Fri – 10/Jun (Siang)
"Haah... panas!"
Hari yang panas seperti biasa di awal bulan juni. Matahari yang bersinar terik dan awan-awan yang tiba-tiba lenyap dari langit. Sungguh hari terpanas yang pernah kualami selama 15 tahun aku hidupku.
Namaku Sarah. Sarah Amalia Pramaditha. Aku baru saja lulus SMP dan tiga hari lagi aku akan masuk ke sekolah SMA. Seharusnya aku senang karena akan masuk SMA, tapi untuk beberapa alasan aku merasa sedih. Aku tidak tahu kenapa mungkin karena aku harus beradaptasi kembali di kota ini.
[Selamat datang di Kota Adikarta, semoga hari anda menyenangkan.]
Sebuah suara membukakan mataku dan membuatku sadar bahwa aku telah sampai di kota tempat tinggalku yang baru. Kota Adikarta, sebuah kota buatan baru yang dibuat di daerah barat daya pulau Jawa, tepatnya antara Provinsi Banten dan Jawa Barat. Kota ini sangat berbeda dengan kota-kota lain, kalau bisa kubilang kota ini sangat modern, walaupun baru diresmikan sekitar 30 tahun yang lalu. Kota ini terkenal dengan gedung tinggi pencakar langitnya berdiri tegak di tengah-tengah kota dan puluhan tepat rekreasi yang terkenal di Indonesia.
Sebenarnya saat ini aku baru saja sampai di kota ini dan sekarang aku sendirian menunggu di depan Terminal bus menenteng barang-barang yang kusiapkan untuk tinggal disini.
Ya, seharusnya aku tidak sendiri seperti ini.
Seharusnya aku bersama orang tua-ku atau paling tidak bersama dengan keluargaku, tapi saat ini aku malah naik Kereta Api sendirian dari Jakarta ke sini.
Sudahlah, lagi pula aku tidak terlalu peduli.
ngomong-ngomong...
"Dari Stasiun ini aku harus kemana?" gumamku.
Sebenarnya, aku punya seorang saudara sepupu di kota ini dan rencananya aku akan dijemput olehnya, tapi sampai sekarang dia belum menghubungiku sama sekali.
"Kemana sebenarnya dia, kenapa belum datang juga?" gumamku kembali di depan gerbang parkiran stasiun.
Karena takut menghalangi orang yang lalu-lalang, akupun mulai berjalan ke arah halte Bus yang teduh agar tidak tersengat matahari langsung.
Sebenarnya ada pertanyaan yang terbesit sebelum aku memasuki kota ini, entah kenapa aku melihat ada sebuah piramida besar terbuat dari kaca mengeliling kota ini. Namun saat aku sudah masuk kawasan kota ini entah kenapa piramida itu tak terlihat lagi.
Sebenarnya apa itu?
Pada akhirnya aku hanya bisa menyimpulkan kalau piramida itu kemungkinan hanya hologram. Namun walaupun begitu aku masih tetap merasa kalau membuat hologram yang besar hingga menutupi seluruh kota itu adalah sesuatu yang gila dan tidak masuk akal.
Selain itu aku tidak pernah mendengar kalau kota Adikarta memiliki sebuah proyektor hologram untuk memperindah kotanya. Apa mungkin aku hanya berhalusinasi?
Setelah memikirkannya berulang kali, akupun tidak mengambil kesimpulan apapun dan hanya melupakan kejadian yang ku lihat sebelumnya.
~*~*~
Tidak terasa aku sudah menunggu selama dua puluh menit di halte ini dan tidak ada pesan apapun dari sepupuku. Kerongkonganku sudah terasa kering.
Sepertinya aku harus minum sesuatu. Dengan cepat aku memutar tas gendongku ke depan dan membuka resleting tas tersebut untuk mencari keberadaan botol minumku. Setelah aku menemukannya, ternyata aku baru ingat kalau aku menghabiskannya sejam yang lalu. Setelah itu aku memasukan kembali botolku kedalam tas.
Mau tidak mau aku harus membeli sesuatu untuk diminum.
Aku mencoba melihat ke sekeliling untuk melihat keadaan sekitar, siapa tahu ada sebuat minimarket atau toko yang menjual minuman dingin.
"Ketemu!" sentak ku, "Lebih baik aku menunggu di sana!"
Aku melihat sebuah coffeshop di seberang jalan. Dengan terburu-buru aku pun pergi ke arah zebracross yang tak jauh dari halte tempatku berada.
Lampu penyebrangan berwarna merah berarti aku harus menunggu sejenak dan aku-pun menunggu sambil memandang sekeliling. Saat melihat-lihat sekitar aku tidak sengaja melihat seorang wanita yang juga sedang menatap ke arahku dari seberang jalan tempat aku akan menyebrang. Dia terlihat seperti terkejut dengan kedua alisnya yang di angkat cukup tinggi.
Apa dia mengenalku?
Tentu saja tidak, aku saja baru pertama kalinya melihat wajahnya. Rambutnya panjang berwarna hitam sehitam langit malam yang sangat berbeda dengan rambut coklatku yang seperti lumpur. Dia memakai kaca mata hitam yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih.
Wanita itu mengenakan baju lengan panjang berwarna abu-abu dengan sebuah kemeja hitam di bagian luarnya dan sebuah celana jeans hitam yang sedikit robek di bagian lututnya. Untuk sejenak dia terlihat seperti seorang lelaki, tapi dengan kulit putih dan rambut yang panjang seperti itu dia pasti seorang perempuan.
Lampu-pun berganti menjadi berwarna hijau dan orang-orang mulai berjalan di-zebracross termasuk juga aku. Wanita itu juga berjalan sambil tetap melihatku dari seberang, aku membalasnya dengan melihat kearah lain hingga...
BUG!
"Akh...?!"
Ternyata aku tidak sadar kalau tas yang kugendong ternyata masih terbuka lebar dan di saat yang sama seorang pria tanpa sengaja menabrakku. Jadilah kini barang-barang yang ada didalam tas itu beserakan seperti buku-buku dan peralatan tulis menulisku. Namun bukannya meminta maaf, orang yang menabraku itu malah berlalu pergi dan tidak memperdulikanku yang sedang kesal kepadanya.
Tadinya aku ingin memarahinya, tapi aku tidak jadi karena aku harus cepat mengambil barangku sebelum lampu merah kembali menyala.
Tanpa aku duga seseorang membantuku mengambil barang-barangku.
"Ah, terima ka..." kata-kataku terhenti saat aku sadar orang yang menolongku adalah wanita yang menatapku di seberang jalan tadi.
"Apa kau baik-baik saja?" dia bertanya tanpa sedikitpun menatapku.
Wajah perempuan itu kini dapat kulihat dengan jelas, karena saat ini dia sudah melepas kacamatanya. Dia terlihat seperti satu atau dua tahun lebih tua dariku, aku juga tidak yakin tapi sepertinya dia masih dibawah dua puluh tahunan.
Tatap!
Dia tiba-tiba melirik ke arahku yang sedang memperhatikannya.
"A-ah, terima kasih." Kataku sambil mengalihkan mataku dari pandangan matanya yang berwarna merah.
Tunggu, merah?
Tidak, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Mana mungkin ada orang dengan mata berwarna merah, sangat aneh.
Kami tidak saling bicara lagi karena sibuk memunguti barang-barangku yang berhamburan di jalan. Setelah barang-barangku hampir terkumpul diapun berkata dengan datar...
"Apa kau seorang... penyihir?"
"..."
Kami saling memandang satu sama lain kembali. Terlihat dia seperti sedang menunggu jawabanku. Apa yang sebenarnya yang dia katakan? Aku tidak mengerti sama sekali.
Penyihir? Apa maksudnya itu?
"Hey, kalian! Apa yang sedang kalian lakukan di sana? Lampunya sudah hijau, cepat kepinggir!"
Seorang Ibu berteriak ke arah kami, dan ternyata benar lampu hijau sudah menyala dan aku-pun mulai berdiri karena barang-barangku sudah kembali kukumpulkan. Wanita itu juga ikut berdiri dengan wajah terkejutnya saat melihat kearah kiri.
Tidiiittt!
Pantas saja dia terlihat seperti itu karena saat ini sebuah truk besar sedang melaju tepat kearah kami berdua. Dengan kecepatan seperti itu kemungkin kami untuk lolos hanya beberapa persen saja.
Bagaimana ini?!
Pegang.
Tiba-tiba saja wanita itu menariku dan memelukku. Dia menjadikan punggungnya sebagai tameng. Dia menatapku dengan tajam dan aku dapat dengan jelas memandang matanya yang tajam itu. Jarak truk itu semakin dekat dan dia malah menghela nafas dalam kemudian berkata...
"Maafkan aku..."
Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi dia mendekatkan wajahnya hingga...
Kiss!
Eh?
Kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Rasanya sunggu aneh, maksudku aku saat ini sedang berciuman dengannya!!
Zreng!
"?!"
Tunggu, apa itu?
Aku melihat semuanya menjadi hitam putih dan memudar. Tak lama setelah itu semua menjadi gelap gulita.
Kroak!
Aku disadarkan dengan suara burung. Dengan cepat aku mendorong perempuan itu dengan keras.
"Aw!" Pekiknya saat dia mendarat di atas aspal.
"A-A-APA YANG KAU LAKUKAN!? KENAPA KAU MENCIUMKU TADI!?"
"Oh, kalau soal itu. Aku kan sudah minta maaf tadi." Katanya sambil memalingkan wajah.
"Se-sebenarnya siapa kau dan ke----"
"Eh?! Beneran berhasil, dong!" Kata kataku di potong olehnya. Sekarang kulihat raut wajahnya tampak sumringah.
Benar juga, Truknya! Aku sampai lupa kalau tadi ada truk yang...
Eh?!
Di mana ini?
Aku terkejut begitu melihat sekeliling. Ini bukan kota Adikarta, tapi sebuah kota lain. Sekilas memang perempatan tempat kita berdiri sekarang memang perempatan yang sebelumnya hanya pemandangannya saja yang berbeda. Pemandangan kota Adikarta kini telah berganti dengan pemandangan gedung-gedung tak terurus yang telah menjadi puing-puing. Bahkan aku juga dapat melihat puing gedung yang mengambang di atas langit.
"Hei, sebenarnya apa yang telah telah terjadi?"
"A-aku sepertinya jenius."
"Heh? Kenapa tiba-tiba?"
"Gerbang portabel buatanku berhasil!"
"Gerbang Apa?"
"Aku tidak menyangka kalau ternyata aku bisa menggambarnya di media yang kecil seperti ini." Dia sambil menatap selembar kertas yang ada di tangannya.
Aku tidak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi, tapi sepertinya dia sangat gembira. Bukannya aku tidak sopan menggangu kegembiraannya, tapi aku butuh penjelasan apa yang terjadi saat ini. Untuk itu aku mulai bertanya.
"Maafkan aku, tapi sebenarnya apa yang terjadi? Dan di mana kita?"
"Apa kau tidak tahu tempat ini?" tanyanya dengan muka datar.
"Tentu saja!"
"Seriusan? Baiklah akan kuberitahu, ini adalah... *sniff!" Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan dia seperti mengendus sesuatu.
"Ada yang datang..." lanjutnya, "ayo pergi dari sini!"
"He-he-hei, tunggu sebentar!"
Dia menarik tanganku dan mencoba untuk mengajakku berlari bersamanya, tapi dengan cepat aku menepisnya.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau memberitahuku tempat apa ini!"
"Kau kenapa sih!? Jangan membantah, kalau kubilang pergi ya pergi!" Dia marah. Kenapa juga dia harus marah, bukannya aku yang harusnya marah disini.
"Memang kenapa kalau aku tidak mau? Apa ada monster yang akan memakanku? Heh, jangan bercanda... Mana ada yang begitu, jangan meng—"
Blar!
"Eh?"
"Selamat, sepertinya doamu terkabul..."
Perempuan itu berkata seperti sedang mengejekku sambil melihat sesuatu yang ada dibelakangku. Perlahan akupun membalikan badanku dan kumelihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat. Kumelihat seekor ular sebesar rumah satu tingkat sedang melata kearahku. Matanya yang merah menyala menatapku tajam dan sebuah cula mengacung menantang didepan hidung ular itu.
"MAHLUK APA ITU?!!" Aku berteriak saking terkejutnya.
"GAK TAHU!!? YANG PENTING AYO PERGI DARI SINI!!!"
Dia langsung menarik tanganku dan kami berlari bersama melawari celah-celah gedung yang sepertinya tak berpenghuni itu. Ular bertanduk itu masih mengejar kami dengan kecepatan melata yang luar biasa.
"Tidak ada pilihan lain!" Tiba-tiba dia menggendong tubuhku yang mungkin tingginya sama dengannya dengan sangat mudah.
"A-apa yang kau lakukan?!"
"Diam saja kalau kau mau tetap hidup!"
Akupun menutup mulutku dan membiarkannya membawaku dengan digendong seperti tuan putri. Memang aneh juga sih harus digendong oleh sesama wanita seperti ini, tapi ini mungkin lebih baik dari pada digendong oleh laki-laki.
Perempuan itu membawaku berlari cukup cepat sampai aku tidak bisa membuka mataku. Sesekali dia juga membawaku melompat ke atas sebuah gedung dan melompati gedung-gedung yang tinggi itu seperti sedang melompati parit kecil.
Aku tidak tahu apa ini, tapi aku merasa seperti berada di dunia fantasi. Dikejar oleh monster besar dan melompat-lompat di udara seperti ini rasanya sangat mustahil. Ditambah dengan tempat ini, aku baru tahu ada tempat di mana banyak puing-puing yang melayang di udara seperti ini.
Satu-satunya pertanyaan yang terbesit di kepalaku adalah...
Sampai kapan dia akan menggendongku seperti ini?