"Bolos pun kamu harus mendapatkan izin dari ayah atau ibumu. Kamu harus mengemukakkan alasannya. Dan jangan buat kami terkejut!"
Badai sempat berpikir keluarga Anggun akan memarahinya habis-habisan. Ternyata dugaannya adalah salah.
Baskoro mendekati putri bungsunya yang begitu dia cemaskan.
"Anggun, apa kamu ada masalah? Apa munkin kamu bolos diam-diam karena kami sering menegurmu untuk bangun pagi lebih awal?"
Baskoro bahkan menggunakan kata 'kami' untuk meringankan hati Mariam yang merasa bersalah telah memarahi Anggun hampir setiap hari karena bangun kesiangan.
Badai harus jujur bahwa dia tidak menyukai situasi ini.
"Saya bukan bermaksud begitu. Em, Anggun hanya terpaksa membolos demi menyelamatkan seseorang."
Badai menahan keinginan terbesarnya untuk tidak menyebutkan namanya.
"Badai. Teman sekelas Anggun masuk rumah sakit. Tidak ada yang merawatnya di sana. Jadi, Anggun cemas jika terjadi sesuatu padanya."
Mata elang Sonny kembali menjurus hanya ke arahnya.
"Badai? Siapa itu? Apakah dia adalah anak laki-laki di kelasmu?"
Sonny yakin betul bahwa Anggun tidak pernah menyebutkan nama itu sebelumnya.
"Begitulah. Jadi, ayah, ibu dan kakak. Kalian sudah mengerti alasan Anggun membolos, bukan?"
Badai bermaksud menghindar. Dia bersiap-siap masuk ke dalam kamar Anggun.
Mariam tiba-tiba saja menghentikannya. Memeluknya sangat erat. Lalu merasa sangat bersalah.
"Anggun! Jangan melakukan ini pada ibu! Kamu tahu kalau ibu sangat benci kebohongan. Jadi jangan tipu ibu dengan kebiasaan burukmu!"
Badai bertanya-tanya, memang sebanyak dan seterbuka apa Anggun sering menipu seseorang? Bahkan ibunya sendiri begitu mengkhawatirkannya?!
Pelukan Mariam ternyata sanggup mencekik tubuh Anggun.
"Ibu, apa ibu bermaksud untuk membunuhku? Jadi karena itu ibu menekan tubuhku sekuat ini?"
Mariam menjauhkan dirinya.
"Ibu bukan bermaksud begitu. Ibu hanya merasa sangat bersalah jika kamu sengaja membolos karena ibu."
Badai menunjukkan kelelahannya.
"Saya tidak pernah berkata begitu. Saya sudah bilang, saya hanya berusaha berbuat baik terhadap sesama teman sekelas. Jika ibu, ayah dan kakak tidak percaya. Kalian bisa tanyakan pada teman-teman sekelas Anggun atau wali kelas. Apakah selama dua hari ini, Badai tidak masuk kelas dan izin sakit?"
Baskoro, Mariam dan Sonny terpaksa mempercayai perkataan Anggun.
Mereka lega jika situasinya tidak seburuk yang mereka cemaskan.
Baskoro berusaha untuk tidak menekan putrinya.
"Anggun pasti sangat lelah. Jadi, lebih baik kita biarkan dia beristirahat. Kemudian, kita akan lakukan konfirmasi langsung pada wali kelasnya besok agar dia juga tidak ikut salah paham karena ulah Sonny yang terlanjur menyampaikan bahwa Anggun pergi sekolah seperti biasanya."
Sonny merasa dipojokkan.
"Aku sudah berkata jujur. Tapi, aku juga disalahkan."
Sonny sama sekali tidak tersinggung atau marah. Dia hanya bersyukur jika segalanya masih baik-baik saja. Karena Sonny sempat berpikir negatif bahwa Anggun mungkin saja kabur dari sekolah karena ditolak oleh Rangga.
Penuturan Rangga ketika Sonny bertanya padanya kapan terakhir dia bertemu dengan Anggun dan bagaimana situasinya, memang sama sekali tidak aneh.
"Anggun? Aku bertemu dengannya di depan ruang OSIS. Dia berusaha memberikan perhatian kecilnya padaku. Tapi, kami tidak sempat bicara banyak karena aku harus mengejar Mila."
Sonny tidak tahu akan sampai kapan Anggun membuang waktunya demi Rangga. Sonny bergerak maju. Dia menyentuh kepala adiknya dan bicara lebih lembut.
"Istirahatlah dan sayangi dirimu!"
Sonny masuk ke dalam kamarnya setelah dia pikir masalah mereka sudah selesai. Badai menunggu sampai ayah dan ibu Anggun menjauh dari kamar. Kemudian mengunci pintu kamar. Ponsel Anggun di saku seragamnya berdering.
"Bagaimana? Apakah semua berjalan baik? Dan mereka tidak curiga?" Suara Badai terdengar jelas dari seberang telepon. Badai masih belum terbiasa mendengar suaranya menyuarakan isi pikiran Anggun yang bersemayan dalam tubuhnya yang malang.
Badai melempar asal tas ke atas tempat tidur Anggun. Kemudian merebahkan tubuhnya di sana.
"Semua berjalan lancar hanya sampai sejauh ini. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
Tawa Anggun meledak.
"Bagaimana? Apa situasinya sangat menegangkan?"
Badai mencibir.
"Apa kamu selama ini menipuku? Keluargamu begitu baik dan sangat mengkhawatirkanmu. Ibumu mungkin sempat menggunakan nada tinggi untuk mengomeli putrinya. Dan kakakmu yang punya mata elang, menceramahiku panjang lebar. Namun, mereka ternyata tidak seseram yang aku bayangkan."
Anggun tiba-tiba saja berburuk sangka.
"Apa mungkin sebenarnya keluargamu-lah yang lebih menyeramkan?"
Di dalam kamar, Anggun hanya seorang diri. Setelah setelah makan malam dengan berbagai hidangan yang mengenyangkan setelah penebusan dosa yang Demitri berikan padanya karena rasa bersalah.
Anggun sama sekali belum punya kesempatan untuk bertemu dengan kedua orang tua Badai. Mereka sedang tidak berada di kota ini. Menurut kesaksian Demitri, mereka saat ini sedang ada di Bali untuk mengurus beberapa resort mereka di kota pariwisata itu.
Mereka tidak akan memberi kabar apapun sampai mereka tiba di rumah ini. Lalu, terakhir kali mereka bertemu dengan Badai adalah dua bulan lalu.
"Apa ibu dan ayahmu selalu begitu? Mereka sibuk bekerja dan lupa punya anak aneh macam kau?" Anggun bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan Badai atau menghinanya. Dia hanya ingin menunjukkan kepeduliannya tanpa terlihat sangat jelas.
Badai tidak menunjukkan perasaan tersinggungnya sama sekali akibat ucapan jujur Anggun.
"Mereka memang selalu begitu. Bahkan urusan pindah sekolah, mereka limpahkan pada Demitri yang sudah seperti kaki-tangan mereka."
Anggun tak berusaha mengorek lebih banyak informasi pribadi keluarga Badai.
"Jika sudah begini. Good night, Dai. Aku harap aku akan membuka mataku besok pagi di kamarku!"
Badai memiliki harapan yang sama. Dia juga tidak mau terus terjebak dalam tubuh seorang wanita. Namun, masalah mendesak mengharuskan Badai melakukan konfirmasi.
"Aku harus mandi karena tubuhku sangat lengket saat ini. Aku juga butuh buang air kecil. Jadi, jangan mencegahku. Karena aku bicara begini bukan untuk meminta persetujuan darimu lebih dulu."
Teriakan Anggun terdengar.
"Badai!!!"
Dia sungguh sulit menahan emosi dan kepanikkannya. Pikirannya sudah melayang jauh. Dengan nakal dan tanpa perasaan, Badai bahkan langsung memutuskan sambungan telepon mereka.
***