Anggun membuka mata dengan tatapan serius. Satu hari sudah berganti. Pertukaran tubuh mereka kembali terjadi seperti yang sudah mereka prediksikan.
Anggun menatap kosong cermin besar di kamar mandi Badai. Wajah mengantuk Badai di pagi hari sudah dia lihat hingga tiga kali. Mungkin setelah ini Anggun akan mendapatkan piring cantik (semacam promosi dalam produk penjualan yang berisi jika kita memberi tiga produk sekaligus yang sama, kita bisa mendapatkan hadiah berupa piring atau gelas cantik).
Anggun menatap lemas kondisi malangnya.
Tok! Tok! Tok!
"Tuan muda, apa Anda sudah bangun? Sarapan sudah disajikan. Jika Anda sudah siap. Mari ikut saya turun."
Anggun mendadak panik. Dia memang sudah diperingatkan Badai untuk memperlakukan Demitri dengan tenang.
"A-aku akan turun sendiri. Jadi kamu tak perlu menungguku."
Demitri hening sejenak sebelum membalas ucapan Anggun.
"Baik, Tuan. Jika begitu, saya akan meminta Udin untuk bersiap-siap."
Anggun mendesah panjang ketika orang pertama berhasil dia hadapi dengan baik. Meski belum bertatap muka secara langsung. Atau bicara dari jarak dekat. Anggun yakin sikapnya ini masih wajar dan tidak mencurigakan.
Mata Anggun berkedip lebar ketika dia menemukan sarapan pagi yang lengkap di atas meja.
"Atas insiden tempo hari saya sudah pastikan mengecek sarapan Anda pagi ini seperti kemarin."
Demitri menunjukkan rasa bersalah sekaligus tanggung jawabnya. Dia kabarnya sudah memantau secara langsung menu makanan yang dihidangkan langsung oleh para koki.
Oh, ya ampun.
Anggun mendesah panjang.
Jadi Badai memang benar-benar seorang Tuan Muda? Kenapa sebutan itu begitu asing di telinga Anggun? Apakah sebenarnya Anggun yang aneh? Atau, Badai?
Tak ingin berpikir jauh.
Anggun segera saja menyantap sarapan yang sudah disediakan. Hingga dia akhirnya merasa puas dan lega.
Em... ini jauh lebih baik daripada masakan ibu! Jika begini, aku tidak akan merugi saat kami bertukar tubuh selama beberapa waktu.
Anggun menepis jauh pikiran buruknya.
Hal yang bagus jika hanya bertukar tubuh selama beberapa waktu. Namun, bagaimana jika lebih lama dari itu?
Anggun diam-diam juga penasaran tentang kasus keracunan makanan tempo hari. Apakah mereka sudah menghandle-nya dengan baik? Lalu bagaimana nasib orang-orang yang memasak dan menghidangkan Badai makan malam pada hari itu?
Apakah Demitri sudah memecatnya? Atau, mereka ternyata masih diberikan kesempatan untuk terakhirnya? Hukuman berat atas kelalaian mereka, dan sebagainya?
Anggun menggeleng cepat. Dia yakin tak punya kuasa untuk tahu lebih banyak meski dia juga adalah korban. Demitri ternyata sejak awal terus mengawasi Anggun dengan beberapa macam perasaan.
"Saya senang Anda sudah bersedia makan di atas meja kembali setelah kejadian itu."
Anggun mengerjap. Dia baru saja selesai sarapan. Dia juga telah menenteng tasnya keluar dari pintu utama kediaman Badai. Demitri begitu terlambat menyampaikan perasaan tenangnya setelah kejadian tak menyenangkan hari itu.
Anggun terpaksa bertanya demi beberapa baris informasi. Anggun menoleh untuk mengajak Demitri bicara serius.
"Apa aku mogok makan setelah insiden itu?" Anggun berusaha keras memainkan perannya dengan baik sebagai Badai.
Demitri menggeleng.
"Tidak juga, Tuan. Anda hanya menolak koki lama menyediakan makanan untuk Anda. Lalu, selama mereka tidak dipecat. Anda tak bersedia menyentuh makanan yang mereka siapkan."
Anggun mengambil kesimpulan pendek.
Para koki yang sudah menciptakan masalah, dipecat. Badai berdiam diri dalam kamar dan menolak makanan yang Demitri antarkan padanya.
Badai mungkin juga mencari makanan di luar untuk menutupi rasa laparnya. Lalu, terakhir. Badai sama sekali tidak memberitahukan masalah penting ini pada Anggun!
Anggun terpaksa berpura-pura jaim demi harga diri Badai.
"Well. Aku tahu tak ada gunanya aku terlalu lama merajuk!"
Demitri merasa sedikit aneh mendengar Badai mengatakan kalimat barusan. Tapi tidak terlalu ingin mempermasalahkannya.
Anggun kini punya waktu lebih tenang untuk memikirkan masa depannya.
***
Gerbang sekolah sudah ada di depan mata. Anggun tak gelisah. Dia tentu tidak sendirian.
"Gimana situasinya? Apa semuanya oke?"
Badai mengangguk. Dia sudah menentang tas sekolahnya dengan percaya diri. Dia juga telah mengatasi apa yang harus dia atasi. Badai melingkarkan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.
"Semua aman sampai tidak ada yang curiga, selain kakakmu yang terlalu sensitif!"
Anggun memperlihatkan tatapan waspada. Badai terpaksa melanjutkan ceritanya.
"Dia menatap aneh padaku saat aku menyantap sambal."
Anggun membulatkan matanya akibat syok.
"Hei! Yang benar saja! Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak bisa makan pedas?" Anggun tak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Dia ingat betul sudah memperingatkan Badai dengan baik.
Badai meragukan ucapan Anggun yang menurutnya kontras.
"Kamu serius saat mengatakan itu? Gadis liar macam kamu tidak menyukai makanan pedas?"
Badai tentu saja berpikir saat Anggun mengatakan itu, dia sedang berbohong.
Anggun yang tersinggung menatapnya tidak terima.
"Apa baru saja kamu meledekku? Aku memang tidak suka makanan pedas. Aku lebih suka manis atau asin. Begini-begini. Aku adalah anak generasi micin!"
Badai memperlihatkan tatapan menyindirnya. Dia tak mau peduli apa yang Anggun sukai dan tidak. Badai pun tak akan menjadi koki pribadinya sehingga perlu tahu selera-nya.
"Lalu kamu! Bagaimana mungkin laki-laki lembek dan bertubuh lemah macam kamu, makan sambal untuk sarapan? Apa kamu bermaksud untuk menantangku? Karena itu kamu sengaja melakukannya? Atau inikah salah satu penyebab kenapa tubuhmu menjadi sarang penyakit?"
Badai memasang wajah jutek. Dia tidak suka kehidupan pribadinya dicampuri. Dia juga beranggapan Anggun mudah menarik kesimpulan seenaknya.
"Apa hubungannya kondisi tubuhku dengan makanan pedas? Bisakah kamu tidak menghina tubuhku secara terang-terangan. Padahal saat ini kamu sedang menggunakannya?"
Tubuh Badai sekarang lebih pendek setelah meminjam tubuh Anggun. Alhasil dia jadi harus melihat ke atas dan bukannya ke bawah. Anggun membuang muka. Dia tak mau lagi mereka bertengkar lagu karena masalah sepele.
"Hah! Pagi-pagi sudah merusak mood orang saja!" Anggun mengibas-ngibaskan tangannya ke udara. Dia ingin mengusir nasib buruk di sekeliling.
"Sudahlah. Buat apa pula kita bertengkar karena masalah ini? Aku tak dapat untung! Kamu juga tidak dapat berkah! Jadi, bagaimana jika kamu mulai mengurangi hobi anehmu itu di depan kakakku?"
Badai mau tak mau menyetujui ide itu karena dia tidak bersedia repot menghadapi Sonny.
Badai dan Anggun saling pandang. Mereka sudah berdiri di depan kelas setelah berjalan beriringan dari gerbang sekolah hingga koridor kelas. Anggun menghembuskan napas gugupnya. Karena ini adalah pertama kalinya mereka pergi ke sekolah dengan tubuh orang lain.
Anggun pun bicara tanpa menoleh.
***