Badai dan Anggun memutuskan untuk langsung masuk ke kamar besar Badai yang berada di lantai atas untuk berdiskusi. Anggun sudah berupaya menghalangi Badai mengganti pakaiannya seorang diri.
Dia mewakili Badai berpakaian. Kemudian mengharuskan Badai untuk memejam mata dan tidak bersuara. Entah bagaimana suasana aneh itu dapat Anggun jelaskan secara terperinci. Dia merasa amat malu. Dia juga tidak bisa mengukur seberapa aneh posisi mereka saat itu, hingga perihal tentang ketakutannya.
Jika saja Badai mengingkari janjinya dan mengintip.
Laki-laki aneh dan ketus itu ternyata masih dapat dipercaya. Meski Anggun tidak bisa menjamin sampai kapan dia dapat meletakkan kepercayaan samarnya pada Badai.
Anggun baru sadar bahwa Badai adalah anak seorang saudagar kaya. Dia layak disebut sebagai Tuan Muda. Karena begitulah kepala pelayan Badai memanggil dirinya. Hingga Anggun yang belum terbiasa diperlakukan hormat, harus tersenyum kikuk untuk meladeni pertanyaan Demitri. Sang Kepala Pelayan kediaman Daneswara. Sekaligus orang kepercayaan keluarga Badai yang sudah mengurus Badai sejak dia masih balita.
Bayangan ketika bayi mungil Badai bergelut manja di pangkuan Demitri, pria berwajah tegas dan rahang kaku itu, masih sulit membuat Anggun mempercayainya. Anggun kini duduk di sofa panjang di ruang tengah kamar megah Badai.
"Aku terlalu panik ketika bangun. Aku tidak tahu kalau kamarmu seluas kamar aku, Kak Sonny dan orangtuaku jika digabungkan."
Badai hanya mendengarkan dalam diam, penuturan Anggun. Dia membuka lebar tirai kamarnya. Dia juga sengaja menyalakan TV berukuran 120 inci di kamarnya yang sangat cocok untuk menonton film bioskop bersama-sama. Agar keheningan dan kecanggungan tidak menjalar di sekitar mereka.
Anggun masih saja memberikan kertertarikan penuhnya pada Badai yang kini sudah terbiasa melihat wajah dan tubuhnya berbicara di depan matanya.
"Aku juga baru tahu kalau kamu adalah seorang Tuan Muda kaya. Jadi, selama ini. Kenapa kamu tidak pernah memperlihatkan hal itu si sekolah?"
Anggun menurunkan pandangannya ke bawah. Dia mengingat-ingat ulang penampilan aneh Badai di kelasnya. Dia yakin sudah tertipu dan dijebak.
"Matamu tidak minus. Kamu tidak butuh kacamata keledaimu itu. Lalu, sepatu rusuhmu itu juga! Kamu seharusnya sudah membuang sepatu butut itu sejak lama!"
Anggun yakin bahwa selama ini Badai hanya berpura-pura miskin dan menarik diri dari pergaulan. Segalanya baru terungkap dan Anggun sadari setelah pikiran lebih jernih. Bahkan ketika dia membuka matanya pagi ini. Anggun hampir tak mengenali siapa dirinya. Tubuh siapa yang dia rasuki. Dan bagaimana bisa dia melibatkan tubuh asing ini.
Kartu Tanda pelajar Badai tergeletak begitu saja di atas meja belajar Badai. Karena itulah dia segera punya gambaran kasar tentang masalah apa yang dia hadapi. Lalu menerjang keluar untuk menemui tubuh aslinya dan mencari petunjuk.
Badai sudah duduk di atas sofa yang tidak jauh dari Anggun. Duduk dengan gayanya. Dan acuh. Badai menjawab simple pertanyaan Anggun.
"Sepatu itu adalah pemberian terakhir almarhum nenekku. Aku menggunakannya seperti semacam kebiasaan. Aku mungkin terlihat rusuh. Tapi, selain sepatu. Tas dan kaos yang aku sering kukenakan adalah pakaian bermerek. Meski aku sengaja melarang sopir pribadiku untuk mengantarku tepat di depan gerbang sekolah untuk menghindari perhatian."
Anggun menegakkan tubuhnya.
"Jadi, kamu memang anak seorang suadagar kaya. Lalu terdampar di SMA Pelita Bumiraya yang sedikit terpencil."
Jika menyesuaikan bagaimana kemegahan rumah dan kamar Badai. Anggun bisa memperkirakan bahwa Badai sebetulnya bisa bersekolah di sekolah internasional terbaik di kota mereka. Bahkan negara mereka. Jika itu yang dia inginkan.
Badai menarik topik berbeda.
"Karena itu, mari kita bahas apa yang perlu kita bahas sekarang. Kamu sungguh-sungguh tidak tahu kemana perginya dukun aneh itu? Kamu juga tidak berencana meracuniku? Targetmu adalah ketua OSIS. Lalu, aku adalah korbannya?"
Anggun menunduk dalam. Dia kini merasa sangat bersalah. Dan sangat wajar jika Badai menyalahkan dirinya. Namun, Anggun sama sekali tidak pernah bermaksud untuk mencelakai Badai atau bahkan sampai melibatkannya.
"Minuman itu bukan ditujukan untukmu. Kamu saja yang ceroboh meminumnya!" Anggun berusaha menemukan secuil kesalahan Badai yang patut diperhitungkan. Badai mendesah.
"Jadi ini adalah kesalahanku. Dan kamu sama sekali tidak ingin disalahkan?"
Anggun menggeleng cepat.
"Aku tidak mungkin berpikir begitu. Aku hanya menjelaskan kronologinya. Aku bukan ingin menjerumuskanmu. Hanya saja, semua terjadi begitu saja tanpa aku cegah. Itu sebabnya aku sangat marah ketika melihatmu meminum habis botol itu."
Badai mengusap keningnya. Dia terkadang memang bersikap seperti pria dewasa. Dapat tenang menghadapi masalah atau kendala yang terjadi di sekelilingnya. Namun, tetap saja dia hanya laki-laki biasa yang baru berumur 16 tahun.
Tidak paham tentang dunia aneh yang mengisi hidup mereka. Lalu memenjarakan jiwa mereka ke dalam tubuh orang lain. Badai memperlihatkan tatapan letihnya. Anggun masih berjuang memperlihatkan kejujurannya.
"Aku sudah datang ke rumah paranormal itu. Tapi dia tidak ada di rumah. Dan kata tetangga yang tinggal di sebelahnya. Dia sudah pergi dan entah kapan akan kembali karena dia sudah menggembok kuat pagar rumahnya."
Badai menyandarkan tubuh dan kepala Anggun ke belakang. Anggun merasa tidak nyaman terhadap sesuatu dan mengingatkanya.
"Hei! Bisakah kamu lebih menunjukkan sisi feminimu di dalam tubuhku? Bagaimanapun juga kamu tidak boleh menunjukkan sifat laki-lakimu itu di hadapan keluargaku dan Ketua OSIS!"
Badai melipat masuk lidahnya.
"Oh, ayolah. Apakah masalah itu penting sekarang? Dan kamu akan memperdebatkannya sampai besok."
Anggun tetap saja bersikeras, "Aku tidak suka melihatnya dan rapatkan kakimu! Apa kamu ingin orang lain menjadi curiga?"
Badai terpaksa menurut. Dia bersikap halus secara terpaksa. Dan membenarkan posisi duduknya. Badai menunjuk Anggun dengan tatapan serius.
"Lalu, kamu! Jangan duduk cantik begitu! Meski aku berusaha berakting cupu di sekolah. Aku tidak pernah merapatkan kakiku serapat itu ketika sedang duduk. Kamu harus ingat! Kamu tidak sedang menggunakan rok! Lalu, Anggun yang aku tahu. Sama sekali tidak 'anggun'!"
Anggun terluka setelah mendengar pernyataan kejam Badai.
Dia berdecak. Dia juga memilih untuk mengalah. Agar mereka sama-sama adil.
Anggun berucap lirih, "Dua bulan."
Badai sontak menaikkan satu alisnya.
"?"
"Kita mungkin akan begini selama 2 bulan. Aku tidak tahu apakah mungkin bisa lebih cepat. Atau justru semakin lama. Awal perjanjianku dengan paranormal gadungan itu adalah hanya dua bulan. Maka mungkin setelah itu kita baru akan kembali ke tubuh kita masing-masing.
Badai memutasr kedua bola matanya. Dia seolah-olah ingin tumbang. Namun menahannya sekuat tenaga.
"Aku mengerti. Karena itu selama beberapa jam ke depan mari tenangkan diri kita masing-masing dan intropeksi diri."
Badai dan Anggun duduk saling memunggungi.
***