Wed – 22/Jun (Limbo)
"Sekarang gue bakalan lo ngasih tour Limbo. Jadi Gue bakalan...
"KYAAAA!!"
"?!"
"?!"
Kami berdua terkejut karena tiba-tiba saja terdengar seorang wanita berteriak dari arah luar ruangan ini.
"Apa itu? Apa lo nyulik orang?"
"Nggak lah!" Jawabnya panik.
Ku lihat Malik dengan panik langsung membuka handphonenya dengan terburu-buru. Aku yang masih tidak mengerti dengan yang terjadi langsung bergerak ke arah sebuah pintu yang sepertinya mengarah ke luar ruangan. Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari ruangan itu meninggalkan Malik yang sepertinya tidak memperdulikanku.
Setelah keluar aku baru sadar kalau aku masih berada di dalam lorong gang yang sempit tadi. Tanpa memperdulikan apapun aku terus melangkah makin cepat di antara deretan gedung yang menaungi gang yang kulewati ini.
Aku mencari melihat ke sana ke mari untuk mencari asal suara, tapi tetap tidak bisa menemukan apapun.
"Tolong lepasin!!!"
Suara teriakan kembali terdengar dari arah kiriku, dengan cepat aku berlari dan berhasil keluar dari gang itu. Namun ada sesuatu yang aneh saat keluar dari gang itu...
"Di-dimana ini?" itulah kata pertama yang meluncur dari bibirku.
Bukannya aku tidak tahu jalan, tapi aku melihat sesuatu yang aneh. Kulihat kota Adikarta kini berubah menjadi tempat yang benar-benar berbeda. Gedung-gedungnya masih sama, hanya saja terlihat tak terurus. Selain itu aku juga dapat melihat banyak puing-puing yang berterbangan diatas langit sore yang—tunggu, sejak kapan langit menjadi kuning?
Seingatku langit masih terlihat biru sewaktu aku pulang tadi.
"A-apa yang terjadi? Kenapa pemandangannya berubah?"
"Bisa gak, gak pergi gitu aja kayak tadi!?"
Tiba-tiba saja Malik datang kesebelahku dengan berlari.
Aku menoleh kearahnya yang kini sedang menatap ke depan sambil menatap tajam kearah pemandangan aneh yang ada dihadapan kami.
Tunggu, sebentar!
"Malik, kapan lo ganti baju?"
"Hah? Ini?"
Dia sekarang mengenakan baju kemeja ketat hitam dan celana jeans hitam. Dia juga seperti memakai rompi anti peluru di badannya dan dua bilah pedang samurai pendek terikat di pinggulnya.
"Hey, Lo pake ini!" Malik tiba-tiba saja memberikanku sebuah jubah besar berwarna putih.
"Apa ini?"
"Pakai saja, kalau nggak mau muka lo ketahuan."
Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi aku tetap memakainya. Malik juga menaikan kerudung jubah itu hingga menutupi seluruh kepalaku.
"Hey, Malik, bukannya ini tempat yang kemarin?!" aku bertanya untuk mengalihkan topik.
"Yup, Selamat datang lagi di Limbo," ucapnya, "sisi lain kota Adikarta."
Aku mulai kembali menatap kearah Malik yang seperti-nya sudah biasa mengalami ini, karena mukanya lebih tenang dari pada aku.
"Ja-jadi ini tempat yang kemarin?"
"Keliatannya kayak gitu." dia menjawab sambil berjalan perlahan beberapa langkah didepanku dan lalu membungkuk seperti hendak mengambil sesuatu.
"Terus apa kita akan diserang ular raksasa lagi?" Aku bertanya dengan panik.
"Lu suka banget ya di serang sama Ular?"
"Bukan, maksud gue... Bukanya kita sekarang di tempat yang berbahaya?"
"Ya, itu benar, tapi tenang aja ada gue! Lo punya Malik Lo punya kuasa!"
"Berhenti bercanda, bego!"
"Tapi itu beneran, kalo bisa jangan terlalu jauh dari gue."
Aku mengerti betapa berbahayanya tempat ini(sepertinya), jadi lebih baik aku tidak terlalu jauh dari Malik. Kalau sesuatu yang buruk terjadi, mungkin aku bisa saja mengorbankannya untuk lari.
Malik sekarang mulai berdiri dan kulihat kini dia memegangi sepotong kain berwarna putih.
"Apa itu?"
"Ini kayaknya kain dari perempuan yang berteriak tadi."
"Eh? Yang bener? Gimana kamu tahu?"
"Gue bisa mencium baunya."
"Mencium bau? Eh~ ternyata lo punya fetish kayak gitu ternyata!"
"Berhenti senyum ngejek kayak gitu, dasar freak!"
Malik menjelaskan tentang kemapuannya untuk mencium bau-bauan meski dalam jarak yang jauh.
"Jadi kamu bisa mencium bau yang orang lain tidak bisa cium. Oke, gue bakalan mencoba mengerti untuk sekarang."
"Jangan Cuma coba, percayalah dikit!"
"Oke-oke..." menyerah. "Jadi siapa yang tadi teriak?"
"Gue juga gak tahu, tapi sepertinya ada orang lain yang dipaksa masuk ke sini selain kita berdua."
"Dipaksa?"
"Lo nggak denger tadi dia teriak?"
"Bener juga, dia sepertinya sedang ketakutan atau semacamnya."
"Ada kemungkinan kalau dia adalah penyihir yang sedang di serang oleh Djinn, tapi aku tidak bisa merasakan Djinn yang kuat di area ini."
"kamu sampe bisa merasakan kehadiran mahluk lain? Hebat."
"Lu beneran muji gue 'kan?"
Aku tidak mengerti jalan pikiran Malik, kenapa dia selalu merasa aku menghinanya setiap saat, ya walaupun memang aku agak sedikit kesal padanya, tapi aku seenggaknya aku tidak membencinya.
"Dia ada disana!" Malik berkata sambil menunjukan ekspresi serius di wajahnya.
"Dimana?"
Dia tidak menjawab dan hanya menyerahkan dua benda padaku. Sebuah benda yang terlihat seperti pedang abad pertengahan yang terlihat sangat tipis dan juga ringan dan juga topeng putih polos. Setelah itu Malik terlihat memakai topeng yang sama denganku dan bersiap untuk mengejar suara perempuan tadi.
"Pake topeng itu terus ikutin gue! Buat jaga-jaga pegang pedang rapier itu buat jaga-jaga kalau ada Djinn yang tiba-tiba nyerang lo!"
"O-oke..."
Tanpa menunggu lama dia langsung berlari di sepanjang jalan. Aku mengikutinya dari belakang mencoba untuk tidak tertinggal darinya. Setelah berlari cukup lama, kami akhirnya menemukan sesuatu yang membuatku tak bisa berkata apapun.
Saat ini aku melihat ada sekitar delapan anak kecil berkepala pelontos yang sedang mengangkut seorang perempuan berkemeja putih dan rok hitam. Baju perempuan itu robek dibeberapa sisi dan terlihat sangat lusuh. Sepertinya mereka memaksa gadis itu untuk ikut dengan mereka.
"Akhirnya ketemu juga, Bajingan!"
Tiba-tiba saja Malik berteriak dan membuat anak-anak itu berhenti bergerak dan menoleh kearah kami...
"Ah?! Apaan tuh?"
Walaupun tubuh mereka kecil, tapi aku dapat dengan jelas melihat wajah mereka yang penuh keriput!
"Mereka udah tua?!"
Itulah kata yang pertama kali kupikirkan.
Karena terkejut, aku-pun lalu berhenti membiarkan Malik berlari sendiri memburu mereka. Saat melihat Malik yang berlari kearah mereka, merekapun langsung memberi isyarat dan membagi dua kelompok. Empat orang meng-angkut si perempuan dan empat orang lagi bersiap untuk menghadapi malik.
"Jangan lari kalian!"
Malik melompat sekitar beberapa meter diikuti dengan salah satu mahluk itu yang juga ikut terbang kearah Malik. Saat di atas udara, Malik dengan cepat menendang mahluk itu hingga terlempar beberapa meter dan Malik kemudian mendarat dengan mulus.
Sungguh, aku tidak tahu kalau dia bisa melompat sejauh itu, ditambah tendangannya tadi sangat kuat sampai mahluk itu terlempar sangat jauh.
Apa dia manusia?
Sepertinya bukan... Kemarin saja dia bisa menghajar ular raksasa dengan gampang...
Melihat teman-nya terlempar cukup jauh empat mahluk yang sedang menggendong tadi langsung berlari secepat mungkin tanpa menoleh kebelakang.
"Sialan! Kembali ke sini!!!"
Sekeras apapun Malik berteriak mahluk-mahluk itu tidak mendengar dan terus berlari sampai berbelok di salah satu tikungan lalu menghilang tak terlihat lagi.
"Sial, mereka lari!"
Malik bergumam kesal.
"Hey, Malik!" aku memanggilnya.
"Apa!?"
"Aku mau tanya sesuatu."
Saat aku bertanya seperti itu, kulihat tiga mahluk yang masih berdiri tadi mulai membusungkan dadanya.
"Mau tanya apa? Cepat!"
"Aku cuman mau tanya, sebenarnya mahluk apa itu?"
"Sudah kukatakan, bukan? Mereka itu Djinn."
'Djinn' katanya?
Ditengah kebingunganku dengan kata-katanya, tiba-tiba kulihat mahluk-mahluk tadi mulai bersiap untuk melakukan sesuatu. Malikpun merasakan hal yang sama dan kemudian mengeluarkan dua buah pedang pendek yang sedari awal dia bawa.
Aku juga saat melihat Malik bersiap langsung berusaha mengangkat pedangku dengan canggung. Jujur ini pertama kalinya aku memegang pedang sungguhan seperti ini dan sepertinya aku akan langsung bertarung dengan mereka.
Disaat sedang fokus mengamati musuh kami, kami terkejut dengan apa yang mereka lakukan setelah membusungkan dada. Mereka dengan cepat membuka mulut mereka dan berteriak, tapi aku tidak mendengar suara apapun.
"Arkkkhhg!!!"
Saat sedang kebingungan seperti itu, kulihat Malik kini sedang berlutut sambil memegangi kupingnya seperti dia sedang menutup telinganya dari suara yang sangat bising.
Setelah kulihat mahluk itu selesai menutup mulut-nya aku pun dengan cepat berlari kearah Malik yang masih terlihat meringis kesakitan.
Aku mencoba untuk menyentuh bahunya dan dia hanya terus menutup telinganya seperti kesakitan.
Tanpa kusadari aku seperti mendengar sesuatu dari arah belakangku dan suara itu semakin jelas. Aku mendengar seperti derap langkah yang sangat banyak berasal dari arah belakangku—tidak, aku bisa mendengarnya dari sekeliling!
Ada apa ini?!
Aku melihat kesegala arah dan betapa terkejutnya aku saat kulihat ada banyak sekali mahluk berkepala pelontos sedang besembunyi dibalik puing-puing bangunan disekitarku.
Sial, jumlahnya cukup banyak sampai-sampai aku tidak bisa menghitungnya!
Kulihat mereka mulai keluar dari persembunyiannya dan kini kutahu kalau ukuran mahluk yang baru datang tadi hanya setengah tinggi dari mahluk yang sebelumnya.
Aku tidak bisa melakukan apapun dan hanya terus memandangi mereka dengan perasaan was-was. Malik pun dari tadi masih memegangi telinganya.
Apa yang harus kulakukan?
Di saat aku sedang berpikir cara apa yang harus kulakukan tiba-tiba saja gerombolan mahluk itu datang berlari menyerang kearahku.
Aku yang terkejut hanya bisa tertegun dan tanpa kuduga mereka dengan cepat meraih kakiku. Mungkin ada sekitar delapan sampai sepuluh mahluk yang sekarang sedang me-ngangkatku begitupun dengan Malik yang masih memegangi telinganya.
Aku memberontak dengan kuat dan mencoba menebas mereka, tapi mahluk-mahluk itu terus membopongku dengan kekuatan yang berasal entah dari mana.
Mereka membawaku dan Malik entah kemana dan saat itu akupun mulai merasa putus asa dan membiarkan mataku untuk tertutup bersiap menerima apa yang akan terjadi selanjutnya, sampai tiba-tiba...
[Apa kau menyerah?]
Apa itu?!
Aku mendengar suara seorang perempuan dari dalam kepalaku.
[Apa kau merasa lemah?]
Apa yang dia katakan aku tidak mengerti sama sekali?
Aku tidak lemah!
Aku bisa melewatinya!
Kembali kucoba untuk memberontak tapi akhirnya tetap sama mereka terlalu kuat untukku.
[lihatlah! Kau juga mengerti bertapa lemahnya dirimu.]
Mungkin dia benar, aku memang terlalu lemah sekarang.
[Ya, kau memang masih lemah, karena itu aku ada untukmu.]
Untukku? Sebenarnya kau siapa?
[Aku adalah dirimu, dan kau adalah aku. Kita dua jiwa dalam satu tubuh yang saling mejaga satu sama lain.]
Dua jiwa dalam satu tubuh? Siapa sebenarnya dia?
[Kalau kau ingin mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya...]
Kata-kata itu? Aku ingat!
Itu suara gagak yang ada dimimpiku waktu itu!
Apa yang kau inginkan!?
[Kebebasan. Aku ingin keluar dari sangkar ini dan terbang bersamamu menuju puncak dahan tertinggi, menjadi raja yang melihat semuanya dari atas. Panggilah namaku dan kau akan melihat dunia yang baru di hadapanmu.]
Aku tidak tahu apa yang dia katakan tapi saat ini aku merasa seperti ada sebuah nama yang terus berputar di dalam kepalaku.
Nama itu terus bergema dikepalaku dan aku tak mampu untuk menghentikannya dan tanpa sadar aku mengucapkan nama itu...
"Lu-cy..."
Akupun berhasil mengucapkan nama itu...
'Lucy', entah nama siapa itu tapi aku merasa dadaku seperti dihangati oleh sesuatu dan semakin lama rasa itu semakin nyaman.
Seperti merasakan perasaan nostalgia yang sangat ku-impikan selama ini.
Aku merasa seperti itu sampai tanpa kusadari...
Blar!!
Aku mendengar suara seperi suara petir yang menyambar tepat di depanku.
Kurasakan juga kalau mahluk-mahluk yang tadi memegangiku sekarang sudah melepaskanku dan menjauh dariku.
Ting!
Tepat setelah para mahluk itu melepaskanku, aku kembali mendapatkan sebuah notifikasi dari smartphone-ku.
"Di saat seperti ini, siapa yang—?!" Aku terkejut melihat layar smartphone-ku sendiri.
Saat ini sebuah aplikasi terbuak dengan sendirinya. Aplikasi itu memiliki latar dasar berwarna hitam dan ada sebuah panel pemberitahuan yang cukup besar disana.
[Anda telah membuat kontrak dengan Djinn ???, Lucy.]
Djinn tanda tanya? Lucy? Bukannya itu nama yang aku teriakan?
"Habishi Pheremphuan ituh!"
Aku terhenyak dengan suara melengking yang tiba-tiba saja terdengar ditelingaku dan saat kulihat siapa yang mengeluarkan suara itu, ternyata suara melengking itu berasal dari salah seorang mahluk berkepala botak itu yang terlihat sangat marah.
Berpuluh-puluh mahluk mulai kembali mendekat kearahku dengan cepat. Aku yang tidak tahu harus melakukan apa hanya bisa terdiam sambil menunggu, tapi disaat itu aku teringat sesuatu dan dengan cepat memanggil sebuah nama...
"Lucy!"
Begitu aku meneriakan nama itu, sebuah bayangan muncul di hadapanku.
Awalnya bayangan itu hanya berwujud asap putih, tapi lama-kelamaan mulai membentuk tubuh seorang anak berumur mungkin dua belas tahun dengan rambut hitam panjang dan gaun onepiece berwarna putih bersih.
"Namaku Lucy, raja dari segala raja, dan ratu dari segala ratu. Burung yang terbang lebih tinggi dari burung yang lain."
Hebat! Siapa anak itu?