"Apa kamu sudah siap?" tanya Anggun memastikan sekali lagi kesiapan Badai menghadapi semua teman-teman sekelas mereka. Dan berakting dengan baik.
Badai mengangguk perlahan. Tatapannya masih terus tertuju pada pintu kelas mereka yang ada di depan mata. Mereka sepakat untuk menggeser pintu itu, segera, setelah mereka telah siap.
Anggun masih menunggu kepastian dari Badai.
"Apa kamu ingat apa yang sudah pernah aku sampaikan? Jangan terlalu banyak bicara jika kamu sulit menjawabnya. Berpura-puralah terluka jika situasi rumit menghampirimu! Jangan angkat tangamu jika ingin menyerah!"
Badai menoleh pada Anggun. Dia bertanya-tanya dengan sangat kebingungan tentang bagaimana selama ini Anggun menjalani hidupnya.
Anggun menepuk punggung Badai agar lebih tegar. Pukulannya cukup kencang. Hingga Badai sontak berdiri lebih tegap.
"Busungkan dadamu. Kemudian masuk!"
Anggun membiarkan Badai masuk lebih dulu. Mengawasinya dari belakang dan duduk di kursi Badai yang ternyata sudah ada tepat di belakang bangku Anggun.
Anggun pun jadi bertanya-tanya dalam benaknya.
Sejak kapan Badai duduk di tempat duduknya sekarang? Bukankah sebelumnya Badai masih duduk di kursi belakang?
Anggun melihat kursi belakang Badai sudah di tempati oleh Wandi. Anggun bahkan dipersilahkan duduk di bangku barunya oleh Wandi yang tersenyum ceria padanya entah karena alasan apa.
Anggun ikut duduk di kursinya setelah Badai duduk dan terkejut melihat Maia sudah mengapit leher sahabatnya lalu bersikap akrab.
"Ada apa denganmu hari ini? Kamu bangun lebih pagi dari biasanya? Kamu tidak datang kesiangan? Padahal rekor tercepatmu masuk kelas adalah dua menit sebelum bel?"
Badai tidak menyukai sentuhan Maia. Meski keakraban Maia, dia tujukan pada Anggun. Dan bukan dirinya. Badai yang belum siap menerima perlakuan itu, terpaksa mengeluh.
"Hei!"
Anggun yang mengawasi dari belakang, memberikan tatapan sinis.
Dia ingin sekali memisahkan Maia dan Badai. Tapi apalah daya.
Dia tak bisa berbuat banyak. Dia juga tak bisa menggerakkan tangannya maju untuk menghalangi Badai mencuri-curi kesempatan agar bisa bersentuhan dengan seorang perempuan.
Anggun hanya bisa menatap kasihan Maia.
Sungguh malang bagi, Maia. Jika dia tahu Badailah yang sedang merasuki tubuh Anggun. Maia pasti akan sangat terkejut dan sulit mempercayainya.
Anggun diam-diam mencubit punggung badai agar dia menyingkir dari Maia. Meski tanpa Anggun minta, Badai sudah berniat melakukannya.
"Akh!" Badai yang kesakitan, berusaha melepaskan capitan lengan Maia.
"Maia! Kamu ini apa-apaan? Memang aku tidak pernah datang pagi seumur hidupku hingga sekarang?"
Maia menggeleng datar.
"Tidak pernah sama sekali!111 Sudah kubilang rekor terbaikmu adalah sebatas dua sampai lima menit sebelum bel masuk kelas berbunyi!"
Badai tertohok. Dia menengok ke belakang. Dia juga melotot tajam dalam bahasa isyaratnya.
Sebenarnya kamu manusia macam apa sih? Kamu adalah murid teladan. Tapi kamu selalu datang terlambat ke sekolah? Wah, benar-benar tidak berimbang.
Anggun mengacuhkan Badai. Dia pura-pura tidak mengerti apa yang Badai kode-kan.
"Tapi, ini berita baik! Ayo, cepat! Keluarkan buku PR matematika-mu sekarang dan pinjami aku!!"
Badai mengerutkan kening.
"Kamu ingin menyalinnya?" Badai tak percaya ternyata masih saja ada anak unggulan yang menyontek PR temannya.
Maia mengulas senyum.
"Semalam aku ketiduran setelah asyik nonton drakor. Karena itu aku sangat senang sekali melihatmu pagi ini. Ayo, cepat sini! Berikan PR-mu. Waktunya mepet!"
Badai menyerahkan buku PR Anggun ketika dia sudah melongok ke dalam tas Anggun. Lalu mengambil buku PR-nya. Badai panik ketika dia baru sadar sesuatu.
"Ya, ampun. Aku juga belum mengerjakan PR!"
Maia menatap Badai dan buku PR Anggun secara bergantian.
"Maksud kamu apa sih, Gun? PR kamu sudah selesai semua, koq. Jawabannya juga sudah lengkap. Kamu tak perlu memeriksanya lagi."
Badai menatap kosong sosok Maia yang sibuk membolak-balik buku PR Anggun. Anggun menarik kerah Badai dari belakang.
"Apa maksudmu? Kamu belum mengerjakan PR? Kamu sengaja ingin aku kena hukuman?
Anggun buru-buru mengambil buku PR Badai dan memeriksa isinya. Dugaan Anggun, ternyata tepat. Badai sama sekali belum mengerjakan PR-nya.
Anggun meringis kesal. Dia menatap sinis Badai. Dia juga menyempatkan diri mengambil tempat pensilnya dan menjawab soal.
Badai merasa bersalah. Dia berbisik pelan di dekat Anggun tanpa sepengetahuan Maia yang sudah terlanjur sibuk menyalin jawaban dari buku PR Anggun ke buku PR-nya.
"Apa kamu juga ingin menyalin buku PR-mu?"
Anggun melengos. Dia juga membidik tajam Badai.
"Apa kamu ini bodoh? Itu buku PR-ku! Untuk apa aku harus menconteknya? Aku bisa mengerjakan sendiri tugas ini. Jadi jangan ganggu aku karena butuh konsentrasi!"
Badai menyadari kesalahannya. Dia beringsut ke depan saat tempat sebangku Anggun, Robby menatap mereka dengan tatapan bingung.
Hingga Badai terpaksa harus meninggalkan pesan terakhirnya sebelum berbalik dan tidak membiarkan Anggun salah paham tentang dirinya.
"Maaf. Ini karena aku kelelahan setelah olahraga kemarin. Aku tanpa sadar tertidur setelah pulang sekolah dan bahkan sampai melewatkan makan malam."
Badai ingat bagaimana dia juga bahkan mengabaikan ketukan pintu Demitri yang memanggilnya untuk makan malam.
Anggun akhirnya mengerti kenapa perutnya lapar hebat setelah bangun pagi ini dalam tubuh Badai.
Anggun mendesah panjang setelah dia berpikir sepertinya ini tidak akan menjadi kesialan terakhirnya hari ini.
Keberuntungan pendek masih berpihak pada Anggun. Dia akhirnya bisa menyelesaikan PR matematikanya sebelum Bu Risma, Guru Matematika mereka datang.
"Anggun!"
"Ya!"
Panggilan mendadak Bu Risma tiba-tiba saja mengejutkan Anggun. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah mereka menjawab serempak.
Badai yang masih yakin dia adalah Anggun karena meminjam tubuh Anggun menjawab panggilan Bu Risma. Sedangkan Anggun yang masih menganggap dirinya adalah Anggun meski sedang meminjam tubuh Badai, sontak menjawab panggilan itu juga.
Semua murid dan Bu Risma sontak terkejut. Mereka mengarahkan pandangan mata mereka ke arah Anggun. Bu Risma bahkan meninggikan letak alisnya.
"Badai?"
"Apa kamu lupa siapa namamu? Atau, kamu ingin menggantikan Anggun menjawab soal dari ibu di papan tulis?"
Beberapa murid sontak tertawa. Anggun yang malu, memutuskan untuk menunduk dalam. Dia berpura-pura tidak melakukan kesalahan. Dan menganggap saja dirinya bodoh dan keliru.
Bu Risma melanjutkan kembali permintaannya.
"Anggun," panggil Bu Risma sekali lagi.
Badai berdiri tegak.
"Ya, bu."
"Ibu sudah menuliskan sebaris soal untukmu. Maju ke depan dan jawab soal itu."
Anggun menegakkan kepalanya.
***