Sirene mobil polisi dan ambulans bergabung membentuk sebuah paduan suara ketegangan bagi yang mendengarnya, kedua transportasi khusus tersebut berada di kerumunan banyak orang yang ada di jembatan Forexcis. Sebuah kecelakaan baru terjadi, pengendara motor besar terjatuh ke sungai bersamaan dengan motornya setelah ditabrak truk. Sebelum terjatuh diperkirakan motor hancur karena terseret sepanjang dua puluh meter hingga body luar motor terlepas hancur, puing-puingnya berserakan di atas aspal yang basah karena kondisi hujan.
Sekarang hujan yang deras menepi meninggalkan rintikan kecil, Lunara Ashika gadis usia 17 tahun berjalan dibawah payung biru muda. Tangan kananya memegang payung dan kiri menenteng plastik kecil berwarna hitam yang berisikan makanan dari warung. Gadis yang biasa di sapa Luna itu memiliki kulit berwarna putih kekusaman, mata indah berbinar, dan rambutnya panjang berwarna hitam kekuningan. Dia sering ke sekolah dengan gaya rambut di ikat sedikit di bagian atas, kebiasaan itu dia bawa sejak masih sekolah dasar. Gaya rambutnya agak seperti Barbie dalam film Princess Charm School.
Melihat kerumunan di jembatan dia memberhentikan langkah, pandangan jauh dilayangkan keseberang jalan. Pertanyaan dia lempar kepada seorang pria paruh baya berambut ikal.
"Apa yang terjadi, Pak?"
"Baru saja terjadi kecelakaan. Seorang pemuda ditabrak truk hingga jatuh ke sungai. Untungnya dia bisa di temukan, padahal air sungai deras karena hujan."
"Terima kasih, Pak."
Gadis itu sejenak terdiam, dia melihat petugas berbaju orange para tim SAR memasukkan korban yang dinyatakan masih hidup masuk ke ambulans. Dia kembali melanjutkan perjalanan maju, dia memasuki sebuah kompleks perumahan yang cukup bersih. Salah satu rumah yang ada di sana adalah rumahnya. Rumahnya sederhana, tidak kecil dan tidak besar, cat rumah berwarna krim, dengan pintu berwarna putih, dan terdapat pagar yang tingginya hanya 2 meter yang memberi limit dengan tetangga. Aura kebersihan bisa dirasakan, bahkan halaman rumah tidak ada satu pun sampah.
"Baru saja terjadi kecelakaan yang dahsyat di jembatan Forexcis. Sebuah mobil truk menabrak motor besar hingga masuk ke sungai. Pengendaranya adalah seorang anak pengusaha ternama di tanah air, yaitu anak mendiang Syam Zein Walandra."
Beberapa media televisi memberitakan mengenai kecelakaan tersebut, salah satunya siaran televisi yang ditonton oleh kedua orang tua Luna saat ini.
"Warung banyak yang tutup karena hujan. Luna membeli makanan di warung yang ada di seberang jembatan Forexcis."
Luna meletakkan plastik tersebut ke atas meja,dia beralih duduk di lantai di atas tikar dengan kedua orang tuanya yang duduk diatas masih fokus melihat berita. Dia mengabaikannya, segera dia membereskan buku masuk ke dalam tas. Kemudian, dia berlanjut ke kamar.
"Di warung mana kamu membelinya?"
Tiwi Ibunya bertanya ketika dia sudah membuka pintu kamar.
"Berarti kamu melihat kejadian di jembatan itu."
Arya yang merupakan Ayahnya ikut ambil adil untuk berbicara.
"Iya."
Luna masuk ke kamar, dia mematikan lampu meninggalkan keredupan di kamar dengan satu lampu di atas meja saja yang hidup. Tubuh dia baringkan, selimut ditarik hingga dada, lalu matanya mengarah ke lampu tersebut. Perasannya cemas kala mengingat besok adalah hari pertama aktivitas belajar di mulai pada tingkat sekolah menengah atas. Sebelumnya dia sudah bertemu dengan teman-teman baru yang juga murid baru tapi dia tidak pandai berinteraksi dan selalu diam di sudut sekolah setelah masa pengenalan lingkungan sekolah, dengan buku novel romance-comedy yang menjadi genre kesukaannya.
"Semoga hari esok berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan."
Dia memejamkan mata dan hati coba dia tenangkan. Dia kembali duduk, dia tak bisa tenang, dia duduk di bangku belajar memainkan laptop. Dia membuka internet, dia mencari tips untuk tenang dari pikiran yang buruk dan belum tentu terjadi. Malam itu dia seperti pengantin baru yang ingin melakukan malam pertama.
"Bagaimana jika tidak ada orang yang menyukaiku."
Pemikirannya terlalu jauh, dia selalu memikirkan hal itu. Dia takut tidak ada orang yang ingin berteman dengannya, tidak ada orang yang menyukainya, dan dia takut tak bisa berinteraksi dengan baik.
"Kamu belum tidur?"
Tiwi mengagetkannya, reaksi kaget terlihat saat bunyi pintu terdengar.
"Ma. Bisa tidak malam ini Mama tidur di kamarku."
"Tidak. Kamu pasti tidak tenang karena besok. Kamu jangan pikirkan itu, berpikiran positif saja. Sebentar lagi Papa selesai makan, Mama pergi dulu dan kamu tidurlah."
Tiwi menutup pintu kamar, Luna kembali dalam kesendirian. Kembali dia membaringkan tubuh dan menarik selimut, mata kembali memperhatikan lampu yang berada di atas meja.
"Andaikan ada seseorang yang membuatku bisa tenang. Kata teman-teman seorang pacar bisa membuatmu melupakan semuanya. Benarkah begitu. Aku tidak pandai memulai hubungan itu, sedangkan berinteraksi di luar saja aku sulit."
***
"Papa di mana?"
"Dia sudah pergi bekerja."
Pagi hari di dapur yang dilihat oleh Luna hanya Ibunya yang sedang memasak nasi goreng untuknya. Pagi-pagi sekali Arya sudah berangkat ke luar kota untuk menyelsaikan proyek jalan Tol, hingga mereka sering ditinggalakan di rumah berdua,
"Apa Luna ke sekolah menggunakan sepeda lagi?"
"Iya."
"Sepedanya rusak, bannya kempes. Luna mengendarai motor saja."
"Kenapa kamu tidak memberitahu Papa. Kalau motor tidak, jalanan ramai dan jika terjadi sesuatu atau kamu terjatuh bagaimana. Mama ingin sekali mengantarmu, tetapi Mama tidak bisa mengemudi. Kamu naik bus sekolah saja. Sekarang hampir setengah delapan, cepat makan dan berangkat!"
Luna hanya bisa menurut, dia menyelesaikan sarapan dan pamit pergi ke sekolah. Dia berjalan kaki hingga halte yang berjarak 200 meter dari rumah. Ketika dia sampai di sana bus kebetulan sudah standby, dia berlari menaiki bus ketika melihat bus itu akan berjalan.
"Syukurlah."
Dia mencari tempat duduk, dia duduk di samping seorang pemuda berjaket hitam. Dia tidak bisa melihat wajah pemuda itu, tudung jaket menutup sempurna wajahnya, tetapi dia tahu pemuda tersebut juga seorang siswa di sekolah yang sama dengannya. Seragam mereka sama, dia menyadari itu dari celananya.
Bus di rem mendadak, kepala Luna terbentur ke dadanya ketika dia masih memperhatikannya. Pemuda itu membuka tudung jaketnya, dan kontak mata terjalin diantara mereka berdua. Sangat dekat, nafas pemuda itu bisa dirasakan oleh Luna.
"Maaf."
Luna membetulkan posisinya, dia bersikap dingin. Begitulah Luna, dia akan berbicara jika penting dan akan diam jika hanya membuang waktu.
Taksi kembali dikemudikan, mereka duduk saling diam-diaman tanpa berbicara.
Setelah beberapa menit di perjalanan mereka sampai di depan sebuah sekolah menengah atas yang cukup favorit. Satu persatu yang ada di dalam bus turun. Tubuh Luna di senggol oleh murid lain yang ingin turun cepat, dia menyenggol Luna yang berdiri di pintu bus.
Tubuh Luna seakan melayang, mata membesar kaget, dan tangan seperti ingin hinggap di dinding. Buku novel yang ada di tangannya jatuh lebih dulu, sebelum tubuhnya.
HAPP!
Pemuda berjaket hitam tersebut terpaksa memeluknya dari bawah, dia turun lebih awal. tubuhnya berputar membawa jauh tubuh Luna untuk menghindari, karena ada warga bus yang keluar dengan langkah cepat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar.
Mata beberapa orang kaget, tetapi setelah itu lega melihat Luna mendarat dengan selamat.
Bersambung....
Lanjut Baca....