jauh," Terang Cakra, berusaha untuk memberikan pengertian.
"Capek, kamu bilang? Capek tanpa hasil apapun itu yang kamu jadikan alasan? Aku tidak peduli. Yang jelas sekarang juga rumah ini harus beres!" Bu Moko menghardik. Matanya melorot, menatap ke arah anak mantunya itu.
"Baiklah, Buk. Saya akan kerjakan sekarang, tapi jika belum selesai sepenuhnya, mohon jangan kecewa. Karena ini sudah larut malam, waktunya istirahat, bukan bekerja," Cakra menyahut enteng.
"Kamu berani ngelawan?"
"Saya tidak bermaksud melawan, Buk. Tapi inilah kenyataannya,"
"Cepat!"
"Iya, Buk," Wanita itu mendorong bahu Cakra dengan kasar, seolah bisa lebih kuat dengannya. Padahal badan kekar itu sedikitpun saja tak bergerak dari tempatnya berdiri.
Hingga Cakra melangkah menuruni anak tangga, menuju lantai bawah untuk melihat keadaan dapur dan ruang tamu. Tiba di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah daerah kompor dan sekitarnya. Seperti biasa, tempat itu penuh dengan perabotan dan peralatan makan kotor menumpuk. Mungkin sejak kemarin dibiarkan begitu saja.
Baru saja ia melihat pemandangan itu, dadanya sudab sesak. Menghela nafas berkali-kali untuk melonggarkan jalan pergantian oksigen. Sebelum ia memulai untuk menyentuh satu demi satu barang kotor itu.
"Pastikan semuanya bersih. Apalagi lantai di ruang tamu, jangan bikin malu!" Tiba-tiba suara itu kembali. Melotot di belakang ketika ia menolehnya.
"Iya, Ibuk," Ia menyahut sambil menundukkan kepala, dengan suara yang dibuat sepelan mungkin. Bu Moko yang berkacak pinggang itu mendengus sebelum akhirnya pergi dengan langkah cepatnya. Entah kemana lagi nyonya besar itu akan berpatroli.
Satu jam kemudian, ia beralih ke ruang tamu yang terlihat lebih rapi. Namun, ketika didekati sama saja. Banyak sekali sarang Laba-laba bergelantungan di setiap sudut ruangan. Bahkan menghiasi sebagian besar tirai mewah penutup jendela kaca.
Cakra mengerjakan semuanya seorang diri hingga jam tiga pagi, masuk ke dalam kamar dengan keadaan tak karuan. Mata berat dan rambut awut-awutan, juga ada sisa sarang Laba-laba yang belum dibersihkan.
Ia menghempaskan badan terasa remuk redam di samping sang istri. Lalu tidur sangat nyenyak sekali, hingga lupa akan waktu. Lupa akan jadwal mengajar di jam pertama esok hari.
"Kemana suamimu?" Sang Ibu tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Mega terkejut bukan main. Mata garang itu langsung tertuju pada sosok yang masih tertidur pulas di balik selimut.
***