Anggun lagi-lagi memamerkan deratan giginya yang putih dan rapih. Dia terkadang kasihan melihat wajah tirus Pak Iswara yang sulit menaikkan berat badannya akibat mudah stres menghadapi tingkah beragam murid-muridnya.
Pak Iswara juga punya tanggung jawab besar sebagai wali kelas. Anggun berharap candaannya mungkin bisa dianggap hal yang dapat menghibur daripada memberi tekanan baru bagu gurunya.
"Eh, Bapak tidak tahu 'toh!!"
Pak Iswara mendesah panjang. Dia memutuskan untuk menyerah. Dia juga menganggap kesalahan ini masih bisa dia toleransi.
"Sudah sana! Duduk ke tempatmu. Dan jangan membuat kepala Bapak seperti komedi putar. Kita akan lanjutkan pelajaran kita tadi! Dan kamu! Jika kamu sekali lagi terlambat saat jam pelajaran saya. Nilaimu akan Bapak beri minus, walau semua jawabanmu adalah benar!"
Anggun mematung.
Dia salah memperkirakan ketegasan Pak Iswara yang bisa mengancam anak muridnya semudah membalik telapak tangan. Atau menghimpun murid untuk mengumpulkan tugas.
Setiap Senin, Rabu dan Jumat. Jam pelajaran sejarah berada di urutan kedua, keempat, dan terakhir! Hem! Itu berarti Anggun hanya harus menjadi waspada pada hari Senin di jam kedua. Karena dua jadwal lain hampir bertepatan dengan jam pulang sekolah. Dia tak mungkin hadir terlambat. Kecuali jika dia sedang absen.
Maia menyenggol Anggun dengan sikutnya. Setelah Anggun sudah duduk di sampingnya dan mengeluarkan barang-barangnya dari dalam tas.
"Hei, bocil (bocah cilik)! Kamu itu, ya! Paling bisa deh buat urat syarat Pak Iswara jadi tegang berkali lipat dan lehernya cenat-cenut tak karuan setiap kali dia mendengar cerita darimu!" Bisikan pelan ini membuat Anggun tersenyum nakal.
"Kamu baru saja dituduh mencopet? Lalu masih sempat-sempatnya menolong seorang nenek untuk menyebrang jalan? Oh, ayolah! Semua orang bisa berpikir bahwa kamu adalah pendusta sinting!"
"Suuittt!!" Anggun mencondongkan bibirnya ke depan sambil menempelkan telunjuknya.
"Jaga rahasia, dong! Jangan buat aku jadi malu. Kamu teman baikku, bukan?"
Maia menggeleng lemah. Dia melanjutkan lagi fokus belajarnya. Anggun tersenyum puas ketika dia berhasil lolos dari hukuman.
***
Bel tanda pelajaran kedua berakhir, telah berbunyi. Waktu istirahat pun kemudian tiba. Winda. Seorang gadis berperangai tomboy, wajah pucat dan bertubuh sedikit gempal. Gadis berambut pendek keriting itu, memukul pundak Anggun dari belakang dengan cukup keras. Hingga membuat Anggun agak terlonjat.
"Hei, putri pinokio dari antah berantah!" Teriaknya cukup keras tanpa mempedulikan tatapan tertarik dari orang lain. Winda melipat tangannya di depan dada. Dia lalu menyandarkan pinggangnya yang kokoh pada sudut meja Anggun.
"Pagi-pagi begini, kamu sudah berbohong besar di depan Pak Wali Kelas tanpa memanjangkan hidungmu. Kamu sudah bosan ada di sekolah? Lalu kamu ternyata juga ingin pensiun dini?"
Anggun terkekeh lebar mendengarkan celotehan Winda. Gadis yang mudah ceplas ceplos, persis seperti ibunya.
"Winda! Aku 'kan sudah bilang. Jangan pukul punggungku dengan tangan kapak-mu itu? Sakit, tahu!! Begini-begini aku cukup kemayu. Jadi tidak bisa sembarang dipukul!" Anggun pura-pura merintih dan mendramatisir lukanya. Winda justru secepat kilat memasang wajah bengis dan mencemooh.
"Hoi! Hoi!! Lihat, nona muda kita satu ini! Setelah dia diadili di depan banyak orang karena sudah dituduh mencopet. Tubuhnya kini jadi lemah!" Winda menyipitkan matanya. Dia mulai berbicara dengan lebih menekan, "Kamu, sudah sangat pintar berakting dan berpura-pura lugu?"
Anggun menetralkan kepedihannya.
Dia tahu tak ada gunanya berpura-pura terluka di depan Winda. Teman sekelasnya selama hampir 4 tahun berturut-turut akibat sebuah keberuntungan dan kemalangan dalam waktu bersamaan. Winda kemudian menoleh acuh pada teman-temannya yang masih tersisa dalam kelas dan belum mencari kantin sekolah untuk mengisi perut mereka.
"Hei, teman-teman! Kalian barusan dengar 'kan, apa yang Anggun sampaikan di depan Bapak malang kita, Pak Iswara? Dia bilang dia baru saja tertimpa sial dan beramal. Jadi, bagaimana kamu bisa menjelaskan hasil foto ini?"
Winda menarik Luna teman sebangkunya ke sisinya. Dia mengabaikan sikap acuh Luna yang terganggu dengan sikap lancang Winda. Luna terpaksa menyingkirkan tangan sok akrab Winda yang menempel nyaman di pundaknya.
Luna, gadis berponi lurus, rambut hitam legam dan terkenal karena kemanisan wajahnya yang bahkan sanggup membuat semut saja menjadi luluh. Gadis itu maju mendekati Anggun dan menolehkan senyum pada wajahnya yang mencoba ramah.
"Aku tahu kamu mudah bosan dan suka mencari perhatian, Gun. Tapi bagaimana bisa kamu berbohong sefasih dan sealami itu? Ketika aku bahkan punya bukti. Kalau kamu baru saja menghabiskan sarapanmu di kantin sebelum masuk kelas."
Anggun terdiam ketika telah terciduk.
Dia menatap kikuk ke arah ponsel Luna. Di sana, dia melihat wajah bulat putih mulusnya sedang menyantap dumpling lezat milik Bibi Kantin. Anggun gagal merebut ponsel Luna untuk menghapus barang bukti.
"Bibi Kantin mengirimkan pesan bergambar ini padaku! Dia menemukan seekor tikus berseragam di kantinnya! Kini, ada gunanya juga aku akrab dengan Bibi Kantin!" kesombongan Luna tak membuat Anggun menganggap bahwa kebohongannya akan menjadi masalah besar.
Anggun mengendurkan ketegangan di pundaknya.
"Baiklah. Aku akan jujur," ungkapnya tenang dan tanpa paksaan.
"Hari ini, aku bangun kesiangan. Ibuku tak mengizinkanku untuk sarapan. Dia lalu mendorongku pergi secepatnya tanpa mengisi perut. Jadi, agar aku tetap bisa konsentrasi selama pelajaran berlangsung. Aku perlu melakukan charging. Aku yakin, tindakanku adalah benar. Meski di beberapa bagian lain ada kekeliruan!"
Maia mencubit lengan Anggun pelan.
"Penuh dusta dan biang keladi! Inikah yang harus kita sebut sebagai kecurangan dan melaporkannya?!"
Anggun bersikap gesit untuk melindungi dirinya.
"Hei! Kalian tidak boleh melakukan hal itu! Tapi, sekalipun kalian melakukannya. Usaha kalian juga akan sia-sia. Karena para guru tak akan membuang waktu mereka untuk hal yang tak berguna! Mereka akan mengabaikan masalah ini. Mereka juga tidak akan menghukumku," Anggun sebetulnya hanya bicara asal. Tapi dia sepertinya yakin bahwa hal itu mungkin memang akan terjadi.
Winda meletakkan lehernya di atas pundak Luna. Seperti semacam serangga atau benda mati. Luna menjauhkan pundaknya dari kepala Winda lalu mengibas-ngibaskan jejaknya.
"Ini curang!" Protes Winda
"Apanya?" Luna mengernyit.
"Semuanya! Terutama, kau!" Winda menunjuk Anggun. Dia juga tersinggung terhadap perlakuan tak bersahabat Luna yang terbiasa bersikap dingin padanya.
"Kamu sudah menghancurkan gagang pintu kelas saat tadi kamu masuk kelas. Kamu juga sudah terlambat 3 jam untuk mengikuti pelajaran. Kamu pikir sekolah ini milik nenek moyangmu. Tapi, Bapak Pilih Kasih itu masih saja meng-anak-emas-kan-mu!?"
Luna menambahkan pernyataan Winda menjadi lebih sadis.
***