Saka keluar dari mobil, lampu mobil masih menyoroti Arini yang kini menghalangi cahaya tersebut menyentuh wajahnya. Tubuhnya sempoyongan kanan dan kiri karena efek alkohol yang dia minum.
"Bu Arini."
"Pak Saka."
Arini tersenyum, dia mendorong Saka setelah memberikan pengakuan tentang perasaannya. Saka tidak bisa membalas perasaan wanita yang memiliki umur dua tahun lebih tua darinya itu.
"Maaf sekali aku tidak bisa menerima perasaan Ibuk karena aku sudah mencintai wanita lain."
"Bukan wanita. Aku mendengar Bapak menyukai gadis itu, benarkan?"
Saka terdiam, dia melihat kepergian Arini yang menyeberangi jalan dengan kemasukan yang masih menaungi wanita itu. Saka tidak tega meninggalkannya dalam keadaan mabuk, dia membimbing Arini meskipun wanita itu menghempas tangannya.
"Jangan sentuh aku."
Saka menepi membawa tubuh Arini, dia memberhentikan taksi lalu menyuruh si sopir taksi untuk mengantarkannya sesuai alamat yang dia berikan. Namun, setelah melihat tingkah si sopir taksi yang tak bisa dipercaya dia kembali menutup pintu taksi dan menyuruh si sopir pergi.
"Tidak jadi, Pak. Terima kasih."
Saka membopong tubuh Arini, dia membawanya ke mobil dan mengantarnya sendiri.
***
Sudah pukul tubuh pagi, tetapi Chan dan belum keluar dari kamar mereka. Tiwi dan Arya sampai bingung karena tidak melihat anak mereka datang ke dapur untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
"Papa coba lihat anak-anak. Biar Mama yang akan menyiapkan makanan mereka di atas meja."
"Iya."
Arya beranjak dari tempat duduk di meja makan, dia menuju ke kamar Luna terlebih dahulu sebelum menjenguk Chan. Dia melihat anaknya terbaring di atas kasur dengan batuk yang selalu terdengar.
"Kamu sakit, Na."
Arya merasakan dahi anaknya, panas yang begitu tinggi terasa. Arya keluar dari kamar ingin memanggil Tiwi untuk mengajak anak mereka ke rumah sakit, tetapi setelah mendengar batuk dari kamar Chan dia menunda langkahnya. Dia beralih masuk ke dalam kamar tersebut, Chan juga sakit dengan gejalah yang sama.
"Kalian berdua sama-sama sakit."
Arya berlari keluar dari kamar Chan, dia memanggil Tiwi. Meraka bergerak mengajak kedua anak itu ke rumah sakit, mereka di tempatkan di satu kamar yang sama dan dirawat oleh dokter yang sama.
"Mereka terkena demam. Tidak perlu khawatir, mereka akan baik-baik saja. Kalian bisa memberikan waktu untuk beristirahat bagi mereka."
Dokter Arashi menyarankan mereka untuk meninggalkan kamar tersebut, dia bersama kedua orang tua Luna meninggalkan kamar tersebut. Namun, setelah Tiwi dan Arya meninggalkan kamar dokter itu beralih kembali masuk. Dia mendekati Chan, berdiri dengan tangan di dalam saku jas menatapnya yang masih belum sadarkan diri. Arashi menarik tirai pembatas setelah melihat Chan ingin membuka matanya.
"Aku di mana?"
"Rumah sakit."
"Dokter. Dokter bisa melihat saya?"
"Kamu memiliki saudara kembar, atau kamu memang seperti apa yang aku kira. Kamu roh...."
Chan ingin duduk, Arashi membantunya untuk duduk. Dia diam karena ragu untuk menceritakan tentang kebenaran yang dia simpan dari semua orang termasuk Luna tentang jati dirinya.
"Kamu benar roh ?"
"Aku tidak tahu."
"Aku mengetahuinya. Kamu benar, roh dari anak pengusaha pertambangan terkenal mendiang Syam Walandra."
"Dokter mengetahuinya."
"Kenapa tidak. Aku yang mengurusmu sejak kecelakaan itu. Kamu mungkin bingung kenapa aku bisa melihatmu, aku indigo."
Luna kaget mendengar pembicaraan mereka, dia bangun dari ketidaksadarannya kemudian mendengar pembicaraan mereka berdua.
"Lalu, apa yang kamu inginkan dengan masuk ke dalam keluarga mereka."
"Tidak ada. Aku hanya ingin memanfaatkan waktu untuk mengungkap sebuah kebenaran, tetapi itu semua tidak bisa aku mulai karena dia tidak ada."
"Siapa?"
"Ayah tiriku yang jahat itu."
"Keen Dharma. Dia?"
"Iya."
"Aku akan membantu kamu untuk misimu. Bagaimana?"
"Dokter benar. Kenapa dokter ingin membantuku."
"Kamu akan tahu segalanya nanti."
Arashi keluar dari kamar tersebut meninggalkan rasa kebingungan yang tampak terlihat di wajah Chan. Kemudian, rasa kaget dia rasakan setelah melihat tirai pembatas ditarik oleh Luna.
"Luna."
Luna berdiri turun dari tempat tidur rumah sakit, dia mendaratkan telapak tangan di pipi Chan.
"Asli. Lalu, kenapa orang yang berbicara dengan kakak mengatakan bahwa kakak adalah roh. Apa aku salah dengar?"
"Roh. Kamu mimpi. Mana mungkin aku ini sejenis roh. Aku tidak sedang berbicara dengan siapapun."
Luna merasa tak percaya dengan apa yang dia dengar dan situasinya, dia masih terlihat kebingungan, Chan menunjukkan wajah santai untuk menutupi sebuah kebenaran yang mana pada kenyataannya dia adalah memang benar sosok seperti apa yang dikatakan oleh Luna.
"Mungkinkah. Tidak mungkin juga aku melihat ghost. Ngomong-ngomong kenapa kakak sama sepertiku, jangan bilang kalau kakak tidak sakit sungguhan."
"Tidak mungkin aku begini hanya karena kamu. "
"Iya juga."
Luna kembali membaringkan tubuh di atas kasurnya, dia berbaring bosan karena tidak ada aktivitas lain yang dia lakukan. Melihat itu Chan mengambil ponsel Luna yang ada di atas meja. Dia memesan bebeapa buku romansa untuknya, kebahagiaan yang dirasakan oleh Luna menjadi salah satu kebahagiaannya.
Satu jam kemudian datang seorang kurir yang mengantar, dia memberikan bebeapa judul buku romansa kepada Luna.
"Kamu bisa membaca ini untuk menghilangkan rasa bosan."
"Buku romansa. Bagaimana caranya kakak mendapatkan buku ini."
"Baca saja."
Chan mendengar suara Yona dan beberapa teman sekelas Luna yang bergerak menuju ke kamar yang dia tempati untuk menjenguk Luna. Dia bergegas ke toilet, dia menyembunyikan diri di dalam toilet yang ada dikamar tersebut.
Yona masuk bersama bebeapa teman lainnya tepat setelah kepergian Chan masuk ke dalam toilet tersebut.
"Luna...."
Yona datang sembari memeluk tubuh sahabatnya itu, dia begitu sedih ketika melihatnya tidak masuk sekolah.
"Aku harus satu hari tidak masuk sekolah. Kalian semua menjengukku seakan aku sudah satu minggu di sini."
"Tidak masalah... Oh iya, besok malam akan ada acara ulang tahun Kak Liam."
Yona berbisik, Luna menggerakkan mata untuk membuat Yona tidak membicarakan mengenai Liam yang bisa diketahui oleh teman-temannya.
"Sorry."
"Akhir-akhir ini kamu sering masuk rumah sakit ya, Lun. Kemarin gara-gara digigit anjing, sekarang demam. Jangan bilang kalau kamu kepikiran kak Liam...."
Dilan teman laki-laki Luna yang kutu buku berbicara membuat Luna tidak bisa merespon dengan baik kecuali hanya senyuman ringan.
"Kamu ini kenapa membahas itu. Itu hanya kesalah pahaman, aku sudah katakan itu sebelumnya."
"Maaf."
Yona berdebat dengan Dilan, Luna menengahi mereka.
"Maaf, kalian tidak bisa membesuk terlalu lama. Apalagi kalian ramai, bisa menganggu kenyamanan pasien."
Suster yang masuk memberikan mereka pesan.
"Iya suster. Luna, Kak Chan mana? Aku dengar dia juga sakit."
"Dia ada di toilet."
Mereka diam, suara keran air terdengar membuat Yona yakin.
"Sekarang kalian keluarlah...."
Suster memaksa, dia adalah suster Nina yang merupakan teman Arashi.