Fri – 10/Jun (Malam)
"Nama gue... Malik tanpa nama panjang. Umur... Gua juga gak yakin berapa umur gue yang sebenarnya, tapi dari apa yang orang bilang, gue gak terlalu tua untuk anak SMA pada umumnya."
...?
"Tinggi badan, jangan tanya itu gue agak sensitive soal hal semacam itu."
Pola plafon yang asing.
Aku di mana?
"Orang tua gue... Gue bakal ceritain nanti."
Suara siapa itu?
"Kenapa gue malah memperkenalkan diri kayak ini? Ini gak masuk akal!"
Sepertinya aku mengenal suara ini...
"Ya, lo pasti bertanya-tanya kenapa gue mengenalkan diri kayak gini 'kan? Sebenarnya gak ada yang harus gue ceritakan juga, karena gue yakin lo juga gak bakal mau denger."
"..."
"Ceritanya di mulai saat gue masih kecil, saat,.. Ah?! Dia sadar!"
Dia sepertinya menyadari kalau aku saat ini sudah siuman dan saat kulihat sekeliling sepertinya aku berada di sebuah kamar rumah sakit. Aku bisa melihat tirai yang tak asing dan juga peralatan medis di sekitarku. Selain itu tanganku saat ini juga sedang di infus, sebenarnya apa yang terjadi denganku?
"Lo udah sadar?"
Kulihat ternyata itu adalah perempuan yang tadi kulihat dijalan. Dia masih mengenakan pakaian yang sama seperti waktu kami pertama kali bertemu.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya sambil mencoba duduk di atas kasur rumah sakit.
"Lo gak inget? Berkat Lo kita berdua bisa selamat dari ular itu!"
"Ular?" Aku jadi teringat kejadian tadi, saat aku dan dia diserang oleh ular raksasa.
"Lo tahu? Lo hebat banget! Lo bisa ngebuat mahluk itu bener-bener gak bisa berger—"
"—Tunggu..."
"Hmm?!"
"...Ke-kenapa kamu masih hidup?"
"Ng?!" Dia terlihat mengangkat alisnya"Kenapa nanya kayak gitu? Apa Lo pikir gue ini hantu?"
"Maaf, habisnya tadi kamu tadi ditelan ular itu 'kan? Kukira kamu sudah..."
"Heh, ular lemah seperti itu mana mungkin bisa ngalahin gue!"
"...Terus kenapa bisa dimakan? Kamu membuatku panik tadi!"
"A-ah, itu karena... Karena... Ah! Tentu saja karena aku berniat untuk menghancurkan tubuhnya dari dalam."
Dia berbohong, aku tahu itu.
"Sudahlah lupakan tentang itu, yang lebih penting adalah sihir lo tadi."
"Eh?"
"Sihir elemen apa yang lo pakai tadi? Itu terlihat seperti elemen tanah, tapi warnanya merah dan sangat kuat. Pokoknya itu bisa nembus kulit keras Rohogg! BTW, Rohogg itu nama monster yang barusan." Dia berkata dengan antusias.
"Maaf, boleh aku bertanya?"
"Apa?"
"Sihir Elemen itu apa?"
"..."
"..."
"NGGAK TAHU?!"
"Tentu saja!" Bagaimana bisa aku tahu hal semacam itu? "Lagipula sihir itu apa?"
"Sihir ya, sihir."
"Nggak bukan gitu, apa kamu gak makan sesuatu yang aneh sebelumnya?"
"Nggak, cuman susu kadaluarsa doang. Kayaknya..."
"Nggak mungkin cuman gara-gara susu doang 'kan?!"
Orang ini ngomongnya sudah sangat melantur. Bagaimana mungkin ada sesuatu seperti sihir di dunia ini?!
"Tapi gue serius. Lo juga pasti lihat 'kan sebelum lo pingsan? Pilar-pilar merah itu."
"Aku gak yakin... Lagi pula ini abad 21, mana ada yang namanya sihir!?"
Dia terdiam menatapku cukup lama. Sepertinya aku telah memicu sesuatu.
"Tapi lo melakukanya 'kan tadi? Sihir..."
Aku hanya bisa terdiam saat ini.
Dia memang benar, sepertinya yang kulakukan tadi siang kemungkinan adalah sihir.
Kristal-kristal yang keluar dari tanah sebelumnya kemungkinan akulah yang membuatnya. Walaupun tidak terlalu jelas, tapi sepertinya aku mengatakan sesuatu seperti sebuah mantra sebelumnya.
"Baiklah akan gue tanya sesuatu yang lain."
"..."
"Lo pasti baru 'kan di sini?"
"Ya, aku baru dateng hari ini. Emang kenapa?"
"Kalo gitu, apa yang lo lihat sebelum masuk ke dalam kota ini?"
Apa yang kulihat? Tentu saja aku melihat...
"Piramida kaca?"
"Benar," dia tersenyum, "itu adalam tempat yang tadi kita datangi. Sebuah benteng tak kasat mata yang disebut Limbo."
"Lim... bo...?"
"Ya, Limbo. Tempat yang menarik bukan?"
Menarik mukamu!? Bukannya kita hampir mati di sana tadi siang!?
Tapi tunggu, jadi itu bukan proyektor 3 dimensi? Terus piramida apa itu? Aku tidak pernah mendengar ada piramida yang menutupi seluruh kota Adikarta. Dari cara dia bicara, dia seperti mengisyaratkan kalau Adikarta dan Limbo adalah dua hal yang berbeda.
"Kapan-kapan ayo kita lawan mahluk yang lebih kuat dari ular itu!" Ajaknya sambil tersenyum penuh semangat.
Dia gila!
Yang lebih kuat dari pada ular tadi? Dia pasti sudah kehilangan akalnya...
"...Maaf, boleh aku bertanya?"
"Hm?" Perempuan itu menoleh kearahku dengan serius.
"Aku ingin bertanya kenapa kita bisa pindah ketempat itu?"
Dia terdiam sejenak dan dengan serius berkata, "Hmm, tentu saja itu karena aku yang hebat ini dan juga rune portable buatanku."
"Hah? Rune portabel?"
"Ya, biasanya penyihir lain selalu membuat rune berukuran paling tidak sebesar tubuh manusia untuk masuk kedalam Limbo, tapi aku berhasil membuatnya hanya seukuran telapak tanganku."
Dengan rasa bangga dia menunjukan sebuah lingkaran dengan tulisan aneh di telapak tangannya.
"Aku hebat bukan?"
...Dia sangat percaya diri untuk orang baru saja ditelan oleh seekor ular raksasa...
"Ngomong-ngomong, ini saatnya untukku pergi."
Diapun berdiri dan berjalan kearah jendela sambil menatap bulan yang bersinar malam itu. Cahaya bulan itu bersinar menyinari wajahnya yang halus dan menciptakan bayangan yang terlihat ekstetis dan membuat hatiku bergetar. Untuk sejenak perempuan itu terlihat seperti laki-laki, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja benar 'kan?
"Eh? Kenapa harus pergi lagi? Kau belum menjelaskan apapun!"
"Sebenarnya ada beberapa urusan yang harus kulakukan. Jadi, aku akan jelaskan nanti padamu."
"Hah?! Kenapa gak sekarang aja?"
"Kalau begitu, sampai nanti! Oh-iya, aku ingin mengaku sesuatu. Tadi sebenarnya waktu aku mengantarmu kesini, aku menggendongmu dipunggku dan karena itu aku mimisan. Aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu, tapi mungkin karena payudara kecilmu yang lembut itu menempel dipunggungku. Entahlah, pokoknya sampai nanti!" Tersenyum mengejek
Dia akhirnya pergi keluar dari rumah sakit dengan cara melompat dari jendela.
Dia benar-benar ajaib...
Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan padanya, tapi sepertinya sedang sibuk jadi aku biarkan saja dia pergi kali ini.
"...'Sampai jumpa nanti.', itu berarti dia berniat untuk bertemu lagi denganku." Itulah yang kugumamkan sa—Tunggu dulu!!
"Dia mimisan karena payu----tidak, dadaku menempel dipunggungnya?!" Aku berteriak.
"Kalau kupikir-pikir lagi wanitu itu benar-benar ajaib. Bukan hanya dari tampang nya saja, tapi namanyapun aneh. 'Malik' bukannya kalau tidak salah itu adalah nama yang biasanya diberikan untuk laki-laki?" Kenapa dia memakai nama seperti itu?
"Apa dia laki-laki?
"Ah tidak mungkin! Aku yakin 80% dia itu perempuan...
"Tapi bagaimana kalau dia itu benar-benar laki-laki?
"Kalau begitu ciuman tadi...
"AHHH SUDAHLAH!!"
Aku tidak peduli apa dia perempuan atau laki-laki, tapi yang pasti dia sudah mencuri ciuman pertamaku dan juga merasakan kelembutan payu—maksudku dadaku.
Mungkin kalau aku sudah keluar dari sini aku akan memukulnya karena berbuat mesum seperti itu padaku.
"SARAAH?! KAMU TIDAK..."
"...Dasar mesum!"
"Eh? Kamu bilang aku mesum?"
"Dasar wanita gila!"
"EH?!"
"...aku benar-benar membencinya..."
"Ja-jadi kamu membenciku, Sarah. Kalau begitu aku akan pergi..."
Tunggu, aku seperti mendengar seseorang berbicara saat aku sedang bergumam tadi.
Saat kulihat, ternyata benar disana ada sosok seorang wanita berambut panjang dengan badan yang sangat sintal dengan wajah yang manis sedang menatapku dengan ketakutan.
"K-kak, Melly?! Sejak kapan kakak...?"
Aku melihat sepupuku Kak Melly yang delapan tahun lebih tua dariku sedang merengut bersembunyi sambil mengintip dari pintu bangsal rumah sakit.
Ngapain dia? Apa dia tadi mendengar gumamanku tadi?
"Aku nggak ngomongin Kak Melly kok. Masuk aja?"
"Yang bener?"
"Ya..."
Diapun masuk kedalam ruangan dan lalu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangku. Dia bilang padaku kalau aku kelelahan karena cuaca panas dikota ini, makanya aku bisa pingsan tadi. Tapi tentu saja, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Sepertinya Malik yang berkata seperti itu pada dokter untuk tujuan tertentu.
"Oh, begitu rupanya..." aku hanya tersenyum paksa.
"Tapi kamu bener gak apa-apa?"
"Nggak usah khawatir, aku cuman kacapean. Lagi pula nanti hari senin kan hari pertama masuk sekolah."
"Benar juga, keponakanku yang manis ini bakal jadi anak SMA mulai minggu depan."
Aku hanya tersenyum dan Kak Melly mengelus kepalaku sambil mengikuti tersenyum.
Ting!
Tiba-tiba saja ada sebuah notifikasi dari smartphone-ku yang berada diatas meja rumah sakit. Aku mengambilnya dan mendapatkan sebuah notifikasi dengan logo aneh berwarna hitam dan merah.
[Selamat aplikasi Wizardapp v.6.66 telah diinstal]
Wizardapp? Aplikasi apa itu?
"Sudahlah, aku hapus saja nanti..."
"Ada apa, Sarah?"
"Ah, gak, cuman spam doang."
"Oh, begitu..."
"Ngomong-ngomong, Kak Melly..."
"Ada apa lagi, Sarah?"
"Mataku gak tahu kenapa terasa kabur."
"Hah? Apa maksud kamu?"
"Aku hampir gak bisa baca tulisan di hp-ku."
"Yang bener?"
Aku tidak berbohong, aku bisa membaca sebagian dari tulisan ini, namun sebagian lain aku benar-benar tidak bisa membacanya.
Ada apa dengan mataku?
Sat – 11/Jun (Siang)
Setelah di perbolehkan pulang oleh Dokter, aku dan Kak Melly langsung pergi ke toko optik untuk mengecek mataku. Ternyata dugaanku benar, mataku tiba-tiba memiliki min yang cukup parah. Padahal selama ini aku tidak memiliki masalah dengan mataku.
Seseorang yang memeriksaku juga bilang kalau aku perlu pergi ke klinik mata untuk mencari tahu penyebab kenapa mataku menjadi buram seperti ini. Tapi karena waktunya mepet dengan Mos, mungkin aku akan pergi nanti saja.
Setelah mengetahui masalah mataku, Kak Melly membelikanku sebuah kaca mata, karena pasti akan sulit kalau aku belajar di sekolah dengan mata seperti ini. Karena poniku terlalu panjang, aku terlihat aneh saat memakai kaca mata. Pada akhirnya Kak Melly juga mengajakku ke Salon untuk memotong sedikit rambutku yang sudah terlalu panjang. Poniku yang panjang kini terlihat rapih dan wajahku terlihat tidak terlalu buruk dengan kacamata ini sekarang.
Setelah itu kamipun pulang ke rumah bersama-sama dan Kak Melly memasak spageti untuku. Walau rasanya sedikit aneh, tapi aku tetap memakannya karena tidak enak pada Kak Melly.
Itulah hari terakhir sebelum aku masuk ke Sekolah baruku. Kira-kira bagaimana sekolahku nanti, aku harap aku memiliki teman yang baik. Kali ini aku pasti memiliki teman, soalnya tidak ada yang tahu tentang masa laluku di sini, jadi tenang saja, Sarah!