"Kamu sebenarnya kenal dukun aneh itu dimana sih? Kenapa juga kamu harus kemari? Apa kamu tidak bisa mengurungkan niatmu yang aneh itu, Gun? Aku takut. Bagaimana jika keluar sesuatu yang aneh dari dalam rumah? Atau, bagaimana jika dukun itu melakukan sesuatu yang buruk pada kita?"
Anggun yang sudah terlanjur menginjakkan kakinya di rumah itu. Tak bersedia membatalkan niat awalnya. Dia juga mengabaikan nasihat baik Maia.
"Jangan takut, Mai. Mbah Bija baik, koq. Aku tidak sengaja bertemu dia waktu terlambat masuk sekolah. Dia menawarkan sarapan roti ketika ibuku melarangku sarapan karena marah."
Winda tercengang. Dia memukul punggung Anggun.
"Kamu gila, ya! Masa kamu terima makanan dari orang asing? Pelajaran berhati-hatimu berapa sih?" Winda baru tahu kecerdasaan akademik seseorang tidak menjamin apakah orang itu akan mudah ditipu atau tidak. Anggun malah menjawab santai.
"Ya... mau bagaimana lagi. Aku lapar berat karena malam sebelumnya keasikan main game. Lalu, lupa makan. Jadi, keesokan paginya. Saat ada yang berbaik hati menawarkan makanan. Tentu saja aku harus menerimanya dengan senang hati! Kamu 'kan sudah hafal betul kebiasaan ibuku yang galak. Dia pasti tidak akan memberikan sarapan jika aku bangun kesiangan."
Winda dan Maia berdecak kagum. Mereka terpesona antara harus bangga pada keberanian Anggun atau mengatainya lugu. Hawa dingin di sekitar mereka menusuk punggung dan leher Maia.
"Tapi tetap saja, Gun. Kalau tahu tempatnya semenyeramkan ini. Aku lebih baik menggantikan tugas Luna deh untuk menyelesaikan tugas kelompok kita. Ini namanya sangat berbahaya. Bagaimana jika di dalam roti yang kamu makan tempo hari itu mengandung ilmu pelet yang memikatmu untuk datang kemari?"
Anggun menatap sinis Maia yang begitu waspada dan ketakutan.
"Itu tidak mungkin, Mai. Aku makan roti itu sudah sebulan yang lalu. Masa efeknya baru sekarang bekerja?"
Maia dan Winda sudah tak ingin lagi tahu cerita bagaimana kesan pertama Anggun pada sang dukun.
"Tapi sepertinya dia tak ada di rumah. Bagaimana jika kita kembali saja? Mungkin dia sudah pindah? Dan aku sangat berharap itu adalah benar!" Harapan besar Winda sirna. Pintu coklat rumah besar itu terbuka lebar. Ketiganya sontak terkejut dan ketakutan.
"Siapa yang mengetuk pintu sore-sore? Kalian tidak tahu kalau ini adalah jam tidur soreku?"
Winda dan Maia memperhatikan jam tangan mereka. Masih pukul 4 sore. Siapa yang akan tahu ini jam tidur siapa?
Anggun menyingkirkan tangan-tangan lengket yang terus menempel di pundak dan lengannya.
"Mbah Bija. Saya Anggun. Mbah masih ingat?"
Seorang wanita bungkuk. Berperawakan sangat tua. Rambut putih dan bertudung hitam. Serta menggunakan tongkat hitam. Jika saat ini mereka berada di dunia dongeng. Winda dan Maia pasti beranggapan bahwa Mbah Bija adalah seorang nenek sihir berhidung mancung.
Keduanya kompak menelan ludah dan bersembunyi di belakang punggung Anggun yang entah punya keberanian macam apa terus bersemangat saat bicara dengan Mbah Bija.
"Saya datang ke sini buat minta bantuan Mbah Bija. Mbah Bija ingatkan apa yang pernah Anggun sempat ceritakan ke Mbah Bija? Jadi, Anggun kemari untuk minta poison heart dari Mbah!"
Mbah Bija memperhatikan sekeliling. Dia melihat sekitarnya kosong. Maka dia mengizinkan Anggun dan teman-temannya untuk masuk.
"Ikut aku ke dalam. Dan bicara di sana."
Keadaan di dalam rumah jauh lebih buruk dari keadaan di luar rumah. Dimana, jika perkarangan rumah bahkan kacau akibat tidak dirawat. Semua tanaman layu. Sampah berserakan dimana-mana. Rumput liar menjulang lebih tinggi dari biasanya. Serta tiang-tiang berkarat memenuhi tempat-tempat tertentu di area perkarangan.
Isi dalam rumah ternyata tak jauh berbeda. Suasana sangat gelap. Meski tak seberdebu yang mereka bayangkan. Kain-kain hitam yang entah sedang berusaha menutupi apa, membuat perasaan tak nyaman menyelimuti siapapun yang melewatinya.
Bisikan Winda menyuarakan isi hatinya.
"Anggun! Aku tahu kamu pemberani. Tapi apa-apaan tempat ini? Kamu serius mau cari bantuan di tempat begini?" Dia bukan seorang pemberani meski tubuhnya paling besar di antara dua temannya. Tapi, jika nanti dia disuruh untuk maju menghadapi lawan demi melindungi temannya. Winda pasti akan memilih menyelamatkan dirinya lebih dulu.
Anggun mengabaikan Winda. Dia terus maju mengikuti Mbah Bija. Winda dan Maia mau tak mau mengikutinya dari belakang dengan kecemasan tertinggi.
"Sebelum aku memberikan ramuannya. Apa imbalan yang kamu bersedia berikan padaku?"
Anggun mengeluarkan kantong uangnya, "Ini aku harap sesuai dengan harapan Mbah."
Mbah Bija meraih kantong kain tersebut dan menghitungnya.
"Itu adalah uang hasil turnamen game online. Aku mengumpulkannya susah payah selama lebih dari setengah tahun. Jadi aku yakin uang itu lebih dari cukup. Tapi tentang khasiat obatnya. Apa Mbah yakin akan mujarab? Kurang lebih dua bulan? Apa itu benar?"
Mbah Bija yang sudah terlalu senang menghitung uang, mengangguk dengan semangat.
"Tentu. Tentu. Tak ada yang tidak bisa Mbah Bija racik. Harga setimpal. Maka ramuan ini menjadi milikmu, gadis cilik!"
Anggun, Winda dan Maia menatap ramuan itu dengan tatapan kosong. Dua diantara mereka tak menemukan adanya hal spesial pada ramuan tersebut.
***
Anggun, Winda dan Maia kembali ke rumah Anggun dengan membawa poison berbahaya itu di tangan Anggun. Maia masih berjuang menyuarakan kekhawatirannya yang memiliki basis kuat
"Apa yang mau kamu lakukan sama ramuan aneh itu? Kamu serius akan memberikan ramuan itu pada Kak Rangga? Gimana kalau dia sampai kenapa-kenapa? Apa kamu sama sekali tidak takut jika dia sampai kenapa-kenapa?"
Ini sudah kedua kalinya Maia bertanya dengan sangat serius. Dan jawaban yang dia harapkan tak kunjung didapat.
"Aku percaya pada dukun itu. Karena itu, kamu juga harus percaya padaku. Semuanya akan baik-baik saja. Jadi jangn cemas. Dan bantu saja aku mengingat bagaimana aturan pakainya? Selama kita mengikuti arahannya. Aku percaya, semuanya pasti baik-baik saja."
Maia mendengus masam. Anggun menambahkan keyakinannya.
"Aku sering 'koq beberapa kali kumpul bersama ibu-ibu arisan di komplek sini. Katanya, ramuan dari Mbah Bija itu selalu mujarab. Jadi tidak heran dia mulai terkenal meski adalah penghuni baru di komplek kami."
Winda mengikuti kecemasan Maia.
"Tapi, Gun. Ini bisa disebut sebagai kejahatan kriminal kalau sampai ketahuan dan tertangkap! Karena itu, aku tidak mau, ah ikut-ikutan. Seram!"
"Winda! Tadi katamu, kamu mau awasin aku supaya tidak bertingkah. Tapi 'koq sekarang jadi ragu?"
"Ini bukan masalah ragu atau tidak, Gun." tegas Winda.
"Ini masalah hidup dan mati. Kalau terjadi hal buruk pada Rangga saat poison aneh itu masuk ke perutnya, bagaimana? Kamu berani bertanggung jawab? Kalau aku sama Mai, pastinya tidak! Bertanggung jawab sama diri sendiri saja kita masih belum benar. Bagaimana kita masih beranggapan bahwa kita bisa bertanggungjawab terhadap orang lain?"
"Iya, ih, Gun. Maia takut. Bagaimana jika sekalipun ini benar mujarab, ada efek samping yang bisa muncul?"
Winda dan Maia tidak tahu bagaimana cerita lengkapnya, sampai Anggun terpikirkan untuk mencuci otak Rangga. Mereka berpikir Anggun selama ini masih dapat berpikir waras. Namun ternyata, pikiran mereka selama ini ternyata terlalu naif.
Anggun dibutakan oleh pikiran nakalnya.
"Ya, sudah jika kalian inginnya begitu. Biar aku yang kerjakan semua. Kalian kalau mau nonton, silahkan. Jika tidak, juga tidak masalah."
Winda dan Maia menelan ludah. Mereka menyerah untuk membujuk. Anggun dengan percaya diri dan bahagia, menyimpan poison heart miliknya ke dalam laci kedua meja belajarnya.
***