Chereads / Cinta Seumur Jagung dan Semanis Gula / Chapter 1 - 001 Anak Perawan

Cinta Seumur Jagung dan Semanis Gula

jessclace
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 27.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 001 Anak Perawan

"Anggun!!!! Bangun!! Lebaran sudah lewat. Tahun baru juga sudah berganti. Tapi kamu sebagai anak perawan. Masih saja tidak bangun-bangun? Coba kamu tengok keluar sekarang! Kamu tidak lihat matahari sudah setinggi atap gedung pencakar langit? Ayam jantan juga sudah berkokok sejak beberapa jam lalu! Tapi kamu masih saja molor??"

Menggeleng tidak percaya.

Mariam, wanita paruh baya dengan gaya khas ibu-ibu rumahan. Mengenakan daster dan roll-an rambut seperti semacam kebiasaan. Wanita itu tidak kunjung menemukan kemiripan antara kepribadiannya dan putri semata wayangnya, Anggun.

Entah gadis belia itu menyerupai sifat siapa.

Selama ini, Mariam selalu bangun pagi dan tidur malam tepat waktu. Dia tidak akan pernah bergadang atau membiarkan dirinya bangun kesiangan. Kecuali tentu saja jika dia sedang sakit parah atau linu hebat.

Baskoro, suaminya, pun tidak pernah terlambat pergi bekerja. Dia termasuk karyawan teladan di kantornya. Maka sebetulnya darimana putri nakalnya ini bisa mewarisi sifat semena-menanya itu? Padahal kedua orangtuanya punya kedisiplinan tinggi jika menyangkut soal waktu.

Mariam terpaksa mengulang perkataannya.

"Anggun!! Bangun!! Kamu sudah tidak mau sekolah lagi? Jika begitu, biar ibu katakan pada ayahmu untuk melapor pada kepsek agar mereka mencabut izin sekolahmu!"

Mariam masuk ke dalam kamar putrinya. Dia menyibak selimut tebal yang terus menutupi tubuh putrinya yang pemalas. Dia juga menarik ke samping tirai samping meja tempat tidurnya. Lalu, membiarkan sinar matahari masuk menyinari seluruh ruangan. Dan menyadarkan putrinya bahwa hari sudah semakin siang.

Silau matahari yang sukses menerobos masuk, memaksa Anggun mengernyit hebat.

"Ibu!!"

"Kenapa sih ibu harus bangunin Anggun dengan acara begini? 'Kan jadi silau!!" gerutu Anggun kesal karena dia masih sangat mengantuk. Namun sinar matahari menerpa wajahnya, menghancurkan seluruh mimpi indah yang dia dapat sejak semalam.

Mariam yang masih terpakai sedikit gempal meski mengenakan pakaian yang longgar, berdecak

"Yehh. Ini anak! Bukannya bangun. Malah mendumel! Bangun, tidak? Kalau tidak, ibu siram nih! Bukan pakai air bak mandi! Tapi, pakai air selokan yang ibu ambil dari selokan di depan rumah!"

Mariam punya kebiasaan bicara ceplas ceplos. Dia sama sekali tak perduli jika dia terpaksa harus membuktikan ancamannya. Perlahan namun pasti, Anggun membuka matanya lebar-lebar sembari menguap. Dia duduk lemas di atas kasurnya. Rambutnya pun tengah berantakan dan wajahnya berubah masam.

"Ibu serius ingin menyiram Anggun dengan air selokan! Kak Sonny yang pernah bangun siang saja, ibu nggak pernah melakukan itu! Kenapa terhadap Anggun, ibu berlaku kejam? Apa mungkin ibu sebenarnya adalah ibu tiri Anggun? Ibu bukan ibu yang sudah melahirkan Anggun? Ibu mungkin juga adalah ibu angkat Anggun?"

Mariam menggeleng tak percaya menghadapi penyangkalan Anggun. Mariam sontak mendorong Anggun hingga terjatuh dengan satu kakinya.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan pagi-pagi begini, hah? Kamu dan abangmu jelas berbeda! Abangmu bangun siang itu cuma satu kali seumur hidupnya. Lah, kamu! Bangun siang itu seumur hidup! Jadi bagaimana ibu bisa memperlakukan kalian sama?! Padahal kamu yang harus lebih diperhatikan!!"

Mariam kembali menambahkan jawabannya atas status ibu dan anak yang mereka miliki.

"Ibu juga sudah ratusan kali menunjukkan akte kelahiranmu sebagai bukti. Ibu bahkan sampai memperlihatkan video persalinan ibu di rumah sakit saat menggendongmu. Tapi, kamu masih juga bicara ngolor-ngidul tanpa kecerdasan?!"

Anggun mengusap bokongnya yang jatuh mulus mencium lantai. Padahal dia hanya sekedar menyuarakan pendapat dan kecurigaannya. Lalu, dia masih yakin ada kesalahan pada bukti-bukti yang ibunya berikan.

Mata Anggun terbelalak lebar saat melihat jam wekernya sudah pukul tujuh lewat.

"Oh, ya ampun. 17.15? Oh, tidak. Kenapa ibu baru membangunkan Anggun jam segini?"

Mariam tergoda untuk menjitak kepala putrinya. Namun Anggun sudah menyelinap pergi ke depan lemari pakaiannya. Mengambil seragam dan handuk.

"Hari ini tak ada sarapan atau bekal untukmu! Kamu harus berangkat sekolah setelah mandi dan menenteng tasmu. Uang jajan juga jangan harap akan ibu berikan!!"

Anggun merengut sedih mendengar ultimatum yang mengertikan itu. Dia melengos pergi tanpa membantah atau mencari pembelaan. Mariam mendesah panjang menghadapi kelakuan Anggun yang belum pernah berubah.

***

Tok Tok Tok.

Anggun masuk ke dalam kelasnya sambil menunduk. Dia terkejut saat tanpa sengaja menghancurkan gagang pintu kelasnya yang semula baik-baik saja. Dia mungkin terlalu bersemangat. Namun dia masih saja percaya bahwa dia tak mungkin sekuat itu sampai bisa menghancurkan gagang pintu.

Anggun berpura-pura tidak terjadi apapun. Di berjalan masuk ke dalam kelas sambil mengulas senyum tipis untuk menyapa gurunya. Anggun merasakan puluhan pasang mata membidiknya. Menantikannya membuka mulut dan beralasan.

"Maaf, Pak. Saya telat."

Sebuah tatapan tajam mengarah padanya.

"Telat. Telat. Bagaimana bisa jam segini kamu sebut sebagai telat? Kamu tidak lihat sekarang jam berapa? Sudah lupa pukul berapa bel masuk sekolah berbunyi?" Pak Iswara, Guru Sejarah Anggun yang sudah mengajar hingga puluhan tahun, menoleh ke arah Anggun dan berdecak.

"Jam pelajaran kedua sudah hampir habis. Itu berarti, kamu sengaja masuk ke sekolah ini hanya untuk hadir saat jam makan siang. Jika begitu, kenapa tidak sekalian saja kamu tidak usah masuk sekolah?! Kamu bisa makan sepuasnya di rumah. Ibumu juga pasti telah menyiapkan makanan super enak untukmu."

Anggun ingat kembali pada ancaman ibunya yang tega membiarkannya kelaparan akibat marah dan ingin menghukum Anggun.

"Tadi saya berencana begitu, Pak." ucap Anggun jujur dan lirih. Dia menelan ludah. Dia buru-buru mengoreksi perkataannya. Setelah melihat alis Pak Iswara menukik tajam.

"Eh, maksudnya. Begini loh, Pak! Tadi di jalan, saya tersandung masalah. Saya hampir dikira tukang copet, Pak! Lantaran si tukang copet ini menyembunyikan dompet hasil curiannya di dalam tas saya."

"Bapak 'kan tahu saya punya kebiasaan lupa seleting tas punggung saya. Alhasil, saya diadili di depan umum oleh mereka. Untung saja, ada saksi mata yang lihat, Pak! Kalau tidak. Saya bisa celaka! Serba salah saya bisa digiring ke kantor polisi. Nama saya tercemar. Lalu, urusannya bisa bertambah runyam!"

"Belum lagi masalah genting saya setelahnya. Saya ketahan sama Mang Dadang, satpam sekolah kita, Pak! Beliau tidak mengizinkan saya masuk. Padahal saya sudah mohon-mohon untuk diberi kesempatan. Alhasil, saya ketahan selama setengah jam di pos jaga. Dan sebelumnya, saya sempat lupa jalan menuju ke sekolah. Akibat panik setelah dituduh mencopet oleh orang-orang menyeramkan tadi, Pak! Lalu, sepertinya tadi saya sempat menolong nenek menyebrang deh, Pak. Gara-gara saya terlalu linglung. Jadi begitulah alasannya kenapa waktu saya terbuang banyak untuk bisa mencapai kelas."

Guru sejarah Anggun, Pak Iswara sontak terperangah. Dia tidak tahu cerita mana yang harus dia bayangkan lebih dulu. Karena kronologi kejadian yang Anggun ceritakan begitu semraut dan tumpang tindih.

Pak Iswara mengernyit hebat.

"Jadi, kisahmu pagi ini sangat beragam?! Kamu seolah sedang mendongeng. Atau mungkin juga sedang mempresentasikan karya ilmiahmu!"

Anggun nyengir lebar.

"Memang terlihat begitu, Pak?" tanya Anggun sok polos.

Pak Iswara menahan keinginan besarnya untuk melampiaskan kemarahannya. Dia mengulas senyum tipis. Dia biasanya lebih banyak bicara baik-baik daripada marah-marah secara berlebihan.

"Lalu, darimana Bapak bisa tahu tentang kebiasaan burukmu yang jarang menyeleting tas punggungmu itu? Apa Bapak juga harus sampai memberikan perhatian lebih untuk hal itu?"

***