"Ini untukmu!"
Entah angin apa yang sedang menerpa Anggun. Gadis berambut cepol itu, tiba-tiba saja bersikap baik padanya. Hingga tanpa sengaja, Badai sudah menatap kosong pada kaleng isotonik yang Anggun lemparkan mulus ke arahnya.
Tep!
Kaleng isotonik dingin itu hampir saja jatuh dan meleset dari target. Namun, Badai berhasil menangkapnya dengan baik.
"Itu adalah minuman penambah stamina. Akan lebih baik jika tubuhmu tidak menjadi lemah saat aku menempatinya. Maka, mari anggap ini sebagai sebuah keharusan dan kepedulianku pada nasib tubuh keduaku."
Anggun pergi tanpa setelah menepuk pundak Badai. Bermaksud memberikan dukungan dan kasihan pada nasib buruknya di pelajaran olahraga.
***
Maia menatap Anggun penuh selidik.
Aku belum sempat menginterogasimu karena jadwal kita yang super hectic.
Kemana kamu selama dua hari kemarin? Kamu tak memberi kabar. Kamu juga sampai memancing Kak Sonny datang ke kelas ini untuk mencarimu," Maia menyipitkan matanya, "Kamu bolos dari sekolah, tanpa bilang pada keluargamu?"
Anggun melirik sekeliling. Dia tak senang ketika waktu istirahat ini harus dia gunakan untuk sistem tanya jawab tentang alasannya tidak masuk dua hari lalu.
Anggun pura-pura bodoh.
"Aku membolos? Ah, itu. Aku sebenarnya sudah bilang pada kedua orang tuaku kalau aku tak bisa masuk karena tak enak badan. Kak Sonny saja yang terlambat mengetahuinya?"
Maia membulatkan mata.
"Sampai dua hari lamanya? Kakakmu tidak tahu kamu sakit selama itu?"
Anggun nyengir kuda. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Jadi biarkanlah Maia dan teman-temannya beranggapan begitu.
"Namun, bagaimana kamu menjelaskan kedekatanmu dan Badai?"
Winda tiba-tiba saja mengangkat topik yang melenceng.
Winda asyik makan semangkuk bakso beserta keripik asin-nya. Winda melirik Anggun sejenak saat dia sedang mengajukan pertanyaan itu.
Anggun membalas tatapan itu dalam diam. Winda masih saja mengajukan pertanyaannya dengan nada bicara santai.
"Kulihat tadi kamu memberikan Badai sekaleng minuman. Apa diam-diam kalian menjalin pertemanan yang cukup akrab?"
Anggun tak bisa berbohong bahwa Winda salah lihat. Anggun juga sadar kalau Winda tak sengaja memergokinya.
"Aku? Akrab dengan Badai?" Anggun kembali bertingkah bodoh.
Dia mengaduk-aduk baksonya dengan berbagai perasaan campur acuk. Antara kesal, panik dan harus memikirkan sesuatu untuk membalas kata-kata Winda.
"Aku sempat melihatnya gagal mendapatkan minuman setelah mengantri lama. Oleh sebab itu aku menawarkan satu minumanku padanya."
Untuk kali ini, Anggun tak berbohong. Dia memang sempat melihat Badai mengantri di depan mesin penjual minuman. Mencari minuman penyegar. Dan terus didahului oleh senior-seniornya saat akan membeli.
Anggun yang geram melihat tingkah mengalahnya di sekolah, tak bisa tinggal diam. Dia pergi ke depan gerbang sekolah dan menggunakan jasa pesan antar minimarket sebelah untuk memesan lima minuman isotonik. Alhasil kini ada 4 kaleng isotonik di meja kantin mereka. Dan satunya sudah Anggun berikan pada Badai sebagai penyemangat.
Ucapan mengejutkan Luna tiba-tiba saja menyeluak. Sering dan ini sudah kesekian kalinya Luna berhasil membeberkan informasi rahasi.
Tapi, menurut kesaksian kakakmu yang tak sengaja kudengar di ruang guru. Dia bilang kamu berhalangan masuk karena harus menjaga Badai.
Hati Anggun seperti akan lepas. Dia heran kenapa Luna baru mengatakannya sekarang? Setelah Anggun sudah terlanjur berbohong seperti tadi bahwa dia sakit.
Maia dan Winda berpaling ke arah Anggun. Mereka juga menantikan jawaban dari Anggun.
"Ya. Badai memang sempat sakit. Itu sebabnya aku memapahnya ke rumah sakit. Agar tidak sampai dituduh jadi penyebab sakitnya!"
Anggun tidak tahu apakah kata-katanya ini cukup masuk akal.
Teman-teman Anggun masih saja menatapnya tanpa bicara. Anggun pun tergerak untuk menambahkannya.
"Sebelum aku sakit, aku menolong Badai lebih dulu. Membawanya ke rumah sakit. Dan akhirnya tertular flu. Itu sebabnya juga kenapa aku memberikan kaleng isotonik itu pada Badai. Supaya dia tidak menularkan sakitnya pada yang lain."
Maia, Winda dan Luna kompak ber-oh-ria.
Anggun menyeka keringat dinginnya.
***
Bel tanda jam pelajaran berakhir, berbunyi. Badai dan Anggun sama-sama fokus pada ponsel mereka. Mereka saling berkirim pesan untuk membicarakan misi penting mereka.
[ "Ingat, jangan lupa pada janjimu! Kita harus pergi ke rumah dukun itu dan memastikan sendiri bahwa dia memang tidak ada." ]
Anggun memutar bola matanya.
Dia jelas-jelas sudah sampaikan bahwa paranormal itu sudah kabur. Badai masih saja memaksanya untuk memastikan hal itu bersama-sama.
[ "Aku sudah mengerti. Jadi jangan cerewet. Turuti saja permintaanku untuk tidak perlu bersikap sok akrab denganku!"
Anggun pergi mendahului Badai. Dia mengabaikan ajakan Maia untuk mampir ke toko buku. Anggun berbelok ke kanan, segera, setelah dia mencapai pintu keluar.
Mengomel dengan suara pelan dan tidak berani menoleh ke belakang. Setelah dengan sengaja Badai malah membuntutinya padahal Anggun sudah memperingatkannya.
"Hei! Kenapa kamu tidak berbelok ke kiri? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk pergi ke arah yang berlawanan? Kenapa kamu mengikutiku? Kenapa juga kamu jalan ke arah sini?"
Badai bicara sambil mengimbangi langkah cepat Anggun.
"Arah menuju ke gerbang sekolah hanya satu. Jadi saat jam pulang tiba. Lalu, semua anak pasti akan berbelok ke mari untuk pulang. Jalan ke arah mana yang kamu harap bakal aku ambil?"
Pikiran Anggun yang sedang kusut, bertambah kusut. Ucapan Badai sangat benar. Jadi, sejak kapan Anggun jadi sebodoh ini?
Anggun tak bersedia mengakui kebodohannya. Dia berjalan saja lurus menuju ke gerbang sekolah.
Anggun bahkan pura-pura tidak melihat Rangga dan Sonny ketika mereka berpapasan. Anggun memalingkan wajahnya secepat kilat.
Astaga, Kak Sonny. Kak Rangga! Sejak kapan mereka ada di sana? Lalu, kenapa juga mereka buru-buru pulang seperti dirinya?
Anggun berusaha menutupi wajahnya dengan satu tangan. Dia berjalan lurus ke depan. Dan berlarian kecil mengejar waktu.
Badai dibuat kewalahan mengikuti kecepatan Anggun melangkah kecil. Badai kini paham bagaimana melelahkan harus mengikuti keinginan akan kecil.
"Anggun! Bisa kamu kurangi kecepatanmu berjalan? Kamu bilang kita harus terlihat normal saat berjalan keluar gerbang. Tapi, normal macam apa yang kamu maksud? Jika kamu bahkan berjalan seperti dikejar hantu. Lalu, sampai hati mengacuhkan kakakmu dan ketua osis."
Hah!
Anggun mendesah.
Badai ternyata tipe laki-laki yang peka. Dia melihat bagaimana Anggun berusaha mengacuhkan Rangga dan kakaknya. Saat dipanggil pun, Anggun pura-pura tak mendengar.
Anggun sontak berhenti. Dia juga berbalik saat mereka sudah berada cukup jauh dari gerbang sekolah. Berada di jalan besar dan sedang menuju ke halte busway terdekat, seperti perjalanannya biasa pulang.
***