"Ya. Itu benar. Karena jika seandainya kamu bukan unggulan SMA Pelita. Kamu pasti sudah didepak keluar. Menerima hukuman berdiri dengan satu kaki dan tangan dijewer di depan pintu kelas sampai jam pelajaran sekolah berakhir."
"Lalu, jika dihitung dari berapa banyak kamu sudah terlambat dan beralasan untuk bolos. Pihak sekolah pasti akan memanggil kedua orangtuamu kemari tanpa negosiasi. Dan memberikan peringatan tegas! Memberikan ultimatum, sangsi berat, serta denda jika mereka menginginkannya."
Anggun berucap sinis, "Hei, Lun! Apa kamu sebetulnya punya dendam kesumat padaku? Kenapa ucapanmu seperti mengandung kebencian yang mendalam?"
Luna tetap mempertahankan ekspresi datarnya di balik kacamata bulat yang melingkar manis di wajahnya yang oval.
"Aku hanya mengungkapkan fakta. Bukan kebencian. Tapi jika kamu ingin berburuk sangka padaku. Aku akan mengizinkannya."
Anggun terkekeh menghadapi sikap kaku Luna. Dia menganjungkan dua jarinya di sampingnya dan melebarkan senyum bangganya dengan ceria.
"Jika kalian iri padaku. Silahkan saja berusaha untuk menjadi anak unggulan! Agar kalian bisa mendapatkan hak istimewa sepertiku!"
Winda menekuk wajahnya dan tampak letih.
"Aku mungkin sudah menjadi yang paling bodoh diantara kalian dan murid-murid lain di kelas ini. Tapi, aku adalah terbaik dari anak-anak kelas lain."
Winda tak berbohong. Dia memang bisa masuk ke kelas S karena tingkat kecerdasan akademiknya yang berada di atas rata-rata. Sekolah ini selalu membedakan setiap anak didik mereka berdasarkan nilai akademik mereka. Lalu, kelas S adalah yang terbaik di antara setiap angkatannya.
Desahan panjang namun samar, terdengar cukup jelas dari arah belakang Anggun. Mendorongnya sontak menoleh dan terkejut saat melihat seorang laki-laki sepertinya sedang meremehkan keberadaan mereka. Atau mungkin, dirinya.
Maia yang tidak menyadari tindakan secuil tu, menepuk pundak Anggun.
"Kamu tak ingin ke kantin? Kamu sudah kenyang? Jadi memilih untuk tidur di kelas?" tanya Anggun penuh praduga.
Sosok laki-laki yang baru saja tertawa di bangku belakang menghilang. Laki-laki itu tahu-tahu sudah berjalan ke ambang pintu dan menghilang di balik tembok. Anggun terpaksa menyikut lengan Maia.
"Siapa dia?" tanya Anggun penasaran. Dan harus mencari tahu.
Maia, Winda dan Luna gagal menemukan siapa yang Anggun maksudkan.
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Maia yang masih menunggu Anggun beranjak dari kursinya. Luna dan Winda juga sedang bersiap-siap.
"Teman sekelas kita yang baru saja keluar. Kalian tahu siapa dia?" Anggun menjelaskan lebih lengkap, "Itu, loh! Laki-laki tinggi, cupu, pakai kacamata tebal bingkai bentuk kotak warna hitam. Dan, laki-laki yang pakai seragam dengan kancing sampai atas! Kalian tahu siapa dia?"
Maia, Winda dan Luna saling pandang.
"Badai maksudmu?"
Anggun mengerjap.
"Badai? Puting beliung? Topan?" ucapnya asal. Dia tidak tahu kalau dia punya teman sekelas bernama Badai.
Luna mau tak mau melengkapi pernyataannya, "Namanya, Badai. Badai Daneswara."
Winda mengernyit, "Teman sekelas sendiri kamu tidak tahu?" Winda menatap takjub. Anggun merengut kesal.
"Untuk apa aku harus tahu segalanya? Lagipula, aku baru tahu kita punya teman sekelas yang namanya Badai. Siapa tadi? Badai Daneswara? Dia punya keturunan keraton? Dia seorang pangeran? Atau, ibunya terobsesi pada kejayaan?"
Tangan Maia gatal dan ingin sekali mencubit punggung tangan Anggun lagi. Anggun buru-buru menghindar.
"Eit!! Berhenti melukaiku, Mai! Lagipula, apa-apaan dengusan mengejeknya barusan? Aku dengar, loh! Dia mendengus penuh cemooh seperti layaknya menghinaku! Dia bahkan bergumam super halus mengatai kita berisik! Kalian, tidak dengar dan melihatnya? Dia bahkan pergi setelah merasa tidak tahan!"
Luna, Winda, Maia saling pandang. Mereka bertiga diam sejenak. Mereka kemudian terkekeh secara bersamaan.
"Hei! Jangan bercanda deh, Gun! Mana mungkin Badai, cowok paling diam dan cuek, menertawakan kita? Sampai mendengus penuh hinaan, kamu bilang?" Winda yakin sekali Anggun pasti sudah salah paham. Maia mendukung Winda.
"Iya, ah. Mana mungkin, Gun!"
Anggun tetap bersikeras.
"Benar, loh! Buat apa juga aku bohong? Kalian tidak percaya padaku karena aku sudah sering mengelabui kalian? Bahkan guru penyabar itu pun aku kelabui. Kalian jadi meragukan kejujuranku?" Anggun memasang wajah kecewa.
Maia tak mau mengambil pusing perkataan Anggun.
"Ya. Ya. Ya. Kami sudah dengar dan mengerti. Jadi ayo kita ke kantin! Dan jangan banyak alasan! Dia mau sinis, nyindir dari jarak jauh, atau tersenyum super manis penuh cinta ke arah kita. Itu adalah hak-nya. Jadi lebih baik kita jangan mengurusnya dan pergi untuk mengisi perut!"
Anggun terima saja diseret pergi oleh Maia. Dan mengabaikan kecurigaannya. Anggun ternyata masih saja bertahan pada opininya.
Dia duduk dengan tidak manis bercampur gelisah di tempat duduknya saat istirahat makan siang. Wajahnya bertekuk. Instingnya mengatakan bahwa dia tidak mungkin salah menafsirkan sesuatu. Anggun kemudian melirik teman-temannya sambil menunjuk ke satu sisi di dekat mereka.
"Kali ini aku yakin bahwa aku tak mungkin salah. Aku yakin tatapan Badai menjurus tajam ke arah kita."
Winda, Luna dan Maia bergerak pelan untuk menoleh ke arah jarum jam 2 mereka. Terkejut melihat sosok Badai. Anak laki-laki yang baru saja mereka bicarakan di kelas. Tapi kembali ditunjuk-tunjuk oleh Anggun.
Mereka bertiga menjadi kikuk. Lalu menyambut anggukan Badai yang menyadari tatapan menjurus mereka, dan menyapa dalam bentuk isyarat. Badai kembali menunduk dan menikmati makan siangnya seorang diri di salah satu sudut kantin.
Luna yang tak percaya pada tuduhan Anggun, menyentuh kening Anggun untuk melakukan pengecekkan.
"Kamu sakit? Kenapa dari tadi bicaramu melantur terus? Padahal jelas-jelas dari tadi Badai hanya makan dengan tenang dan tidak mengusik kita!"
Anggun tertawa garing.
"Dia bahkan menyapa kita. Saat tatapan kita bertiga tidak sengaja bertemu dengan matanya. Tapi, koq. Kamu masih saja menganggap dia sedang melihat ke arah kita di sini. Apa tidak ada yang salah pada matamu?
Anggun membasahi bibirnya. Tenggorongannya tiba-tiba saja menjadi kering karena putus asa.
"Ya, ampun! Masa dari tadi hanya aku seorang yang menangkap basah dia sudah mencuri lihat ke arah kita, dan menatap sinis? Apa mata kalian tidak dipasang dengan benar? Hem?!"
Winda berdecak kagum.
"Mata kami sudah dipasang, Nona! Dan sama sekali tidak ada yang aneh 'koq sama dia. Dia sedang damai. Tenang. Dan normal!" Winda menambahkan, "Kamu saja mungkin yang sedang terlalu sensitif gara-gara ketahuan banyak berbuat dosa!"
Anggun melempar sorot matanya ke langit-langit. Winda, Maia dan Luna telah kompak meragukan kejujurannya. Anggun terpaksa mengakhiri perdebatan mereka. Dia tak mau membuang percuma energinya untuk masalah sepele. Dia juga tak ingin menjadi pusat perhatian teman-temannya.
Maia memberi isyarat.
"Hei! Hei! Buruan, lihat sebelah sana! Arah jarum jam 9. Ketua OSIS lewat! Kamu tidak mau sapa dia?" tanya Maia bersemangat. Dia sudah yakin Anggun akan senang mendengarnya.
***