Chereads / Cinta Seumur Jagung dan Semanis Gula / Chapter 25 - 025 Pengabdian

Chapter 25 - 025 Pengabdian

"Hah? Bu Risma minta Badai untuk menjawab pertanyaan darinya?Yang benar saja! Bagaimana jika Badai tidak bisa menjawabnya? Bisa runyam ini!

Anggun berkeringat. Dia mengingat-ingat kembali secara perlahan bagaimana peringkat Badai di kelas. Namun, ternyata Anggun tak punya ingatan apapun soal itu. Karena Badai termasuk murid baru di sekolahnya.

Anggun juga tidak pernah memperhatikan bagaimana pintar atau bodohnya dia dalam pelajaran. Lalu, jika Anggun mengingat lagi apa yang Luna ceritakan padanya.

Anggun semakin cemas jika Badai akan menghancurkan image-nya di depan Bu Risma.

'Badai itu bisa masuk ke kelas kita karena orangtuanya dekat dengan Pak Kepsek. Dia bisa masuk ke sekolah ini juga karena bujukan Pak Kepsek yang berteman baik dengan ayahnya.'

Tingkat akademik Badai belum bisa dikonfirmasikan. Anggun berharap-harap cemas bahwa Badai tak akan menciptakan masalah.

Anggun mengawasi ketat sosok dirinya yang maju dengan sikap tenang. Mengambil spidol whiteboard yang tergeletak di tempatnya. Lalu mulai mengangkat tangan untuk menulis.

Hanya Anggun seorang yang penasaran terhadap Badai. Tentang bagaimana dia akan menjawab pertanyaan itu. Sedangkan murid lain, mereka sudah tak penasaran lagi dengan apa yang akan Badai tulis di atas whiteboard. Karena di mata mereka dan bagi mereka, sosok Anggun yang ada di depan kelas tidak perlu diragukan lagi pasti akan menjawab benar soal khusus dari Bu Risma. Guru mereka yang terkenal mudah memberikan soal yang rumit dan menjebak.

Anggun tak percaya saat mengawasi apa yang dia lihat. Badai bersikap tenang, ternyata bukan tanpa alasan.

Bu Risma memperlihatkan senyum tipisnya.

Suara Bu Risma menyadarian Anggun dari lamunannya.

"Kamu tidak pernah berubah, Anggun. Kamu selalu bisa menjawab dengan benar pertanyaan dari ibu."

Badai mengulum senyum tipis. Dia kembali duduknya. Dia juga sudah sengaja melihat mata tercengang Anggun. Badai diam-diam menertawakan wajah bodoh Anggun.

Sedetik kemudian dia menggeleng cepat. Membenarkan posisi duduknya. Dan merutuki diri sendiri.

Dasar bodoh! Itukan wajahmu! Kenapa kamu menertawakan wajahmu sendiri yang terlihat bodoh karena kamu sukses menjawab semua soal matematika itu tanpa halangan?

Badai mengirimkan secarik kertas kecil pada Anggun setelah menulis sesuatu disana.

[ "Hei! Apa aku pernah bilang bahwa aku bodoh dalam pelajaran matematik? Kamu harus ingat, di kelas ini bukan hanya kamu yang paling cerdas." ]

Anggun membalas tulisan dengan acuh.

[ "Baguslah jika begitu. Hampir saja aku menggantung lehermu karena menjawab soal selama seabad!" ]

Badai mendongak ke belakang ketika dia selesai membaca tulisan Anggun.

Ingin membalas sindiran Anggun secara langsung. Namun Anggun lebih dulu menunjuk ke depan sambil melotot.

'Fokus ke depan! Kenapa kamu malah menoleh?'

Kalimat itu seolah tertulis jelas di mata Anggun yang melebar.

Badai kembali menghadap depan setelah mengulum bibirnya.

***

Anggun melihat Rangga jalan berdua bersama Mila. Hatinya terluka. Anggun hanya bisa menatap mereka dari kejauhan.

"Hah... Aku sungguh sial. Maksud hati ingin mendapatkan hati Kak Rangga. Aku justru malah terkurung dalam tubuh ini!"

Jika seseorang melihatnya sekarang. Anggun pasti dipikir sinting. Bicara seorang diri tentang hal yang tidak jelas apa maksudnya. Kemudian menunjukkan ketertarikannya pada sesama jenis.

Jika sudah melihat Rangga begini, apa yang bisa Anggun lakukan saat dia terjebak dalam tubuh Badai?

"Tidak punya teman. Penyendiri. Dan anti sosial."

"Oh, ya ampun!"

"Betapa menderitanya Badai selama ini, menjalani kehidupan yang begitu sepi dan membosankan ini."

Di rumah besarnya tidak ada saudara yang bisa diajak bertengkar seperti kakaknya, Sonny. Orang tua Badai bahkan jarang pulang ke rumah demi bisnis mereka. Hingga terakhir, di sekolah pun, Badai tidak pandai bergaul dengan teman sebayanya.

Mulut Anggun rasanya kering. Padahal dia belum bicara dengan siapapun hari ini. Mulutnya terus mengatup rapat. Hingga Anggun merasa bibirnya sudah lengket dan menyatu.

Seseorang melempar sesuatu pada Badai.

"Apa ini?"

Anggun mengambil remasan kertas yang dilempar ke arahnya. Dia terkejut. Dia juga kemudian menoleh untuk mencari sumbernya.

"Kakak senior. Ada apa?" tanya Anggun cemas setelah diserang firasat buruk.

"Itu adalah daftar makanan yang harus kamu beli. Tak boleh sampai ada yang kurang dan harus cepat!"

Anggun melengos samar meratapi kejanggalan ini.

"Apa? Saya harus membelinya untuk kakak?" Anggun tang masih santai, mengulurkan tangannya.

"Oke! Kalau begitu, berikan aku uang. Maka aku akan berbaik hati pergi membelikannya!"

Seorang senior laki-laki yang tubuhnya hanya terpaut sedikit lebih tinggi dari Badai, mengernyit. Dia dan temannya saling berpatroli untuk mengecek keadaan di sekitar mereka.

"Beli itu untukku. Dan segera temui aku di tempat biasa."

Anggun terpaksa merogoh kantung bajunya. Dia sudah diberikan uang jajan oleh kedua orang tua Badai. Lalu, demi untuk mempermudah Badai memperoleh uang jajannya setiap bulan. Kedua orang tua Badai sengaja membuka rekening atas nama mereka untuk bisa Badai gunakan secara bebas.

Dan setiap minggunya, bila Badai membutuhkan uang cash. Demitri akan memberikan uang itu Badai setelah dia menariknya dari ATM.

Anggun tentu tak boleh sembarangan menggunakan uang yang bukan miliknya.

"Aku memang punya uang, kak. Tapi ini bukan uangku. Jadi bagaimana saya bisa talangin kakak senior untuk sementara?"

Tatapan membidik senior itu semakin tajam.

"Apa kamu sudah lupa bagaimana kebiasaan dan keharusanmu mengabdi pada kamu? Merelakan uang jajanmu untuk kami. Uang receh ini bahkan tak ada artinya untukmu bukan?"

Entah apakah senior itu tahu Badai adalah anak orang kaya atau bukan. Senior itu seenaknya saja menyuruhnya beramal.

Mengabdi endasmu!

Negara saja tidak berusaha aku abdikan. Lah, situ siapa?!

Anggun sedikit melucu.

"Maksud kakak bersedekah?"

Mata senior itu membesar mendengar balasan Anggun yang dia pikir adalah Badai.

"Kakak 'kan bukan anak yatim piatu atau miskin yang butuh songkongan. Kakak masih bisa pakai kaos bermerek di balik seragam SMA kakak. Bahkan kelebihan bobot tubuh karena terlalu banyak memalak. Jadi, kenapa kakak tidak pakai uang jajan kakak saja? Memang orang tua kakak tidak pernah memberikannya?"

Senior galak itu melotot. Dia mengepal kencang. Dan bersiap melayangkan tinjunya pada juniornya yang tidak pandai membaca situasi. Padahal biasanya dia begitu penurut dan tidak banyak omong. Langsung pergi ke kantin untuk membeli apa yang mereka minta.

Kegesitannya dalam memenuhi semua yang senior itu minta pun sudah berhasil mendapatkan acungan jempol.

Badai datang untuk mencegah pertikaian. Dia dan Anggun masih bertukar tubuh. Badai yang sadar saat ini dia adalah perempuan, menarik Anggun agar berdiri di sisinya.

"Kami akan pergi membelinya. Jadi tunggulah di tempat biasa."

Ucapan itu mengejutkan sang senior. Mereka terdiam di tempat menyaksikan kepergian Anggun dan Badai secara bersamaan.

***