Chereads / Encouragement For Lunara / Chapter 8 - Mading Sekolah

Chapter 8 - Mading Sekolah

Chan terdiam, dia berpura-pura sakit dan terjatuh. Wajahnya mengerut kesakitan, dia meminta tolong Luna untuk membantunya berdiri. Rasa bersalah muncul di hatinya, dia menguklurkan tangan.

"Ayo."

Semuanya dimulai dari sana, sebuah pertemanan dimulai dari uluran tangan Luna yang siap menjalankan hidup sebagai seorang teman untuk Chan. Untuk pertama kalinya adaseorang laki-laki yang berteman bahkan sangat dekat dengannya.

Satu Minggu Kemudian....

"Pendek."

Chan duduk di samping Luna di dalam bus yang selalu mengantar anak-anak ke sekolah. Luna mengeluarkan earhphone dari tas, dia memakainya karena tidak ingin mendengar Chan yang banyak berbicara.

"Hebat. Baru satu minggu berteman kamu sudah mengerti aku."

Luna menaikkan kedua pundak, dia memajukan bibir bawah dan menarik bibir atas dengan tingkah tidak mendengar apa yang dikatakan oleh pemuda yang duduk di sampinya itu. Luna menyandarkan tubuh ke tempat duduk, Bus pun berjalan berlayar menuju rumah ilmu pengetahuan. Mata Luna terarah keluar, dia menikmati angin sepoi-sepoi yang menepis lembut pony yang merdeka.

Bus berwarna kuning yang dinaiki Luna berhenti di halte berikutnya untuk menarik masuk anak sekolah lainnya. Tubuh Luna tegap, matanya membesar dan jantungnya berdetak kencang saat melihat Liam ingin menaiki bus tersebut. Dia tersenyum, dalam hati dia menghitung dari satu hingga tiga sebelum dia menoleh ke samping melihat Liam yang mungkin berjalan di samping bangkunya.

"Tiga."

Luna menoleh sesuai hitungannya, dia melihat Liam yang sudah duduk di sampingnya. Matanya mencari keberadaan Chan, mata bergulir mencarinya menjelajah setiap kursi dengan menengangkan perut seperti seseorang yang melakukan yoga dan seekor jerapah yang memanjangkan lehernya.

"Tidak ada dedaunan disini. Jangan seperti jerapah."

Luna menoleh ke bawah samping kanan,dia tersenyum ringan dan kembali duduk. Jantungnya tidak stabil, dia terlihat salah tigkah dan Liam bisa mersakannya. Pria dingin itu duduk dengan menyilanng kedua tangan di bawah dada

"Kamu yang waktu itu menabrakku, kan?"

"A? I-Iya, Kak. Aku minta maaf karena aku tidak sengaja."

Luna gugup berbicara dengannya, dia kembali duduk dan salah tingka. Perbedaan salah tingkah Luna dan orang lain berbeda, ketika dia salah tingkah maka dia akan diam membisu bak patung tetapi hatinya membarah panas bahaikan gunung merapi yang meletus mengeluarkan larva.

Liam menarik salah earphone dari telinga Luna yang ada di sampingnya, dia mendengarkan musik yang diputar oleh gadis polos itu.

"Suka musik sad. Menyedihkan sekali, aku tidak suka musik ini."

"Bukan sedih, santai. Dari liriknya memang sedih, tetapi juga bahagia tetapi secara halus. Ini salah satu lagu favoritku."

Lagu apa itu, ya...? Jadi pengen dengar juga.

Liam melepaskan earphone tersebut dari telinganya, dia berdiri dan langkah kakinya berhenti di depan pintu bus menunggu bus tersebut berhenti. Dia melompat turun setelah bus tersebut sampai di halte dekat sekolah, Luna menatap kepergiannya sambil menunggu semua orang antrean keluar. Dia memajukan kepalanya ketika melihat Chan melambaikan tangan di luar, dia mengambil tas dan berlari mendekatinya.

"Kakak ke mana aja. Tadi aku mencari kakak di dalam bus tetapi aku tidak melihat kakak."

"Aku ini punya sayap. Ketika kamu tidak melihatku jangan mencariku, berarti aku tidak ingin bertemu denganmu."

"Ih... sok banget."

Luna menarik tasnya, dia membawanya menuju ke gerbang sekolah. Beberapa orang memperhatikan mereka, senyuman mereka singrai membuat Luna melepaskan tas Chan dan berjalan beriringan.

"Kamu akan dikira gila jika dekat denganku."

"Bukan dikira lagi, tetapi aku benar-benar akan gila."

Mereka berjalan melewati mading sekolah, semua anak berkumpul di sana sedang membahas olimpiade matematika yang menjai incaran bagi anak jenius dan pintar di sekolah. Luna menghampiri mading tersebut, setelah mengetahui informasinya dia keluar dari kerumunan mengabaikannya karena dia tidak memiliki ketertarikan dengan matematika.

"Matematika adalah pelajaran kesukaanku, sudah banyak olimpiade yang aku mennagkan. Apa kamu tidak mau ikut?"

Chan menawari Luna untuk mengikuti olimpiade tersebut, tetapi Luna menanggapinya santai.

"Ayolah ikut."

"Aku tidak memiliki ketertarikan dengan matematika."

"Meskipun kamu memiliki minat ke pelajaran lain kamu tidak akan mengikutinya juga. Benarkan?"

"Kamu terlalu lemah, Luna."

"Jangan pernah mengatakan aku lemah."

Luna melanjutkan langkahnya setelah berhenti sejenak mendengar perkataan Chan yang tidak dia suka. Dia menahan Chan untuk tidak mengikutinya karena ketika dia emosi dia membutuhkan waktu sendiri.

Kabar mengenai olimpiade diperbincangkkan di kelasnya, separuh dari murid di kelasnya ikut tes untuk masuk olimpiade termasuk Yona. Dia diajak oleh beberapa temannya untuk ikut tetapi dia terlalu takut dan menolak.

"Cemen... aku saja yang tidak sepintarmu ikut."

Yona meremehkannya, tetapi cara Yona meremehkan Luna hanya untuk membuat temannya itu berubah pikiran dan mengikuti olimpiade tersebut. Namun, dia tidak berhasil melakukannya.

Speker suara pengumuman terdengar, salah satu guru bergenre laki-laki memberitahukan para muridnya yang ikut untuk mendaftar. Karena olimpiade tersebut semua kelas tak diisi oleh satu guru pun, karena olimpiade akan dilaksanakan di sekolah tersebut sebagai Tuan rumah jadi mereka mempersiapkan semuanya dengan maksimal.

'Lemah. Cemen.'

Kata itu terngiang di telinganya.

"Apa aku terlalu takut. Tidak salah jika aku mencoba, aku bisa menganggapnya sebagai caraku untuk mencari bakat dan potensiku. Aku juga menyukai mata pelajaran bahasa Inggris, tetapi aku juga tidak bisa memahami bahasa itu."

Luna berdiri,dia menarik nafas panjang dan berjalan keluar mengikuti anak-anak lainnya yang ikut. Namun, ketika dia sudah berada di tengah perjalanan dia mengurungkan niatnya karena pesimis tidak akan memenangkannya. Dia membalikkan badan, dia melihat Chan yang berdiri menatapnya dengan jarak sepuluh meter dari posisinya. Chan memberikan semangat, tangannya yang mengepal ditarik ke bawah dengan anggukan kepala.

"Semangat!"

Suaranya terdengar rendah, tetapi Luna bisa mengetahui apa yang dia katakan.

Luna kembali berpikir, jika dia kembali ke kelas maka dia berarti menyerah. Dia tidak ingin dikatakan lemah,diamelanjutkan langkah ya ke kantor untuk mendaftar. Dia yang menjadi warga sekolah yang mendaftar. Tidak, ternyata setelah dia ada Liam. Mereka sempat hampir tertabrak lagi ketika Luna baru keluar dari pintu ruangan salah satu guru yang mengurus pendaftaran olimpiade tersebut. Liam membuang pandangannya, dia melewati tubuh Luna dengan sinis.

Luna masih berdiri di depan ruangan guru tersebut, dia ingin meminta maaf kepada Liam karena dia merasa Liam tidak menyukainya setelah beberapa kejadian terakhir.

"Kak."

Luna memanggilnya setelah dia keluar dari ruangan tersebut, tetapi Liam mengabaikannya.

"Maafkan aku jika aku bersalah."

Luna masih mengikutinya seperti anak anjing, dia memberanikan diri memegang pergelangan tangan Liam ketika mereka berada di tangga sekolah. Liam menghempaskan tangannya hingga terlepas.

"Jangan sok dekat denganku."

Liam kembali melanjutkan langkahnya. Luna masih merasa bersalah, dia menarik tangannya lagi meminta Liam untuk mendengarkannya. Namun, Liam yang terlihat emosional mendorongnya hingga gadis itu terjatuh melewati pagar tangga.

Mata Liam kaget melihatnya, dia tidak bermaksud untuk melakukan itu.

Lanjut, Guys....

'