Anggun menghempaskan tangan kasar Badai begitu saja setelah mereka tiba di kantin. Dia menunjukkan perasaan marahnya secara jelas. Anggun juga menuntut penjelasan logis dari sikap menyebalkan Badai
"Badai!! Kamu ini apa-apaan sih?!"
"Kenapa kamu biarin senior resek itu bersikap seenaknya?! Ini namanya kasus pembulian. Sekolah kita jelas sangat melarangnya. Lalu yang terpenting adalah, tidak akan ada tindak lanjut jika tidak ada yang melaporkannya ke kepsek!"
Badai sudah menduga bahwa Anggun pasti akan mempermasalahkan kemalangannya ini. Maka, kesalahan terletak padanya juga. Karena dia terlambat memperingatkannya. Badai sontak berdiri tegak menghadap Anggun. Setelah beranggapan bahwa dia perlu meluruskan sesuatu.
Lalu, Badai tak bisa berbohong bahwa dia benci menjadi orang pendek. Karena berkat hal itu, untuk sekedar melihat figur Anggun dalam tubuhnya. Badai harus setidaknya mendongak.
"Anggun! Aku yang sudah mengizinkan mereka melakukan itu. Jadi, kamu tak perlu ikut campur!"
Anggun terbelalak. Dia tersinggung mendengar ucapan Badai.
"Bagaimana ceritanya aku tidak boleh ikut campur? Aku ada di dalam tubuh kamu sekarang, Dai! Itu artinya, mereka juga sedang membuliku! Mereka menyuruhku ini dan itu! Mereka pikir, hanya karena mereka adalah senior. Mereka boleh seenaknya saja memperlakukan junior mereka dengan semena-mena?"
Badai mendesah panjang.
Dia kesulitan menghadapi api kemarahan Anggun yang terlanjur meledak-ledak. Hingga bahkan, jika tadi Badai tak menghalanginya. Anggun mungkin akan memukul salah satu senior mereka.
"Permintaan mereka simpel, Gun. Mereka hanya butuh jajanan. Jadi, biarian saja mereka!" Badai tak mau berurusan dengan sesuatu yang menyulitkan.
Anggun menghalangi langkah pergi Badai.
"Tidak akan!"
"Sekali pembulian. Tetap pembulian!"
"Aku tak bisa membiarkannya begitu saja meski aku bukan anggota OSIS, ASGUR (asisten guru), atau pahlawan pembela kebenaran!"
Badai mulai pusing mendengar ucapan Anggun.
"Dai... kamu harus ingat ini baik-baik! Pembulian itu terjadi bukan hanya karena kesalahan dari sang pembuli. Tapi juga orang yang dibuli. Jika mereka hanya diam dan tidak melapor. Jumlah korban akan bertambah!"
Badai justru menjulurkan tangannya ke depan.
"Jika kamu tak sudih membelinya. Berikan uangnya padaku! Aku tak akan menyusahkanmu. Jadi, berikan uangku!"
Anggun melindungi kantong uangnya.
"Hei! Ini bisa disebut pemalakkan juga! Kenapa aku harus memberimu uang? Bukankah kamu yang ngotot ingin memberi mereka jajanan?"
Badai mengeluarkan wajah masam.
"Berikan!" ucapnya ngotot. Badai mungkin berpikir Anggun sudah gila, "Kamu lupa, kalau itu adalah uangku?!"
Anggun masih saja keras kepala.
"Uang ini ada di tanganku. Jadi uang ini adalah milikku!"
Badai tak mengerti darimana asumsi menjengkelkan itu berasal. Rasa jengkelnya bahkan sama ketika dia dipalak. Badai akhirnya terpaksa merongoh saku kemejanya dan mengambil beberapa lembar uang yang sudah dia sisihkan secara susah payah.
Anggun melotot.
"Da-darimana kamu mendapatkan uang itu?" tanya Anggun, terkejut.
Badai menolak menjawab jujur.
Karena kemarin, ketika mereka pulang bersama. Badai yang sudah pesimis, menyelipkan beberapa lembar uang ke saku tas Anggun tanpa sepengetahuan sang pemilik tas. Setelah dia berpikir mungkin akan membutuhkannya disaat-saat tertentu, ketika mereka terlanjur bertukar tubuh.
Insting cerdasnya ternyata tepat.
Uang itu bisa Badai gunakan untuk membeli banyak jajanan.
"Ini uangku. Aku tak pernah menyentuh milik orang lain, sepertimu!!"
Anggun mencibir. Dia mengerang menahan marah. Dia juga sudah melihat Badai pergi ke bibi kantin untuk menyerahkan kertas pesanan senior mereka padanya.
Anggun terpaksa harus menarik tangan Badai sekali lagi untuk meminta sikap kooperatifnya.
"Dai, jangan turuti keinginan manja mereka! Kenapa sih kamu tidak mau mendengarkan kata-kataku!"
Badai masih saja bersikap acuh. Dia dengan santai memeriksa belanjaannya. Bibi kantin dibuat kebingungan menghadapi peringatan Anggun. Tapi sibuk menghitung uang total jajanan Badai.
"Dai!!" teriak Anggun hampir hilang kesabaran, "Mereka sudah keterlaluan, Dai! Kamu bisa melaporkan mereka kepada kepsek. Lalu, bukankah kamu akrab dengan Pak Kepsek, sesuai kata-kata teman-temanku? Kamu masuk ke sekolah ini berkat Pak kepsek! Bukan, begitu?"
Badai memberikan beberapa lembar uang pada Bibi kantin. Dia tak mengharapkan kembalian. Dia langsung saja mengambil jajanannya dan kemudian berjalan pergi sambil menarik tangan Anggun untuk ikut bersama dengannya sebagai teman seperjuangan.
"Aku dan kepsek tak punya hubungan apapun, Non! Beliau memang kenal dengan ibuku. Tapi aku masuk berdasarkan keinginan ayahku."
Anggun memutar matanya.
"Ah, itu tidak terlalu penting sekarang! Tapi yang jelas, kamu bisa mengadukan sikap nakal mereka pada pihak sekolah!!"
Badai tetap bersikukuh mengacuhkan harapan resek Anggun.
"Aku menolaknya!"
Anggun tak bisa menahan kesabarannya lagi.
"Apa sih yang kamu pertahankan? Kebodohanmu yang sudah mendarah daging? Atau, jangan-jangan. Karena masalah pembulian ini! Kamu pindah sekolah? Saat tahun ajaran baru sudah lewat jauh. Kamu masuk di bulan keenam. Kamu seharusnya masih menikmati kenyamanan di SMA lamamu! Tapi, nyatanya tidak begitu!"
Tatapan mata Badai berubah masam.
"Aku tak punya kewajiban menjawab pertanyaan pribadimu ini. Tapi jika kamu penasaran. Aku bisa menjawabnya jujur. Aku memang keluar karena kasus yang mirip!"
Anggun terdiam. Dia hanya asal bicara. Dia tak mengharapkan jawaban serius dari Badai terkait tuduhan asalnya.
"Karena itu, saat kamu punya saksi dan bukti. Kamu sebaiknya melaporkan mereka pada guru!"
Anggun, tersentak. Dia tiba-tiba saja memikirkan hal lain.
"Tunggu. Kamu keluar dari sekolah lamamu... karena kasus yang serupa?"
Anggun tak bisa menutupi rasa penasarannya.
Kali ini, Badai memalingkan wajahnya sejauh mungkin dan tak menjawab pertanyaan Anggun.
"Dai..."
Keributan terjadi ketika Anggun terus mengejar Badai. Dua orang siswi melewati mereka dan berbicara kencang.
"Hei, kamu lihat barusan? Kabarnya Kak Rangga berencana akan memberikan kejutan untuk Kak Mila. Mereka berdua sudah berkumpul di tengah lapangan."
Anggun dan Badai saling melirik. Mereka mengikuti kerumunan. Mereka juga ikut menyaksikan apa yang murid SMA Pelita lihat di tengah lapangan basket.
"Hei, kalian lihat itu?"
"Kak Rangga sweet banget, ya! Dia katanya sudah siapin kejutan ini sejak beberapa hari lalu."
Anggun tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Rangga. Dia melihat Rangga bersujud di depan Mila. Memberikan sekuntum bunga terakhir pada Mila. Dibarengi dengan boneka teddy bear seukuran tubuh manusia. Suara siulan dan gemuruh teriakan bergema di sekitar mereka.
Kejutan ini pun mengguncang Anggun.
"Norak!" ungkapan penghinaan Badai menyinggung sifat fanatik Anggun.
Dia melirik sinis ke arahnya. Dia juga mengutarakan ketidaksetujuannya secara jelas.
***