Luna duduk satu makan di kantin bersama Yona, dia masih memikirkan masalah tadi. Liam dan kedua temannya masuk, kepala tidak berani diangkat oleh Luna karena malu. Dia berdiri mengakhiri mengunyah, dia berjalan melewati Liam sambil menundukkan kepala.
"Kalian lanjut makan!"
Liam mengikuti Luna, dia bersembunyi ketika melihat geng AngelEs yang berada di hadapan Luna. Mereka berdiri berbanjar dengan alis yang ditarik menunjukkan pandangan tajam. Sari dan Nuci mendekatinya dari bagian kanan dan kiri, dia menarik tangan Luna akan membawanya ke toilet perempuan. Di sana mereka menyiram Luna menggunakan air yang ada di dalam ember.
"Jangan lo pikir gue akan diam. Siram lagi!"
Naomi menyuruh Nuci untuk menyiram Luna, dari ujung rambut hingga ujung kaki tubuh Luna basah semua.
"Jangan berani lagi dekatin Liam," tegas Naomi.
"Atau... Pak Saka," tambah Sari.
Mereka pergi, Luna menangis sambil bersandar di dinding. Liam masuk, tangisan dihentikan oleh Luna, dia menerobos tubuhnya.
"Hey!"
Luna mengabaikan suara Liam, gadis itu pergi ke belakang sekolah duduk melanjutkan tangisannya. Beberapa anak-anak geng yang ada di belakang melihatnya, mereka mendekati Luna dan menggoda.
"Siapa yang ada di belakang!"
Terdengar suara guru matematika yang paling galak di sekolah, para anak-anak geng itu berlari kabur meninggalkan Luna.
"Ayo berdiri."
Tangan dijulurkan, Luna mengangkat kepalanya dan mengambil juluran tangan itu dengan memeluknya. Dia adalah Chan, dalam pelukan Chan si gadis manis itu menangis.
"Itu bukan salahku. Aku tidak pernah ingin mengganggu mereka."
"Menangislah! Jika menangis membuatmu lega maka menangis sekeras mungkin."
"Aku tidak pernah menyakiti mereka. Apa aku salah jika menyukai seseorang, tetapi aku sadar diri dan tidak pernah mengatakannya."
"Hey... kamu tidak salah. Aku juga pernah menyukai seseorang, aku juga menyembunyikan perasaanku sampai aku benar menyesalinya."
Luna memberhentikan tangisannya, pelukan dia lepaskan. Chan mengajaknya duduk di bangku yang ada di bawah pohon belakang sekolah, dia mengeluarkan baju dari dalam tasnya.
"Pakai."
"Mana mungkin aku memakai baju bebas, ini sekolah bukan taman bermain."
"Ayo. Kita ke taman bermain. Kadang-kadang sekolah menjenuhkan, sekarang ganti."
Chan melemparkan sepasang baju tersebut, sebuah celana pria dengan baju kaos warna hitam. Luna mengganti pakainnya di gudang belakang. Setelah dia kekuar Chan membuka ikat rambut Luna dan mengeringkannya dengan jaket hitam yang selalu dia pakai.
"Kamu cantik."
Pujian diberikan Chan.
"Tunggu."
Chan membuka bajunya, ternyata dia memakai baju dua lapis. Chen melemparkan tasnya ke dalam gudang dan berlari keluar dari pagar belakang. Mereka memasuki angkot, tangan Chan tidak berhenti me genggam jari jemari Luna.
"Taman Diamond. Kamu tahu ini tempat yang sering aku kunjungi untuk sendiri. Aku bukan seperti anak yang kamu pikirkan, aku polos dan introvert sama seperti mu."
"Kelihatannya tidak begitu."
"Tunggu."
Chan meninggalkan Luna, dia tak terlihat beberapa saat dan dayang dengan satu es krim rasa stroberi.
"Makanlah. Panas-panas begini enaknya makan es krim."
"Kakak?"
"Aku tidak suka es krim."
"Terima kasih."
Mereka kembali berjalan, langkah kaki berjalan lambat dengan pembicaraan yang keluar ringan.
"Lalu, sejak kapan kakak berubah drastis. Sejak pertama kali kita bertemu aku menemukan kakak dengan mulut yang lebar. Apakah ada kata-kata yang indah hari ini?"
"Cintai aku. Ketika kamu mencintaiku maka kamu akan lupa kesedihan, karena...."
"Karena apa?"
"Aku akan membuatmu selalu tertawa."
Chan menunjukkan ekspresi lucu dari wajahnya, dia membuat Luna tertawa.
"Ngomong-ngomong siapa perempuan yang kakak sukai?"
"Aku tidak akan mengatakannya. Akan tetapi, dia itu cantik, dia suka membaca, dan buku koleksinya sangat unik. Pertama kali aku bertemu dengannya saat aku berada di bangku SMP, pertama kali aku bertemu dengannya saat aku membaca di perpustakaan buku di samping halte."
"Ouh! Kakak sering mencari buku di perpustakaan Renjani. Aku juga sering ke sana, buku-buku di sana bermutu dan bagus-bagus. Aku jadi penasaran siapa sebenarnya perempuan itu."
"Jangan kepo."
"Apaan, sih."
Seharian mereka menghabiskan waktu untuk bermain-main, mereka ke perpustakaan Renjani yang berada tidak jauh dari taman yang mereka kunjungi.
"Romeo and Juliet. Ini versi Indonesianya, aku pernah membaca buku ini dan aku pikir ini sudah tidak ada di sini."
Luna excited menemukan buku percintaan yang diangkat dari romansa luar negeri, dia duduk dan kembali memperhatikan helaian demi helaian buku. Chan masih sibuk menjelajah beberapa buku yang ada di rak.
"Cinta itu manis, indah, dan berwarna. Ketika kamu mengenal cinta ada hal yang bisa kamu mengerti. Apakah itu? Mengerti sendiri. By Chano Walandra."
Luna menemukan secarik kertas yang dilipat terselip di salah satu helaian buku. Dia mencoba untuk mengingat nama penulis dari secarik kertas itu, telinganya terasa tak asing dengan penulis tinta hitam tersebut.
"Iya. Tulisannya sama, dia orang yang waktu itu dibilang Yona."
"Hey!"
"Ensiklopedia Sejarah. Kakak suka membaca buku yang beginian?"
"Iya."
"Wow... pasti kakak jenius. Lain kali ajarin aku belajar."
"Tenang."
Chan mengambil secarik kertas uang ada di tangan Luna, dia menatapnya sekejap dengan tersenyum. Dia memandangi Luna yang seperti berpikir.
"Kenapa?"
"Ini. Aku mau menjawab pertanyaan dari tulisan secarik keras ini. Hal yang akan kamu mengerti saat mencintai. Kakak tahu?"
"Cari sendiri."
"Ih... siapa juga yang bertanya."
Luna mengambil secarik kertas itu dari tangan Chan, dia melipat dan menyimpannya ke dalam saku celana.
"Pernah membaca buku ini?"
Luna menunjukkan buku percintaan yang dia pegang, Chan menggeleng dan tidak menahu dengan buku itu.
"Ini cerita yang bagus. Namun, kisah cinta mereka tragis. Mereka berakhir mati karena masalah keluarga yang bermusuhan. Jika aku menjadi penulisnya maka aku akan merubah kisahnya. Juliet akan hidup bahagia dengan Romeo, mereka menikah dengan memiliki banyak anak dan tinggal damai dengan para keluarga mereka."
"Sayangnya kamu pembaca. Seperti kita, Tuhan penulis skenario dari kisah kita, dan endingnya hanya Tuhan yang tahu. Bisa jadi ending yang sedih menurut pembaca adalah kebahagiaan bagi mereka. Cinta mereka abadi dan di kenang," papar Chan.
"Kalau aku menginginkan ending yang bahagia."
"Setiap orang begitu. Namun, kita tidak bisa mengaturnya."
"Jika kakak diberi kesempatan untuk menulis kisah kakak sendiri apa yang ingin kakak lakukan?"
"Seperti yang kamu inginkan. Namun, itu tidak akan bisa karena aku sudah tahu bagaimana ending dari kisah hidupku."
"Sok Tahu. Memangnya kakak Tuhan."
"Tuhan sudah menjelaskannya kepadaku."
"Aneh!"
Luna berdiri dari tempat duduk panjang yang ada di tepi dinding, dia mendekati rak buku berjalan di aliran rak tersebut. Terlihat salah satu rak yang akan tumbang, mata Chan besar melihatnya.
"Luna...!"