Anggun keluar dari toilet wanita setelah selesai mencuci tangan. Saat keluar dia tak sengaja hampir bertabrakan dengan seorang siswi. Entah apakah ini karena daya refleknya yang sangat baik atau bagaimana. Anggun, dengan gesit, menghindari tubrukan tanpa masalah yang berarti.
Dia memutar sedikit tubuhnya ke belakang. Membelokkan pundaknya ke samping. Kemudian menarik lengan siswi berambut panjang itu agar tidak jatuh. Kekhawatiran memenuhi ucapan Anggun.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Anggun dengan harap-harap cemas. Dia tak mau sampai ada yang cedera.
Siswi yang hampir menabraknya, tercengang. Dia belum memberikan reaksi lain, selain berkedip. Siswi itu tak mengira akan bertemu dengan seorang murid laki-laki yang keluar dari toilet wanita.
Toilet itu memang sedang sepi. Tapi, melihat seorang siswa masuk ke dalam dan menyalahi aturan dan kodratnya sebagai laki-laki untuk seharusnya masuk ke toilet sebelah. Siswi yang sedang bermood jelek itu, sepertinya belum punya kekuatan penuh untuk protes.
Dia hanya melamun sepanjang Anggun menolongnya. Menghindarkannya dari celaka atau mungkin luka lebam jika mereka bertubrukan kencang dan jatuh terduduk mencium lantai.
"Astaga! Aku hampir saja celaka. Dan terima kasih atas bantuannya. "
Saat itulah, siswi berparas manis dan rambut panjang hitam itu melihat ke arah lawan bicaranya. Dia terkesima melihat mata indah Anggun (alias: Badai) di balik kaca mata berbingkai tebalnya.
"Apa kamu terluka?"
Narina buru-buru menyadarkan lamunannya.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Dan itu semua, berkatmu."
Anggun menunjukkan sikap kikuknya. Dia jarang berinteraksi dengan orang lain dalam wujud Badai. Setelah dia sadar Badai tak punya teman.
"Jika kamu ingin ke toilet. Silahkan. Tapi, jangan salah paham. Aku masuk ke toilet perempuan karena terburu-buru. Sebelumnya pun aku sudah minta izin pada siswi terakhir yang keluar dari toilet ini."
Narina sejak awal memang tak ingin mempermasalahkan hal itu. Anggun menyingkirkan tubuhnya untuk memberi jalan.
"Silahkan masuk. Lalu, aku tak akan masuk seperti tadi!"
Anggun mengangkat kedua tangannya ke atas. Dia tak mau sampai Narina berpikir buruk tentangnya. Dia juga takut jika Narina menyebarkan berita buruk tentang Badai, akibat ulahnya.
Narina menunduk. Dia melewati Anggun dan tak bicara.
Anggun menghentikan langkah Narina sejenak setelah menemukan sebuah benda berukuran kecil, jatuh di lantai depan toilet.
"Em, hei! Pouch-mu jatuh dan tertinggal di sana!!"
Anggun membantu Narina mengambil pouch-nya dan mengembalikannya.
Narina tersipu malu. Dia hampir saja kehilangan benda berharganya.
Anggun mengernyit setelah dia memperhatikan lebih teliti wajah Narina.
"Apa kamu... baru saja menangis?" tanya Anggun sesopan mungkin. Detik berikutnya setelah dia selesai bertanya, dia mengatupkan bibir embernya rapat.
"Maaf. Aku bukan bermaksud untuk menyinggungmu. Hanya saja, riasanmu sedikit luntur. Jika kamu sudah selesai. Perhatikan lagi make-up-mu. Kamu mungkin akan semakin tidak nyaman jika teman-temanmu melihatnya."
Narina menunduk karena malu.
Dia memang baru saja habis menangis. Dia pergi ke toilet pun karena ingin menyendiri.
Anggun menjauhkan diri sebaik yang harus dia lakukan.
"Menangislah selagi kamu masih bisa menangis. Tak ada yang salah dengan hal itu."
Anggun mengucapkan pamit. Dia melangkah pergi. Dan tidak menoleh sedikit pun. Sehingga dia tak bisa melihat bagaimana tatapan Narina terhadapnya.
***
Anggun tiba-tiba saja bergerak ke samping. Dia bersembunyi di balik tembok. Dia baru saja akan berjalan keluar menuju gerbang sekolah. Pemandangan aneh sudah menantinya dari jauh ,tepat di depan pintu gerbang. Dan berhasil menarik perhatian banyak pasang mata.
Anggun menepuk lalu mengusap keningnya searah dengan jarum jam untuk mengurangi kegelisahannya.
'Apa sih yang mereka lakukan di sana? Kenapa mereka berkumpul di sana? Padahal Badai sudah terang-terangan mengatakan bahwa dia telah melarang supir dan anak buahnya untuk menjauhi lokasi sekolah.'
Anggun mengintip sekali lagi sosok Demitri yang berdiri di depan mobil antar-jemput Badai. Dia yakin mereka sengaja menunggunya di depan agar tidak kehilangan dia.
Anggun ingat kembali bagaimana dia tak bisa mencari bantuan dari Badai untuk saat ini.
Badai yang sedang berada di tubuh Anggun, ditahan oleh Bu Merta, guru Sains mereka, terkait olimpiade.
Anggun terpaksa menghubungi Kepala Pengurus Rumah Badai setelah mengatur napas.
"Demitri! Apa yang kamu lakukan di depan gerbang sekolahku?"
Demitri menyapa majikannya dengan sopan.
"Saya datang kemari atas perintah Tuan Besar, Tuan. Beliau meminta saya menjemput Anda. Lalu membawa Anda bertemu dengannya."
Anggun beruntung, saat ini dia sedang memegang ponsel Badai. Jadi dia bisa tahu lebih dulu maksud dan tujuan Demitri mendatangi sekolahnya. Padahal dia hanya bertugas mengurus rumah. Dan bukannya menjemput!
Anggun mencoba menjernihkan pikirannya untuk menghadapi masalah sederhana ini.
"Baik. Aku paham. Tapi, kenapa ayah mau bertemu denganku?"
Anggun lupa bertanya pada Badai bagaimana cara dia memanggil ayahnya. Suara Demitri masih setenang saat pertama kali mereka bicara di telepon.
"Untuk masalah itu, saya tidak tahu, Tuan. Anda akan tahu ketika bertemu dengan Tuan Besar nanti."
Anggun mendesah.
Dia belum mempersiapkan hati untuk bertemu dengan ayah Badai. Apalagi, ayah Badai yang Anggun tahu. Dia hanya akan kembali mungkin sekitar beberapa bulan ke depan. Tapi, nyatanya dia sudah kembali ke kota ini sebelum mereka bisa mengatasi masalah pertukaran tubuh mereka dengan baik.
'Aduh! Jika dia mau mencari putranya dan sepertinya itu adalah masalah genting. Kenapa dia tidak mencarinya besok, saat mereka berdua sudah kembali ke tubuh masing-masing?'
Anggun tak punya jalan lain, selain mengikuti permintaan ayah Badai.
"Aku akan ikut denganmu. Tapi tidak sekarang. Badai akan marah besar jika aku membiarkanmu menjemputku secara terbuka."
Anggun menenangkan diri sambil menghindari tatapan bingung dari beberapa siswa-siswi yang melewatinya.
Demitri terlihat melewatkan kesalahan Anggun dalam mengucapkan nama Badai sebagai orang lain.
"Kamu sebaiknya masuk ke dalam mobil. Lurus saja dan berbelok ke kanan pada belokan pertama. Aku akan menghampiri kalian di sana."
Demitri mengangguk paham. Dia hafal betul bagaimana Tuan Muda-nya tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Baik, Tuan. Saya akan menunggu di sana. Dan hati-hati."
Anggun mengamati kepergiaan Demitri dengan tatapan kosong. Dia lega karena pengusiran ini berlangsung mudah. Perlahan demi perlahan, tatapan tertarik dari beberapa siswa yang jarang melihat mobil mewah melintasi gerbang sekolah, menghilang.
Berganti dengan aktifitas pulang sekolah seperti biasa.
Hah... Anggun sepertinya tahu apa alasan kuat Badai menyembunyikan kekayaannya.
Anggun kemudian melangkah pergi menuju ke gerbang sekolah dan bersikap awal sebelum masuk dalam mobil hitam mengkilap yang sudah menunggunya di ujung jalan sepi.
***