"Namamu Badai 'kan?" sebut Anggun yakin sambil menyoroti wajah Badai yang mungil meski memiliki rahang yang cukup tegas dan dagu yang lancip. Entahlah. Mungkin karena poni tebal Badai menutupi seluruh dahinya. Wajah Badai semakin terlihat mengecil. Anggun mengaku salah meski dia tak tampak merasa bersalah.
"Sorry. Tadi aku sempat nanya-nanya tentangmu ke anak-anak lain. Mereka bilang, kita teman sekelas. Aku, Anggun. Dan dengan ini kita impas. Aku sudah tahu namamu. Dan begitu juga sebaliknya."
Badai mendorong Anggun ke samping dan berdiri tegak.
"Ya. Seperti katamu. Kita teman sekelas. Jadi wajar jika kita saling tahu nama."
Dan itu berarti, Badai tak cukup menarik bagi Anggun. Sehingga Anggun baru mencari tahu namanya setelah sekian lama mereka telah menjadi teman sekelas dalam kurun waktu beberapa bulan.
"Tapi karena sepertinya urusanmu sudah selesai. Aku harus kembali ke kelas sebelum bel tanda masuk berbunyi."
Anggun memperhatikan postur tubuh tinggi Badai yang semakin menjauh. Jika diukur-ukur, mungkin tinggi Badai tidak berbeda jauh dengan Rangga. Hanya saja, nasib, kepopuleran dan peruntungan mereka berbeda.
Anggun menepuk keningnya yang terlalu bodoh.
"Oh, astaga! Aku belum selesai bicara dengannya. Tapi dia sudah mengacuhkanku dengan begitu sempurna?! Wahhh!!!" Anggun meniup poni panjangnya yang jatuh sembarangan mengenai wajahnya. Dia berjalan pergi meninggalkan meja kantin bekas Badai gunakan.
Dia putuskan untuk memaafkan laki-laki aneh itu kali ini.
***
Namun, Anggun masih saja cemberut ketika duduk di kursinya. Dia menolak untuk melirik ke arah Badai. Meskipun dia masih berharap bisa menciptakan masalah dengannya dan menyampaikan uneg-uneg. Winda justru salah mengartikan suasana hati Anggun yang buruk. Gadis bertubuh sedikit gempal itu menepuk pundak Anggun.
"Ada apa denganmu? Apakah kamu masih memikirkan Kak Ranggamu yang sudah menjadi milik orang lain sejak lama?" tanya Winda penuh selidik. Dia melanjutkan argumennya, "Mereka sudah berpacaran bahkan sebelum kamu menyukainya. Jadi, kenapa kamu masih mengharapkan pria itu berpaling dari pacarnya?"
Luna membocorkan sedikit informasi yang tak sengaja dia dengar dari narasumber terpercaya.
"Guys, aku baru saja dapat kabar menarik dari ibu kantin. Katanya Kak Rangga dan Mila sedang bertengkar hebat di kantin, saat ini."
Anggun duduk tegak. Dia menyesali keputusannya untuk kembali ke kelas lebih awal. Padahal bisa saja dia mendapatkan tontonan menarik. Dia berdiri garang kemudian merebut ponsel Luna untuk melihat buktinya secara langsung.
Mata Winda membulat.
"Oh, my god! Mereka benaran bertengkar? Kenapa? Dan ada masalah apa?"
Luna mengangkat kedua bahunya.
"Entah. Belum ada informasi tambahan. Ibu kantin juga sepertinya tidak tahu jelas apa masalah mereka."
Maia ikut berkomentar setelah sempat menyimak, "Aku yakin masalah mereka serius."
Blak!
Anggun memukul meja. Dia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dia lalu menerjang keluar kelas sambil berlari menuju ke kantin. Mengabaikan bunyi bell yang terus berdenting. Anggun sengaja menciptakan langkah lebar agar cepat sampai.
Winda terlihat kewalahan.
"Ya, ampun! Anggun! Gila apa dia? Sebentar lagi guru BP datang. Tapi dia malah pergi begitu saja setelah mendengar gosip tentang ketua OSIS?"
Kesabaran kadang ada batasnya. Namun apakah akibat kefanatikan Anggun, mereka harus menyaksikan kembali Anggun berurusan dengan para guru?
Luna dan Maia saling tatap. Mereka kompak mendesah panjang. Maia akhirnya menepuk lengan Winda.
"Abaikan dia. Dan aku yakin dia sudah tak waras. Jadi, percuma saja kamu meladeninya."
Luna berdiri dan memberi aba-aba pada teman-temannya sekelasnya untuk memberi salam pada guru BP yang sudah berjalan masuk ke depan kelas mereka.
***
Anggun sampai di tempat tujuan dengan napas tersengal-sengal. Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengejar kesempatan. Suara piring jatuh, mengejutkannya. Suaranya cukup kencang. Namun ternyata, bukan karena sebuah kesengajaan piring itu bisa jatuh. Melainkan akibat tangan Mila yang licin dan geram.
"Kenapa kamu terus begitu? Sudah kubilang bukan bahwa kamu tak perlu mengurus segala sesuatunya sendiri? Kamu juga punya anggota OSIS lain. Tapi kenapa? Kenapa kamu harus selalu bekerja lebih keras dibandingkan mereka?"
"Lalu, aku juga tidak suka jika kamu lagi-lagi harus membatalkan janji kita di akhir pekan. Itu adalah perayaan hari jadi kita. Tapi kamu masih juga, ingin mengundurnya?"
Suara Mila bergetar. Dia terlihat sangat marah. Ini adalah pertama kalinya Anggun melihat Mila semarah itu.
Namun, bukannya terlihat khawatir atau mencemaskan banyak hal tentang mereka berdua. Mata Anggun justru berubah cerah. Bahkan cahaya terang dari sinar matanya belum pernah secerah ini semenjak dia mengetahui bahwa Rangga dan Mila telah berpacaran lebih dulu sebelum dia mengenal Rangga.
Ini bisa dianggap sebagai sebuah momentum yang perlu diabadikan. Seolah-olah doa Anggun selama setahun ini telah dijawab.
Hingga keputusan untuk mengawasi adalah solusi terbaik untuk harus Anggun lakukan saat ini. Dan Meskipun nanti dia akan mendapat teguran keras dari Bu Hera, guru BP-nya yang tergolong tegas jika sudah menetapkan kedisiplinan.
Anggun mencubit pelan lengan kirinya demi sebuah kepastian.
"Aw! Sakit! Ini bukan mimpi. Dan ini adalah anugerah terindah!"
Bibi Daisy, sang penjaga kantin sekaligus penjual nasi tim, menepuk pundak Anggun sembari menatapnya heran.
"Anggun. Kenapa kamu ada di sini? Bukannya ini sudah lewat dari jam istirahat? Apa kamu lagi-lagi membolos kelas?"
Anggun tersenyum kikuk. Sepertinya predikat bolosnya sudah sangat terkenal. Sampai-sampai Bibi Daisy juga menatap ketus ke arahnya.
"Bibi Dai! Mereka kenapa? Mereka berantem karena masalah OSIS?"
Bibi Daisy mengangkat kedua bahunya dan menggerutkan bibir.
"Bibi juga tidak tahu, Non. Mereka tahu-tahu sudah begitu saat bibi baru memperhatikan mereka. Tapi mungkin, begitu. Mungkin juga, tidak. Tapi yang pasti mereka ribut karena Nak Rangga lagi-lagi membatalkan janji kencan mereka."
***