Badai yang terkejut mendengar suara Anggun, menengadah. Dia menurunkan ponsel Anggun dan menghampirinya.
"Kamu sudah sadar dan merasa lebih enak?" Badai menyentuh kening Anggun. Dia juga mengecek suhu wajah Anggun untuk memastikan bahwa panasnya sudah turun.
Anggun mempertahankan kesabarannya.
"Singkirkan tanganmu dariku. Aku sudah jauh lebih baik. Dan bersedia berterima kasih pada kepala pelayanmu yang sudah berusaha membuatku tetap dapat bertahan hidup."
Badai menarik asal satu kursi di dekatnya lalu duduk.
"Kamu tidak akan mati. Aku sudah sering mengalaminya berkali-kali. Jadi, aku bisa pastikan bahwa kamu akan selamat."
Anggun bergidik ngeri mendengar pernyataan santai itu. Padahal dia sudah sangat tersiksa menahan rasa kacau pada tubuh barunya. Anggun mengeluarkan asumsinya secepat otaknya masih dapat bekerja dengan baik.
"Kamu sudah sering mengalaminya? Itu berarti masuk rumah sakit adalah langgananmu?"
Badai mengalihkan pandangannya. Dia menghindari pertanyaan Anggun. Badai kemudian mengambil vitamin dan segelas air untuk Anggun.
"Minum ini. Dan telan. Dokter menyuruh kami untuk memastikanmu meminumnya segera setelah kamu sadar."
Anggun mendudukkan tubuhnya untuk bersandar lebih tegak.
"Aku baru tahu kalau kamu punya empati tinggi pada orang lain."
Badai membalas jujur.
"Ini bukan tubuh orang lain. Melainkan tubuhku."
Anggun terpaksa mencibir setelah beranggapan bahwa dia sudah sia-sia saja memuji kebaikan Badai. Suasana hati Badai ternyata masih saja buruk karena insiden tukar tubuh ini. Anggun tiba-tiba tersadar.
"Aku sudah tertidur lelap untuk waktu yang cukup lama. Tapi, kenapa kita tidak saling bertukar tubuh?"
Badai meresapi perkataan Anggun dengan teliti.
"Kamu benar. Jika kejadiannya sama seperti kemarin. Kita seharusnya kembali ke tubuh masing-masing," Badai mengecek tanda waktu di ponsel Anggun, "Mungkinkah kita masih harus menunggu lebih lama karena masih ada sisa waktu?"
Anggun mengeluarkan telunjuknya.
"Itu dia!" Dia menunjuk tanpa menyebutkan apa subjek yang dia maksud. Badai masih sibuk memegangi gelas.
"Kamu dan aku harus tidur dalam waktu yang bersamaan. Dengan begitu, tubuh kita bisa kembali."
Badai berpikir keras dan mencocokkan kata-kata Anggun dengan situasi mereka.
"Hari ini aku terus menjagamu. Takut kamu sampai kolaps dan mungkin membahayakan tubuhku. Jadi, aku tidak tidur sama sekali sejak aku membuka mata. Lalu, kemarin. Kita memang kembali ke tubuh kita masing-masing setelah tidur siang bersama."
Anggun diam-diam mengerutkan bibirnya. Dasar! Padahal tadi dia bilang aku akan baik-baik saja!
Badai masih sibuk dengan pikirannya.
Segala penjelasan ini terdengar cocok. Namun, mungkinkah itu berarti dia harus tertidur sekarang, jika dia ingin tubuh mereka bertukar kembali?
Badai menyentuh keningnya.
"Itu analisa yang masuk akal. Tapi aku jarang tidur siang. Aku sedang tidak mengantuk. Dan jangan sarankanku untuk mencobanya sekarang."
Anggun meneguk habis minumannya bersamaan dengan vitamin tambahan yang harus dia minum.
"Jadi, kapan aku harus menunggumu sampai terlelap dan mencobanya?"
Badai menyentuh keningnya.
"Ini bukan keinginanku. Tapi tubuhmu. Apa kamu biasanya begitu kuat terjaga dan sulit mengantuk?"
Anggun ingat kembali bagaimana dia semalam tidur lebih awal. Sangat awal bila dibandingkan kebiasaannya yang suka bergadang sampai pagi buta.
"Ah, semalam aku tidur terlalu cepat. Aku begitu senang kita tidak jadi menghadapi masalah besar. Tapi, kejadiannya malah tetap begini."
Kekecewaan menyelimuti wajah Anggun. Pada saat itu, Badai mengulurkan tangannya dan mencoba memahami.
"Aku akan membantumu. Dan kamu tidak sendirian." Kata-kata itu menjadi penghipur lara yang kuat. Meski Anggun tahu, Badai mengatakan hal itu demi dirinya sendiri.
"Karena itu, kamu mengerti sekarang, bukan? Bahwa tidak ada gunanya kamu menyuruhku untuk tidur. Saat kamu adalah penyebab utamanya. Dan tubuh ini bekerja bukan atas keinginanku."
Anggun mengingat kembali bagaimana tubuh Badai yang dia gunakan saat ini melemah hanya karena salah makan.
"Aku sempat mendengar dokter menjelaskan penyebab demammu. Kamu punya ketahanan tubuh yang sangat rendah terhadap makanan tertentu dan orang rumahmu ternyata kurang mengetahuinya?"
Badai diam dan tidak menjawab. Dia menganggap masalah itu akan menjadi urusannya dengan Demitri untuk mencari tahu siapa dalang dari perkara ini. Badai menyerahkan ponsel Anggun yang sempat dia simpan dalam sakunya.
"Kakak dan ibumu menghubungimu dua kali. Kabarnya dia tahu bahwa kamu sudah membolos dua hari berturut-turut dari investigasi kakakmu yang curiga adiknya terus berangkat sekolah lebih awal dari biasanya."
Anggun meraih ponselnya dengan gerakan super cepat. Dia panik. Dia juga tak bisa menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan.
"Apa yang kamu bilang?"
Dia pikir Badai dari tadi hanya iseng saja melihat-lihat ponselnya untuk menutupi kebosanannya. Namun, dibalik wajah datar yang Badai sematkan . Pria itu ternyata sedang begitu tenang membaca pesan gelisah dari keluarga Anggun?!
Anggun mendumel dengan ketus, "Kenapa kamu baru bicara sekarang? Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesan mereka?"
Anggun mengecek ponselnya. Dalam histori panggilan telepon miliknya, ada sekitar 5 panggilan telepon tak terjawab. Dua dari kakaknya, dua dari ibunya, Lalu terakhir dari ayahnya!
"Ayahku bahkan menghubungiku saat dia ada di kantor!"
Badai mengintip apa yang Anggun lihat.
"Sepertinya, ayahmu baru saja menghubungimu ketika kita sedang berbicara. Aku menonaktifkan suara ponselmu. Jadi wajar jika kita tidak menyadarinya."
Anggun ingin sekali memukul Badai dan menjambak rambutnya. Namun dia akhirnya terpaksa menahan keinginan itu dengan susah payah. Karena ada hal yang lebih penting, harus dia lakukan. Badai yang cepat tanggap, langsung menahan tangan Anggun yang bersiap menekan callback di ponselnya. Setelah selesai membaca pesan penasaran dari kakaknya.
"Apa yang mau kamu coba untuk lakukan? Kamu ingin menghubungi keluargamu tanpa persiapan? Kamu juga berencana bicara dengan mereka menggunakan suaraku?"
Anggun sadar kembali bahwa tubuh mereka masih saling tertukar. Dia tidak bisa menghubungi keluarganya untuk memberi kabar mengunakan suara Badai. Dia juga tidak bisa langsung meminta bantuan pada Badai untuk menggantikan tugasnya menenangkan keluarganya.
Anggun menarik napas dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Kita tidak bisa terus begini. Aku tak mungkin menyuruhmu pulang ke rumahku tanpa persiapan. Aku juga tidak bisa membalas pesan Kak Sonny. Jika begitu, dia pasti akan langsung menghubungiku dan memintaku menjawab seluruh pertanyaannya tanpa jeda," Anggun menyentuh pundak Badai, "Maka, jika keadaannya sudah begini. Bagaimana jika kita tunggu sampai besok dan biarkan tidur kita malam ini yang mengobati kutukan aneh ini!"
Badai mau tak mau setuju dengan ide melelahkan tersebut.
"Kita juga tidak bisa terus membolos. Dan lebih baik bergantian menjalani kehidupan satu sama lain."
Anggun dan Badai melemaskan pundak mereka.
Ya, ampun! Betapa sulit pilihan itu harus mereka ambil saat mereka tidak punya solusi lain.
Demitri membantu Anggun dan Badai pulang ke rumah Badai. Mereka berencana berdiskusi tentang profil masing-masing dan hal-hal apa saja yang harus mereka perhatikan jika sedang berada di tubuh yang salah.
Badai mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Saat mereka berada di dalam ruang rawat rumah sakit, dalam perjalanan pulang, dan setelah tiba di kediaman Badai.
"Kamu yakin tidak perlu lebih lama menginap di rumah sakit? Bagaimana pun, tubuhmu baru saja demam tinggi. Dokter juga sudah menyarankan untukmu pulang saja besok dan mengumpulkan tenaga. Namun kamu tetap memaksa untuk kembali dan melakukan rapat."
Anggun melempar tubuhnya ke atas sofa. Dia masih merasa lemah. Namun, dia percaya diri bahwa tubuhnya sudah membaik dan tidak akan memburuk.
"Karena itu, mari kita jangan membuang-buang waktu. Dan latihan bersama bagaimana caramu nanti menghadapi kedua orangtuaku dan Kakak!"
Demitri dibuat tercenggang menghadapi tingkah keduanya. Dia hampir tidak paham seluruh pembahasan antara Badai dan Anggun. Bahkan di sepanjang perjalanan pulang mereka.
***