Chereads / Cinta Seumur Jagung dan Semanis Gula / Chapter 22 - 022 Jangan Keluyuran

Chapter 22 - 022 Jangan Keluyuran

Anggun menunjukkan kepanikkannya.

"Bagaimana ini?" dia berpikir keras, "Apa kepura-puraanku begitu kentara? Aku hanya tak ingin mereka menahanku terlalu lama. Aku juga takut Kak Sonny curiga kalau aku akan pergi bersama denganmu."

Badai menganggap ketakutan Anggun berlebihan. Dia mengatur napas. Dia sulit menutupi keletihannya setelah berjalan cepat.

"Untuk apa kamu perlu cemas. Memangnya salah jika kamu pergi bersama teman sekelasmu ke suatu tempat?"

"Kita akan pergi menemui Mbah Bija. Jadi bagaimana aku bisa dengan tenang mengatakan hal itu pada mereka saat ditanya?"

Badai tak betah berdebat lama-lama. Dia memperhatikan sekitarnya.

"Jadi, kita harus naik bus ini untuk sampai ke rumahmu?"

Anggun mengangguk.

Ketika mereka bertukar tubuh. Badai belum mendapatkan pengetahuan dasar apapun darinya tentang bagaimana Anggun biasanya akan pulang dan pergi sekolah. Jadi, dengan begini. Mereka bisa sekalian mengajarkan dan mempelajarinya bersama-sama.

Anggun mengajak Badai bicara serius sebelum mereka menaiki bus umum.

"Bagaimana biasanya caramu berangkat sekolah? Apa kamu juga menaiki bus umum?"

Badai menggeleng.

Mang Udin selalu mengantarku kemanapun aku pergi.

Anggun mengernyit.

"Siapa dia?"

"Supirku," Badai menjawab datar.

Anggun sibuk memperhatikan jalan raya.

"Ah, jadi selama ini kamu meminta supirmu untuk menurunkanmu di dekat sekolah agar tidak mencolok?"

Badai mengangguk. Dia mengagumi kepintaran Anggun menarik kesimpulan tanpa perlu dia ungkap secara terang-terangan.

Anggun memasang wajah paham.

"Baik. Jika begitu, apa barusan kamu sudah menyuruh supirmu untuk tidak usah menjemputmu atau mengantar kita? Bagaimana pun, jika hari ini kita gagal menemukan Mbah Bija dan masih harus terperangkap dalam tubuhmu atau tubuhku. Kamu harus memperlajari bagaimana kebiasaanku pulang dan pergi ke sekolah menggunakan angkutan umum."

Badai terdiam.

"Aku belum pernah menaikinya."

Anggun terbelalak.

"Berapa usiamu?"

"Mirip denganmu. 16, jalan 17?"

Anggun menyipitkan mata.

"Selama itu pun kamu terus dibuntuti oleh supirmu? Atau kamu yang mengekori supirmu?"

"Hei! Kenapa bicaramu begitu? Ayah ibuku yang memperkerjakan mereka. Jadi, kenapa aku harus menolak?"

Anggun meniup poni-nya.

Dia sadar percuma saja membahas masalah keluarga orang lain.

"Baik. Jika begitu. Mari aku ajari bagaimana menjadi Anggun. Tapi berjanjilah untuk menjadi cepat paham dan bisa mengikutinya."

Badai menyimak setiap informasi dan anjuran yang Anggun beritahukan. Tentang bagaimana dia harus mengisi dan mengecek saldo kartu flash-nya secara berkala. Menggunakannya di mesin pembayaran. Dan menyimpannya dalam saku agar tidak hilang.

***

"Aku sudah bilang, bukan? Paranormal itu sudah pergi. Dia tidak tinggal lagi di rumah ini. Aku pun ragu kita bisa menemukannya."

Badai mendesah panjang.

Dia menatap nanar gerbang tua rumah Bija. Rasa pusing mendera-nya. Dia tak kuasa menerima seluruh kenyataan pahit ini.

"Sebetulnya darimana asal paranormal itu? Kenapa dia mendadak pergi setelah membuat kita jadi begini?"

Anggun tak bisa menjawab pertanyaan Badai. Dia juga tidak tahu bagaimana Bija bisa pindah kemari. Dan darimana asalnya. Anggun hanya terlalu terpengaruh pada omongan orang-orang di sekitarnya. Mereka yang mengandalkan Bija, mendorong Anggun untuk percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja tanpa masalah.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Jika datang lebih awal, itu namanya peringatan.

Badai yang merasa kacau, menendang gerbang besi rumah Bija dengan perasaan campur aduk.

"Ah, sial!"

Badai benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia sungguh berpikir bahwa semua ini sudah berada di luar kendalinya.

Anggun menunduk dalam.

Dia merasa bersalah. Dia ingin sekali mengungkapkan seluruh perasaan bersalahnya ini dengan benar. Namun rasa gelisah menghampirinya. Dia takut melihat kemarahan Badai dan mengurungkan niatnya untuk menghibur. Saat dia sebetulnya juga butuh penghiburan.

"Aku minta maaf," Anggun sadar hanya kalimat itu yang patut dia sampaikan.

Badai mengendurkan emosinya. Di memang sangat marah karena harus terlibat. Namun pikirannya masih terbuka. Dia sadar bukan hanya dia seorang yang menderita.

Badai akhirnya pergi setelah menyampaikan beberapa patah kata.

"Aku tak akan menyalahkanmu lagi. Jadi, mari kita hadapi ini besok."

Anggun akhirnya pulang dalam berbagai macam perasaan. Dia merasa bersalah. Dia juga belum siap menghadapi hari esok. Namun, mereka berdua sudah membuat kesepakatan bersama.

***

Saat pulang ke rumah pun, Anggun ternyata masih belum diberikan ketenangan. Mendapatkan amarah dari ibunya dan ditegur keras.

"Anggun! Sudah berapa kali ibu sampaikan padamu?! Pulang ke rumah, jangan keluyuran! Kenapa sih kamu masih saja sulit mendengarkan kata-kata ibu? Apa kamu membolos lagi seperti kemarin?"

Mariam masih saja mencemaskan putrinya. Dia mengalami krisis kepercayaan terhadap Anggun. Rasa curiga jika Anggun akan membolos kembali masih menghantuinya.

Anggun yang sedang tertimpa masalah, bertambah terpuruk dan kesal.

"Ibu! Kenapa sih ibu bicara begitu ke Anggun? Hari ini Anggun sudah berangkat sekolah. Anggun sudah belajar dengan giat. Anggun bahkan masih mempertahankan prestasi Anggun. Sampai-sampai Bu Agnes, guru Bahasa Inggris Anggun, memuji kefasihan Anggun dalam melakukan presentasi!"

Mariam terdiam. Dia tahu kapan putrinya berbohong dan tidak. Sonny muncul dari belakang punggung Anggun dan membela adiknya.

"Anggun tidak bohong, Bu. Anggun hari ini memang pergi ke sekolah seperti biasa. Dia pulang tepat waktu sesuai jam pulang sekolah. Kami sempat berpapasan sebelum keluar gerbang. Tapi, karena Anggun mengacuhkan Sonny. Sonny gagal menariknya pulang bersama."

Anggun memicingkan mata. Dia senang kakaknya membantunya memperkuat bukti kejujurannya. Tapi, penjelasan macam apa yang Kak Sonny lontarkan? Apa dia bermaksud membuat perhitungan dengan Anggun karena sudah diacuhkan?

Mariam masih saja menatap sinis putri nakalnya yang jarang absen membuat masalah.

"Ibu! Kenapa ibu hanya marah pada Anggun? Ibu tidak lihat Kak Sonny juga baru saja pulang setelah keluyuran. Kenapa ibu juga mengomelinya?!"

Sambil menahan geram, Mariam menjewer telinga Anggun.

"Aduh! Sakit! Kenapa Anggun dijewer?" protes Anggun merasakan derita.

Mariam menampilkan wajah garangnya. Anggun mempertanyakan kebenaran kesaksian Badai tentang ibunya yang kemarin hanya sedikit mengomel?

Tidakkah ibunya juga menyiksa Anggun secara fisik seperti sekarang?

"Kamu itu, ya! Ibu itu sedang menginterogasi kamu! Kenapa kamu malah sengaja bawa-bawa nama kakakmu?! Kamu mau melangkahi tugas ibu untuk mengawasi kalian berdua? Mau menjadi ibu rumah tangga yang menghandle semuanya? Apa kamu sudah merasa lebih benar dari kakakmu?"

Anggun semakin cemberut. Dia merasa diskriminasi. Dia mulai merengut.

"Ini tidak adil! Kenapa ibu terus lebih membela Kak Sonny daripada Anggun? Kak Sonny selalu boleh pulang bahkan sampai malam jika dia sudah berkumpul bersama teman-temannya. Lalu, Anggun. Kenapa kebebasan Anggun terus dibatasi?"

Mariam melebarkan matanya. Dia menunjuk-nunjuk Anggun dengan telunjuknya.

"Nih anak!"

Anggun memilih kabur sebelum lebih dikasari.

"Anggun tidak mau tahu. Anggun ngambek. Jadi, jangan ganggu Anggun sampai besok!"

Sonny mendesah panjang. Dia juga terkejut melihat kekeraskepalaan Mariam yang menganggap tindakannya itu adalah benar. Sonny tak punya pilihan lain selain sedikit membela adiknya.

"Anggun tidak tahu kalau Sonny sudah minta izin lebih dulu ke ibu. Jadi jangan terlalu keras padanya, bu. Lagipula masih bukan jika wajar jika Anggun bermain sebentar dengan teman-temannya sebentar setelah pulang sekolah?"

Sonny kemudian melengos pergi.

"Sonny ke kamar dulu, ya, Bu. Sonny lelah. Sonny juga harus mandi dan mengerjakan tugas."

Mariam kebingungan harus bagaimana menghadapi putra putrinya.

***