Siang ini, Cakra baru saja pulang dari sekolah. Langkahnya tergesa-gesa, menuju kamar temen istrinya berada. Di sana, Mega duduk di sofa, tempat biasa Cakra menjalani tidur malamnya. Gadis itu sedang asyik dengan gawai di tangan. TV yang terpasang pada sisi ruangan depan ranjang juga menyala. Ia tak menyadari ketika suaminya masuk.
"Mega?" Cakra menyapa sambil melepas tas ransel dan menggantungnya di dekat gantungan baju. Ia mendekati Mega, duduk di sebelahnya.
Tak ada kata terucap dari gadis itu setelah lirikannya tadi. Mungkin masih marah dengan suaminya. Hanya sesekali melirik, ketika Cakra mencuri pandang ke arahnya. Dan kembali membuang muka, ketika tatapan mata mereka ternyata bertemu.
Mega akan kembali tertunduk menatap layar pipinya, tentunya dengan rona merah di sepasang pipi. Hal itu, membuat Cakra menggeleng sambil terkekeh dalam hati. Menyadari betapa besar gengsi yang dipunyai seorang Mega.
Cakra berdiri sambil melepas baju batik yang sejak tadi masih melekat di badannya yang kokoh itu. Hanya menyisakan kaos dalam berwarna putih pas badan, sehingga menampakkan otot-otot yang menghiasi tubuh kuatnya. Iya, ia pemuda berbadan atletis, kuat. Seperti kuatnya hati yang selama ini ia rasakan untuk menjalani hidupnya.
Celana panjang kain berwarna hitam itu masih ia kenakan, berikut dengan ikat pinggangnya. Cakra kembali duduk di dekat sang istri yang mendadak agak risih. Mungkin karena suaminya itu terlalu vulgar di depannya.
"Mega, tahun ini akan ada pendaftaran CPNS. Aku mau ikut tes, siapa tau nanti ada rejeki yang ngikut," Ia berceloteh di depan Mega, meski gadis itu tak bertanya dan hanya diam mengamati gawai. Merasa tak ditanggapi, ia menatap istrinya dari samping.
"Gimana menurut kamu?" Ia bertanya lagi. Kali ini Mega bereaksi dengan helaan nafas dalam, lalu mengarahkan wajah padanya.
"Terserah aja," Jawabnya. Namun, meski mendapatkan jawaban sesingkat itu, tetap saja Cakra tersenyum lega.
"Aku memang baru kali ini mencoba ikut tes, Mudah-mudahan saja nanti bisa lolos. Kalo bisa jadi PNS kan lumayan, bisa nyicil untuk membuat rumah sendiri. Bisa nyicil untuk membuka usaha lain," Cakra kembali berceloteh.
Mega mendengarnya dengan beberapa kali mengerjapkan mata, sebenarnya ada rasa senang terselip di dalam hati. Namun, untuk saat ini mungkin masih enggan menampakkannya.
"Biasanya tes kayak gitu di luar kota, nanti kamu ikut, ya. Biar aku ada teman," Pintanya penuh harap. Sementara Mega hanya memandang sekilas saja, tanpa memberikan jawaban apapun.
"Sekarang sih, baru proses daftar aja, dan aku belum. Baru mau, makanya bilang dulu sama kamu. Mungkin tesnya sekitar dua atau tiga bulan lagi," Lagi-lagi Cakra berbicara layaknya seorang diri tanpa ada siapapun.
"Yaudah. Aku keluar dulu, ya," Tanpa menunggu jawaban sang istri, ia melenggang keluar kamar.
Perut yang terasa keroncongan, menuntunnya untuk mendatangi arah dapur yang sepi. Memang semua orang di rumah ini masih sibuk dengan aktivitas masing-masing. Biasanya mereka semua akan berkumpul di rumah menjelang hari petang. Lalu bersama ketika makan malam.
Jam setengah tiga sore, sementara Cakra baru mau mengambil makan siang. Sebenarnya bisa saja ia makan siang di kantin sekolah, seperti yang biasa dilakukan ketika masih membujang. Namun, ia segera mengingatkan diri. Bahwa kondisinya kini telah berbeda.
Ada seseorang di rumah yang menunggu sebagian gaji kecilnya. Jadi, tidak mungkin ia akan enak-enakan jajan setiap hari.
Ia mengambil piring dan nasi dari magic com, membawanya ke meja makan untuk mengambil lauk yang ada di bawah tudung saji. Cakra makan seorang diri, pada siang menjelang sore itu.
"Hey, sendirian aja? Mana istrimu?" Ia mengangkat wajah, mentari telah berdiri tepat di sampingnya. Wanita itu mencondongkan wajah lebih dekat pada Cakra, hingga membuatnya bergidik.
Apalagi saat itu mentari menggunakan baju tanpa lengan dan bagian leher yang sangat rendah. Hingga memperlihatkan sebagian dada yang harusnya ditutup rapat itu.
Cakra menelan saliva, sebagai lelaki normal tak mungkin detak jantungnya berjalan seperti biasa. Ia bergidik, menatap wanita itu dengan pandangan menuntut.
"Maaf, Mbak. Tolong bersikap lebih baik," Cakra berucap. Suaranya parau, terbentur dengan logika yang hampir kalah.
"Memangnya kenapa, Cakra? Apa kamu tidak melihat kecantikanku? Aku tahu selama di sini, kamu belum mendapatkan apapun. Iya, kan? Apa kamu nggak menginginkannya dariku?" Suara wanita itu nyaris seperti bisikan syaitan yang lansung menembus hati.
Membuat lelaki manapun takkan berkutik. Hanya Cakra yang bisa menahannya, melewati kedua tangan mengepal kuat untuk melepaskan emosinya.
"Kita ini sudah sama-sama memiliki pasangan, Mbak. Tidak pantas bersikap seperti itu!" Seloroh Cakra, menepis pelan segugus tangan yang hendak bahunya.
Namun, rupanya wanita itu tak lantas menghiraukannya. Tangannya semakin erat memegangi pundak kokoh bergetar akibat merasa tak nyaman itu.
"Jangan sok suci. Kamu pasti butuh kehangatan, kan?" Suara Mentari mendesah kian manja, membuat Cakra semakin tak nyaman.
"Maaf, Mbak. Tolong jangan seperti ini! Nanti bagaimana kalo Mega lihat kita? Mas Bima, bisa-bisa mereka salah paham lagi!"
"Sstt!" Mentari malah nekat, meletakkan telunjuknya di bibir Cakra. Sontak saja ia terkejut dan menepis kasar tangan tak punya malu itu.
"Jangan macam-macam, kamu!"
"Mbak tari?"
Cakra, dan Mentari tersadar. Ada yang melihat aksi mereka barusan, keduanya menoleh ke asal suara.
Mega berdiri dengan mata berkaca, melihat tan percaya pada mereka berdua.
"Apa yang Mbak tari lakukan?" Lirih gadis itu. Mentari tak menjawab, ia mendengus kesal. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua di dekat meja makan.
"Mega?" Cakra menyapa, Mega menghampiri suaminya yang berdiri di depan kursinya. Piring di atas meja pun baru dimakan beberapa sendok saja.
"Apa yang Mbak tari lakukan?" Mega bertanya. Netranya menatap lekat pada wajah Cakra yang tetap tenang. Lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya.
"Kamu lihat sendiri, kan?" Hanya itu yang ia katakan. Selebihnya ia membawa piring penuh nasi ke dapur. Bukan untuk menambah porsi makanannya, melainkan dibuang. Karena selera makan yang mendadak hilang sama sekali.
Ia lantas mendekati tempat mencuci piring, yang penuh dengan piring kotor seperti biasanya. Prosesnya mengumpulkan perabotan kotor berserakan itu, serta mencuci piring. Semuanya tak lepas dari perhatian Mega, yang mendadak menatap suaminya dengan perasaan tak menentu.
Ia sendiri bingung dengan perasaan yang sering muncul akhir-akhir ini. Entah perasaan iba, atau cinta? Bahkan hingga detik ini ia tak yakin dengan cinta yang dimilikinya. Hingga detik ini belum percaya begitu saja dengan lelaki yang kini bergelar suami.
Mega bergerak mendekati Cakra, ikut mengambil salah satu piring yang mencucinya. Meski mendapat tatapan heran dari suaminya, ia acuh saja dan tetap melanjutkan aktivitasnya.
"Kamu bisa cuci piring?" Tanya Cakra sambil mengulas senyum cerah. Baru kali ia melihat Mega mau bersentuhan dengan alat dapur. Selama ia tinggal di rumah itu, memang selalu melihat istrinya hanya mengurung diri di dalam kamar saja.
"Bisa lah," Mega menjawab, dengan suara yang lebih lunak dari pada sebelumnya. Gestur tubuhnya pun kini berbeda, mungkin mulai melihat kebenaran dari kesalah pahaman beberapa hari ini. Namun, untuk meminta maaf, Mega bukanlah orang yang pintar.
"Sudah selesai," Cakra berseru.
"Mau kemana?" Tanyanya ketika Mega melangkahkan kakinya. Gadis itu berhenti dan meliriknya sekilas, "kekamar," Jawabnya sambil berlalu.
Cakra mengikutinya, hingga ke depan pintu kamar mereka berdua berhenti entah kenapa.
"Kesana saja, yuk. Lihat pemandangan sore hari," Tunjuk Cakra pada ujung ruangan di depan kamar mereka.
Tanpa menjawab, mega melangkah lebih dulu menuju balkon. Mereka duduk bersama, menghabiskan sore hari di sana.
***