Bibi Daisy menambahkan berceloteh panjang lebarnya.
"Bibi heran dengan anak-anak zaman sekarang. Mereka selalu menganggap kencan itu penting sekali. Memang sih mereka pasti bosan jika harus terus belajar, mengerjakan tugas dan ikut ekstrakulikuler sana sini. Tapi, kalau sampai harus marah besar karena masalah kencan. Bagaimana ya, non Gun. Bibi jadi kasihan sama Nak Rangga."
"Dia pasti bukan bermaksud untuk perang mulut dengan Nak Mila. Tapi karena sudah terlanjur begini. Bibi sebagai orang dewasa bingung mau membela siapa."
Anggun tak menemukan satupun siswa lain berkumpul di kantin. Keadaan kantin sangat sepi. Hanya ada beberapa penjual dan mereka bertiga sebagai siswa. Rangga berdiri di samping meja. Mila masih menjaga jarak darinya. Hingga raut wajah kesal dan serba salah Rangga membuat Anggun seolah ingin berteriak.
Ya ampun, My baby senior. Kenapa marah pun dia terlihat tampan?
Aduh, kalau begini terus. Bagaimana Anggun bisa tidak banyak berharap pada My baby senior?
Anggun menepuk pelan pipinya.
"Sadar, Anggun! Bukan saatnya buat kelepek-kelepek!"
Suara marah Mila terdengar lagi.
"Aku tidak ingin tahu apapun lagi! Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau. Maka, aku pun bebas melakukan apapun yang kamu mau."
Tatapan Mila tak sengaja bertemu dengan Anggun. Ketika gadis itu hendak beranjak pergi. Dia menunduk dalam. Anggun bisa melihat kekecewaan dan kesedihan teramat besar berusaha disembunyikan oleh Mila dengan sekuat tenaga.
Kini tatapan Anggun tidak sengaja bertemu dengan Rangga. Mereka berdua sama-sama diam. Meskipun Anggun sengaja berdiri di samping Bibi Daisy yang berdiri cemas di kios-nya agar tidak ketahuan sedang menguping.
Keberadaannya akhirnya disadari juga oleh Rangga yang menjadi diam seribu bahasa tanpa tahu apa yang harus dia katakan lagi.
Anggun yang bukan bermaksud untuk senang di atas penderitaan orang lain. Dia sulit membohongi diri sendiri bahwa dia sebetulnya merasa lega. Harapan yang sudah dia tunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang dengan sendirinya.
Anggun merongoh kantung bajunya, "Aku lupa bayar jajanan saat istirahat ke Bibi Daisy."
Rangga hanya tersenyum miris menanggapi pembelaan Anggun. Dia pergi tanpa menegur. Anggun menatap punggung Rangga yang menjauh dengan tatapan sedih sekaligus kecewa.
"Kak Rangga sepertinya terpukul sekali. Apa dia harus begitu terluka akibat perkataan Kak Mila?"
Tangan Bibi Daisy mengetuk pelan kepala Anggun.
"Kenapa kamu masih berdiri di sini? Kamu 'kan sudah bolos jam pelajaran pertama hari ini. Tapi kamu masih ingin juga bolos pelajaran ke-empat?"
Anggun menyeringai.
Dia sadar kali ini dia tak bisa mencari perlindungan dari Bibi kantin. Meski Bibi Daisy sudah sering melaporkan tindakan nakalnya pada ketua kelas. Yaitu, Aluna.
Anggun terpaksa mendesah panjang untuk menenangkan diri.
"Baik-baik. Anggun masuk kelas sekarang. Tapi jangan salahkan Anggun. Jika Anggun pinjam nama Bibi Daisy untuk berdalih di depan Bu Hera."
Bibi Daisy menggeleng lemah.
"Kamu lagi-lagi menggunakan nama bibi sebagai tameng?"
Bibi Daisy berdecak. Dia membiarkan Anggun pergi. Dia pun kembali sibuk di kiosnya.
***
Anggun menatap langit-langit ruang tamunya ketika sedang berpikir keras.
"Hei! Sepertinya masalah antara Kak Rangga dan Kak Mila serius sekali, deh! Dengar tidak kata anak-anak kelas sebelah barusan? Mereka diam-diam-an saat rapat OSIS."
"Selama beberapa hari belakangan ini mereka juga pisah jalan saat pulang sekolah. Mereka tidak pulang bareng. Mereka juga jarang terlihat bersama selain untuk urusan OSIS."
Maia membuka matanya yang lelah akibat harus mengerjakan tugas kelompok bersama setelah pulang sekolah. Rasa kantuk tak berhenti menyerangnya bagai serangan badai. Namun, Anggun lagi-lagi harus membicarakan sesuatu yang membosankan baginya.
"Kamu bicara soal Kak Rangga? Si Ketua OSIS yang super ramah dan kelewat rajin itu?" Maia mendesah tanpa minat.
"Oh, ayolah Anggun. Jangan memikirkan dia terus! Cowok di sekolah kita 'kan ada banyak. Tapi kenapa mata, telinga dan hatimu hanya tertuju padanya?? Kamu sudah kehabisan stok laki-laki?"
Anggun menyentuh pundak Maia setelah berpikir keras.
"Aku punya ide cemerlang. Dan aku harap kamu bersedia membantuku!"
Maia mendorong tangan Anggun agar menjauh darinya.
"Ogah! Jangan lakukan hal apapun. Dan jangan melibatkan ide mainstream-mu! Aku menolak untuk bekerja sama!"
Anggun kemudian menoleh pada Winda. Mereka berada dalam satu kelompok tugas yang sama. Hari ini, mereka berdua berkumpul bersama di rumah Anggun.
"Jika begitu, bagaimana denganmu?" Anggun memperlihatkan tatapan berharapnya. Winda buru-buru menggeleng.
"Aku sibuk. Aku tak mau ditarik masuk ke dalam jurang. Aku juga tak bersedia bekerja sama denganmu untuk urusan di luar pelajaran atau tugas sekolah!"
Anggun menggelembungkan pipinya. Dia juga melipat tangan.
"Kalian ini, ya! Tidak punya solidaritas pertemanan sama sekali! Masa tidak ada yang bersedia membantu?" keluhnya.
Winda terkekeh garing.
"Siapa yang bersedia membantumu. Jika hal terakhir yang kamu lakukan adalah menjerumuskan kami dalam masalah besar. Kami bahkan harus menulis kalimat penyesalan selama berlembar-lembar akibat ulahmu!"
Anggun merenungkan masa lalu mereka.
"Apa terlibat denganku berakibat seburuk itu? "
Winda dan Maia kompak mengangguk.
"Jadi jangan libatkan kami. Karena kami takut resiko!"
Anggun merajuk, "Oh ayolah jangan begitu. Kali ini saja. Bantu aku, ya. Hanya pergi menemaniku ke suatu tempat saja, koq. Aku janji tidak akan menyeret kalian dalam masalah!"
Anggun membuat ikrar di jari tangannya. Winda dan Maia menggaruk-garuk kepalanya.
"Ini bukan hanya karena kami tak bersedia terlibat masalah, Gun. Tapi kami takut pada ide-idemu yang mungkin saja berbahaya."
Anggun mengapit lengan Maia, "Oh, ayolah! Maia yang imut. Jangan begitu padaku. Aku percaya kalian berdua sangat setia kawan!"
Luna menutup buku tebal yang sudah dibacanya dengan super serius sebelum dia mengakhirinya.
"Aku yakin solusimu hanya satu."
Awalnya, Luna diam dan belum menyuarakan pendapatnya. Semata-mata karena sedang terlalu fokus membaca. Namun setelah kegiatannya itu selesai, dia merasa perlu mengatakan sesuatu untuk menyadarkan Anggun.
"Bagaimana jika kamu mengurangi intensitasmu bertemu dengan Kak Rangga? Aku yakin hal itu akan banyak membantu. Lalu, sebisa mungkin larang kakakmu untuk mengundangnya ke rumah!"
Anggun menutup mulut Luna dengan tangannya.
"Hei! Bicara jangan keras-keras! Kamu 'kan sudah lihat kalau Kak Rangga masih ada di dalam kamar Kak Sonny. Kamu mau buat suasana awkward diantara kami?"
Luna menyingkirkan tangan Anggun dengan ekspresi tak suka.
"Aku hanya bicara berdasarkan fakta dan analisaku. Aku percaya Maia dan Winda akan sependapat denganku."
Maia dan Winda memperlihatkan tatapan setuju. Anggun tak suka menghadapi kenyataan pahit tersebut.
"Tidak bisa!"
"Aku baru saja bertemu dengan seorang paranormal. Dia cukup terkenal di komplek ini. Jadi aku berharap salah satu dari kalian bersedia menemaniku."
Luna, Maia dan Winda terbelalak. Mereka bertiga kompak beranggapan bahwa mereka sudah salah dengar. Namun itu jelas tidak mungkin.
***