Chapter 17 - Bab 17

Langkahnya gontai mendekati sang istri yang sudah menunggu tak sabar. Tangannya terulur memperlihatkan secarik kertas bertuliskan catatan hasilnya tadi.

"Aku minta maaf," Ucapnya lirih, disertai tatapan sendu penuh penyesalan. Sementara itu, Mega yang sudah menunggu dengan harap cemas seperti mendapatkan jawaban sendiri dari pertanyaan bersarang dalam benaknya.

Namun, perempuan itu tetap berjalan mendekati suaminya dan bertanya, "ada apa?" Padahal dalam hati ia telah memiliki firasat.

"Maaf. Aku, aku gagal," Suara Cakra bergetar, ia menghempaskan badan di sebelah istrinya.

Ia takut. Bukan takut karena gagal jadi pegawai negeri lantas tak memiliki uang banyak. Namun, takut karena jika hidupnya belum berubah, maka lima tahun yang akan datang harus berpisah dengan Mega. Wanita pertama yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Meski dengan cara paksaan, tetapi ternyata rasa cinta itu muncul dengan seiring berjalannya waktu.

"Maafkan aku, ya," Ia mengulang ucapannya, karena hingga detik ini belum ada tanggapan dari Mega.

Hingga beberapa saat, Mega baru saja menggerakkan kepalanya. Mengangguk samar, nyaris tak terlihat, jika tak memandang jeli. Iya, pasti perempuan itu memiliki kekhawatiran sama dengan yang dirasakan Cakra.

Sebenarnya, bisa saja membuat usaha lain yang lebih menjanjikan. Hanya saja tak ada modal, dan tak ada yang mau membantunya.

"Nggak apa-apa. Mungkin memang belum waktunya," Ucapan Mega membuat Cakra berhasil mengulas senyum meski hanya sedikit sekali.

"Iya, kamu benar. Kita nggak boleh menyerah, pasti ada jalan lain untuk menuju kesuksesan," Cakra membenarkan. Lalu keduanya duduk bersebelahan pada pembatas jalan, saling terdiam dan memperhatikan wajah-wajah yang keluar masuk dari ruang tes.

Ada yang bermuka datar, ada yang kehilangan senyuman seperti Cakra. Ada pula yang tersenyum sumringah, mungkin mereka yang berhasil menaklukkan puluhan soal sulit tadi.

"Pulang sekarang apa nanti?" Cakra menawarkan. Terbiasa dengan hidup pahit, tak membuatnya merasa berkecil hati hanya dengan gagalnya mengikuti tes tadi. Kekecewaan yang dirasakan ini, tak sebanding dengan sakit hati sepanjang hidup sedari kecil.

"Aku jenuh di rumah," Mega menjawab, menerbitkan senyum lega di bibir Cakra. Stidaknya, usaha selama ini untuk menembus hati membeku itu sepertinya akan mulai berhasil.

"Ayo kalo gitu, kita jalan-jalan dulu. Nanti sore baru pulang," Ajaknya berdiri dengan meraih tangan Mega.

Mereka pergi, meninggalkan tempat ramai penuh pertaruhan hati dan otak itu. Memilih untuk merefresh otak panas, dengan berkeliling kota Reog menggunakan motor butut milik Cakra.

Ketika hari telah siang, dan siang dari atas sana tak ada yang mengalahkan. Mereka berhenti di pinggir alun-alun kota. Ingin sekali Cakra mengajak sang istri masuk ke pusat belanjaan di dekat alun-alun yang terkenal murah itu.

Namun, meski murah. Ia tak memiliki banyak uang. Bahkan untuk bisa sampai di kota itu dengan menyewa kamar hotel, ia harus menyisihkan sebagian gajinya beberapa bulan lamanya. Cakra lagi-lagi hanya bisa mengucap kata maaf di dalam hati.

"Mega, maaf ya. Aku nggak bisa ngajak kamu ke sana, seperti mereka itu," Cakra menunjuk ke arah mall besar bertuliskan Ponorogo Permai, yang tak pernah sepi dari pengunjung.

Banyak sekali para istri muda yang keluar dari sana dengan membawa beberapa plastik besar, ditemani suaminya. Cakra sangat paham, wanita mana yang tak tergiur dengan barang-barang bagus di dalamnya.

Ketika ia melirik ke arah Mega, perempuan itu hanya tersenyum simpul. Meski wajah terangguk samar, tetapi gestur tubuh mewakili perasaan hati tak dapat dibohongi.

"Nggak apa-apa," Ucap Mega lirih. Dan Cakra meremas jemari istrinya dengan tersenyum, tentu saja dengan perasaan bersalah dan perasaan yang entah, apa artinya.

"Ayo ke hotel saja, sudah siang. Sebelum pulang istirahat dulu," Cakra mengajak Mega kembali ke kamar hotel yang letaknya berdampingan dengan mall tadi.

Mereka saling membaringkan badan setelah sebelumnya memesan makanan pecel lele terlebih dahulu. Merebahkan badan untuk mengurangi rasa penat dalam dada.

Kali ini, Mega telah berani menyentuh suaminya setelah semalam melakukan kewajiban suami-istri, meski dengan tak indah. Siang ini Mega memeluk bahu kokoh Cakra dari samping, tujuannya hanya untuk memberikan semangat dari kegagalan tadi.

Namun, sebagai lelaki normal, tentunya Cakra merespon dengan cara berbeda.

"Apa kamu mau kita kayak yang semalam itu?" Cakra bertanya. Tatapannya berubah sayu. Menatap lekat ke arah sang istri, hingga mega merasa tan kuat berlama-lama dalam tatapan menembus itu.

Perempuan itu tersenyum kikuk sambil memalingkan wajah, "kamu mungkin yang pengen," Kilahnya.

"Aku ini lelaki normal, Me," Cakra menyahut dengan meraih tangan mega yang hendak pergi dari bahunya. Hingga tatapan mereka kembali bertemu. Kali ini lebih lama, lebih dalam dan entah siapa yang mendahului, mereka menyatukan wajah tanpa jarak sedikitpun.

Acara istirahat mereka diisi dengan olahraga siang, yang tentu saja membuat peluh mengalir melalui pori-pori tubuh yang memanas.

Setelahnya, mereka membersihkan diri di kamar mandi. Kamar mandi yang tak jauh berbeda dengan milik mereka yang ada di rumah.

Sebagai orang kaya, Pak Moko membangun rumahnya dengan kamar mandi di dalam tiap kamar tidur semua anggota keluarganya.

Waktu sudah menunjukkan jam tiga sore, Cakra baru teringat akan perutnya yang kosong keroncongan. Karena baru tadi pagi mereka mengisi perut dengan bubur ayam keliling.

"Me, kita makan dulu. Habis itu langsung pulang, nanti Ibuk tanyanya macam-macam kalo kita nggak segera pulang,"

Cakra yang masih sibuk mengeringkan rambut basah itu hanya menoleh sekilas sambil mengangguk. Memperhatikan suaminya membuka dua bungkus pecel lele yang sudah dingin.

Perlahan perempuan itu mendekat, Cakra menyambutnya dengan senyuman dan mengulurkan sesendok nasi ke arah bibir Mega.

"Aku bisa sendiri," Tolak Mega dengan wajah memerah menahan malu.

"Kenapa kamu malu-malu begitu, sih?" Cakra terkekeh, mega hanya menggeleng pelan.

"Aku minta maaf, kamu bukan orang pertama yang menyentuhku," Mega berucap dengan wajah tertunduk.

"Aku tau. Kamu cuma korban, waktu itu," Cakra menyahut. Mega hanya mengangguk pelan sekali, bahkan tangannya masih enggan meraih nasi bungkus yang sudah terbuka di depan mata.

"Memangnya, siapa sih yang sudah setwga itu sama perempuan sebaik kamu?"

"Kenapa? Kamu marah sama dia?" Tiba-tiba mega menatap tajam suaminya, seperti hendak salah paham lagi.

"Bukan. Bukan begitu, Mega. Aku cuma tanya saja, kalo kamu nggak mau ngasih tau ya nggak apa-apa," Cakra menyahut. Lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Nasi kaku yang sudah dingin itu, tetap saja harus dimakan untuk mengganjal perut lapar.

Sebenarnya Cakra tak sampai hati, ingin sekali membeli makanan lebih baik untuk mega. Namun, sayangnya uang di dompet tinggal satu lembaran biru untuk bensin pulang nanti.

Sesekali ia mendesah lirih, ada rasa trenyuh di dalam hati. Mengingat perjalanan hidupnya yang demikian sulitnya.

"Dia cuma masa lalu yang harus aku buang jauh-jauh dalam ingatan. Beruntung sekali dia tidak meninggalkan sesuatu yang lebih buruk dalam diri ini," Ucap mega dengan suara parau. Cakra merangkul badan ringkih itu, membenamkan dalam pelukannya.

Usai makan siang mereka segera bersiap pulang, menempuh dua jam perjalanan hingga tiba di perbatasan antara pacitan dan Ponorogo.

Sepanjang jalan itu, Cakra sudah dibayang-bayangi oleh pertanyaan Pak Moko dan istrinya. Bagaimana reaksi mereka nanti saat mengetahui dirinya gagal dalam mengikuti tes seleksi.

Harus menabung uang tan sedikit, selama beberapa bulan hanya untuk perjalanan ini. Yang ternyata harus gagal.

Mereka berdiri tertegun di depan pintu rumah saat hari telah gelap, dan tak ada seorang pun berada di luar. Ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali, menggiring seseorang berjalan membukakan pintu untuk mereka berdua.

Wajah yang muncul sangat datar, menatap penuh selidik sambil menyedekapkan kedua tangan.

"Apa hasil yang kamu bawa pulang?"

***