Keesokkan paginya, Anggun sengaja bangun pagi-pagi sekali. Dia menyiapkan dua bekal manis untuk dia bawa. Bangun lebih awal, tak seperti biasanya. Sampai-sampai membuat Mariam terkejut dan kebingungan menginterogasinya.
Anggun menginjakkan kakinya melewati pintu gerbang. Dia mencari sosok Rangga dan mengejarnya.
"Aku lapar. Kelasku masih kosong. Teman-temanku juga belum datang," penuturan to-the-point Anggun yang aneh, mendorong Rangga mengeluarkan tatapan heran saat jalannya terus dihalangi oleh Anggun yang terus mengikutinya kemanapun dia hendak melangkah.
"Anggun, jika kamu begitu lapar. Kenapa kamu tidak sempat sarapan? Aku yakin setiap hari kakakmu pasti sarapan dengan cukup baik dan tepat waktu sebelum masuk sekolah."
Rangga menaikkan alisnya lebih tinggi setelah mempertimbangkan sesuatu.
"Lalu, daripada itu. Bukankah setahuku, kamu belum pernah berangkat sekolah sepagi ini?" tanya Rangga penuh selidik, berdasarkan pengalamannya menjadi pendengar yang baik saat Sonny menceritakan betapa susah adik perempuan semata wayangnya bangun dan datang ke sekolah lebih awal.
Anggun menggelembungkan pipinya.
"Kakak mendengar kebiasaan burukku dari Kak Sonny?" tuduh Anggun dengan wajah cemberut. Dia mencari pembelaan, "Aku bisa saja berangkat lebih awal jika aku mau. Jadi kenapa Kakak harus heran?"
Rangga mengulas senyum. Dia bukan bermaksud meledek Anggun. Dia hanya ingin pergi menunggu di depan kelas Mila dan mengajaknya bicara.
"Anggun bawa bekal berlebih. Jadi, Anggun ingin membaginya pada Kakak! Bagaimana? Bukankah itu artinya, Anggun adalah gadis yang baik dan tidak sombong?" candaan Anggun menggelitik senyum Rangga.
"Awalnya Anggun ingin membuatkan bekal untuk Kak Sonny juga. Tapi dia menolak. Jadi, Kak Rangga saja, ya! Yang bantu Anggun menghabiskan ini semua!"
Anggun menarik Rangga duduk di kursi taman.
Membuka dua kotak bekal makanannya yang berukuran cukup besar. Dan sengaja menyediakan semua menu dalam jumlah banyak. Agar rasa haus cepat menyerang Rangga. Onigiri, salad, daging gulung dan sosis gurita. Semua itu telah Anggun dekorasi menjadi sedemikian cantik agar dapat mengundang selera.
"Ayo, makan, Kak! Semua ini Anggun yang buat. Dan bukan hanya ini saja yang bisa Anggun buatkan. Jadi, jangan heran jika Anggun bisa menjadi seorang istri masa depan yang menjanjikan. Lalu, terakhir. Sirup ini harus kakak minum saat haus!"
Rangga tak berdaya melihat penampilan manis bekal Anggun yang sepertinya lezat meski hanya dilihat dari penampilannya saja.
"Aku jarang minum minuman yang manis saat pagi hari. Aku terbiasa meneguk air mineral yang lebih sehat untuk tubuh. Tapi, untuk bekalmu. Aku tak mungkin melewatkannya jika kamu sudah bekerja keras untuk membawanya. Meski aku takut bahwa mungkin saja aku mengurangi jatahmu."
Anggun menyodorkan bekalnya lebih maju. Meski tujuannya sedikit meleset.
"Ah, hanya air mineral? Tapi Anggun tidak punya. Bagaimana jika untuk kali ini kakak coba saja minuman yang sengaja Anggun racik? Eh, maksudnya, yang Anggun sudah sediakan?"
Rangga tetap menggeleng, "Aku rasa ini saja cukup."
Anggun berjuang menutupi kekecewaannya. Separuh hatinya bahagia karena bisa menghabiskan moment berharga ini bersama Rangga. Dan tersentuh karena makanan yang dia buat masuk ke mulut Rangga.
"Kak Rangga sungguh tak mau?" tanya Anggun penuh harap setelah Rangga telah berhasil menghabiskan hampir separuh bekal.
Ponsel Rangga tiba-tiba saja berbunyi. Kemalangan Anggun jadi bertambah.
"Apa? Sekarang? Okay. Kalau begitu aku langsung ke sana?"
Kalimat itu melunturkan seluruh kebahagiaan yang tersis dalam hati Anggun. Anggun sontak berdiri menghalangi Rangga.
"Kakak tidak akan menghabiskan bekalnya?"
"Sudah cukup, Gun. Kakak sudah ditunggu."
"Kalau begitu, bagaimana jika minum dulu?" tawar Anggun masih berjuang dengan caranya.
"Kakak pasti haus. Anggun sudah punya persediaan. Anggun mengambil botol airnya dari dalam tas. Ini masih higienis, koq. Belum Anggun apa-apa-kan. Original."
Tapi bohong!, batin Anggun jahat.
Anggun berusaha keras menyembunyikan perasaan gugupnya. Rangga hanya melihat sekilas pada botol air yang Anggun tunjukkan padanya.
"Tidak usah, Gun. Terima kasih. Makanan kamu saja sudah bikin perut dan hati Kakak senang. Jadi, minumannya buat kamu saja. Karena kamu pasti buat untuk dirimu sendiri."
Rangga pergi meninggalkan kekecewaan besar dalam sanubari Anggun. Anggun terpaksa meletakkan kembali botolnya ke atas kursi di samping bekalnya.
"Ya, ampun kak. Minuman ini 'kan memang khusus untuk kakak! Jadi, kenapa harus ditolak??" gerutu Anggun tak puas.
***
Di rumah tua Mbah Bija. Nenek itu sibuk mencari sesuatu dan kebingungan.
"Aku yakin aku meletakkannya di sini. Tapi kemana, ya? Kenapa tidak terlihat dan sepertinya menghilang?"
"Itu ramuan terbaruku. Aku belum menyelesaikannya secara sempurna. Aku yakin sudah menyimpannya dalam botol kecil. Aku juga yakin sudah memisahkannya jauh dari yang lain."
Bija berulang kali mencari kesana kemari. Dia mengobrak-abrik seluruh perkakas dalam lemarinya. Namun, dia masih saja belum juga menemukan apa yang dia cari dan butuhkan.
"Ini bisa gawat jika tercampur dengan ramuan lain yang sudah kujual."
Ramuan itu masih dalam tahap uji coba. Bija hanya meraciknya untuk iseng semata. Dia baru akan melakukan uji coba tersebut pada sepasang anjing dan kucing liar yang dia tangkap di luar komplek rumahnya.
Telepon genggam Bija keluaran sangat lama, berdering.
"Apa yang kamu lakukan dalam rumah? Kamu harus keluar dari rumah itu sekarang karena polisi sudah mengintai rumahmu!"
Bija mendesah panjang. Dia baru saja tinggal di rumah tua ini selama beberapa bulan. Namun dia harus kembali mencari tempat lain. Saat dia sudah nyaman dan dapat beradaptasi dalam lingkungan komplek ini. Serta menghasilkan cukup banyak uang.
Bija mengalah demi keselamatannya.
"Baik. Baik. Aku akan segera berbenah. Siapkan mobil untukku. Lalu, kirim orang untuk membantu memindahkan barang."
Telepon itu putus. Bija melupakan sejenak ramuan yang terus dia cari sejak pagi.
***