Mata Luna membesar sambil berusaha menoleh ke belakang ingin mengetahui siapa saat ini yang mendekap mulutnya. Dia menggigit tangan yang menutup mulutnya, tangan tersebut terlepas tetapi tiada jeritan kesakitan.
"Kak Chan. Apa yang kakak lakukan."
"Aku hanya bercanda."
Luna menepis bahu Chan karena kesal, pemuda itu hanya tersenyum dan tertawa kecil dengan tingkahnya. Dia mencoba menghalangi tangan Luna yang mendarat di tubuhnya tetapi malah membuat mereka terdiam sejenak saling menatap satu sama lain.
"Aku ingin bertanya kepada kakak mengenai."
"Stop. Kamu bisa membahas apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku tetapi setelah kita sampai di rumah."
"Tidak mungkin. Aku harus mengantarkan tas ini ke rumah Kak Liam karena aku tadi tak sengaja...."
Luna menggantungkan perkataannya, jangan menatapnya dengan wajah yang sedikit dimajukan menunggu kelanjutan dari perkataan gadis itu dengan mata yang sedikit menyempit dan telinga melebar.
"Aku tidak sengaja...."
"Apa?"
Terdengar klakson motor, Luna menoleh ke samping melihat sebuah motor yang melaju kencang dan terlihat oleh ingin menabraknya. Matanya membesar kaget, Chan menarik tangannya lalu membuat mereka terlihat berfose seperti seseorang yang melakukan tarian tango tetapi bibir mereka saling menyatu tanpa sengaja.
"Aku tidak sengaja melakukan hal ini dengannya."
Luna berdiri lalu pergi meninggalkan Chan karena merasa malu, dia merasa konyol karena sudah melakukan ciuman dengan dua laki-laki seharian ini.
"Kedua kalinya. Ini kali keduanya aku melakukan ini kepada perempuan."
Chan menyentuh bibirnya dengan tersenyum, dia menggiring menghapus apa yang terlintas di benaknya mengenai dia yang menyukai Luna. Dia mengambil tas yang tadi terjatuh lalu meninggalkan posisinya.
Untuk pergi ke rumah Liam transportasi lain digunakan oleh Luna yaitu ojek. Dia kembali datang ke rumah Liam dengan langkah lambat berjalan memasuki gerbang rumah setelah dia membayar ojek yang dia tumpangi. Setelah beberapa saat berjalan dia berhenti tepat di depan pintu yang tertutup rapat. Tangannya mulai terangkat ingin mengetuk pintu rumah, keraguan menepi sekaligus merasa canggung untuk bertemu dengan pemuda yang tadi dia cium.
"Bisa."
Luna mengetu pintu tersebut beberapa kali, Liam membuka pintu itu dan menatapnya dengan kepala oleh karena dan kiri. Dia menyuruh Luna masuk dengan kepala yang dia telengkan ke arah dalam. Luna menghembuskan nafas, dia mengikuti Liam yang lebih dulu berjalan di hadapannya.
"Kenapa hari ini ada di sini."
Vino bertanya setelah melihat kehadiran Luna, dia mengangkat kedua kakinya sambil bersandar ke sofa memandang Luna dengan remeh.
"Lo ngapain ke sini?" Dika bertanya.
"Aku hanya ingin mengantarkan tas ini."
"Liam."
Dika bertanya kepada Liam. Baru saja menyebut namanya pemuda yang membukakan pintu untuk Luna sudah mengerti dengan apa yang ingin ditanyakan oleh temannya itu. Liam duduk di sofa tempat di mana dia sebelumnya duduk, dia meletakkan kakinya ke atas meja dengan menyilang.
"Santai. Mulai sekarang dia akan membawa dan mengantar tas gue."
"Bagaimana bisa."
Vino penasaran, dia sampai membetulkan posisi duduknya dengan memajukan tubuh ingin mengetahui latar belakang dari apa yang dikatakan oleh Liam.
"Sekarang pergi ke dapur dan buatkan kami jus segar."
"Aku tidak tahu. Bagaimana mungkin aku bisa membuatkannya untuk kalian."
"Lurus dan belok kiri. Di sana ada dapur dan buka kulkas. jika tidak bertanya kepada pembantu rumah, Mbok Iyem. kamarnya ada di samping kiri dapur."
Luna terpaksa mengikuti perintah Liam, langkahnya ragu-ragu, sesekali dia menoleh ke belakang dengan saraf mata diam yang memandanginya dalam.
"Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian berdua. Jangan bilang kalau masalah beberapa hari yang lalu memang nyata."
"Diam lo."
Liam menegur Vino untuk tidak bicara lagi, dia takut akan membuka apa yang terjadi antar dia dan Luna. Dia bermaksud untuk menyembunyikan hal yang terjadi antar dia dan gadis manis itu.
"Ini. Kalau begitu saya pulang dulu, Kak."
Luna meninggalkan mereka.
"Tunggu. Antar nampan ini ke dapur. Seenaknya saja membiarkannya di sini. ingat dengan janjimu dan aku akan menagihnya besok."
"Janji. Maksudnya?"
"Kita bahas besok empat mata."
"Ehem!"
Kedua teman Liam berdehem. Ketika Liam menoleh ke arah mereka pandangan mereka buang menjauh seolah tidak terjadi apapun.
Ponsel Dika berdering, Ibunya menyuruh dia untuk pulang. Terpaksa dia pulang karena jika tidak maka dia akan dimarahi habis-habisan. Dika keluar dari rumah tersebut setelah keluarnya Luna, dia menaiki motor dan setelah keluar dari gerbang dia melihat gadis itu yang saat ini mencari kendaraan untuk pulang. Meskipun dia termasuk pemuda yang nakal di sekolah tetapi dia juga memiliki perasaan peduli.
"Ayo. Biar gue yang nganter lo pulang."
"Tidak usah, Kak."
"Ayo."
Luna menaiki motor besar milik tiga yang berwarna hitam, kedua tangan Luna memegang bajunya di samping kiri dan kanan.
Beberapa saat di perjalanan akhirnya mereka sampai tepat di depan gerbang sederhana rumah Luna. Dika menatap rumah tersebut dari kejauhan dibalik helm yang dia pakai saat itu.
"Ini rumahmu?"
"Iya. Terima kasih, Kak."
Luna memasuki pagar rumah, dia menatap kepergian Dika dari rumahnya. Ketika dia membalikkan badan dia melihat Chan berdiri sambil tersenyum kepadanya.
"Kakak selalu membuat aku kaget. Bisakah kakak datang dengan ada haba-habanya. Kakak seperti hantu."
Luna melewati tubuh Chan, dia masuk ke dalam rumah dan setelah sampai di sana dia melihat Yona duduk di ruang tamu.
"Kamu... sejak kapan kamu ke sini."
Luna berdiri di pintu rumah, dia berjalan mendekati Yona sambil mengarahkan pandangannya ke luar mencari sosok Chan. Yona ikut dibuat bingung dengan leher temannya yang panjang maju ke depan.
"Kamu mencari siapa?"
"Tidak. Aku menc--,"
"Kak Chan?"
"Iya. Kamu ngak bilang-bilang kalau kamu memilki kakak yang cakep. Aduh... dia cakep banget."
"Cakep, sih. Tapi... sebenanrya dia bukan kakak kandungku. Aku anak tunggal, dia bukan kakak kandungku. Bebarapa hari yang lalu aku bertemu dengannya dan dia senior di sekolah kita. Dia tidak memiliki orang tua, jadi Mama dan Papa mengizinkan dia tinggal di sini dan menganggapnya menjadi anak mereka sendiri.
"Oh... boleh, tuh. Aku jadi kakak Ipar kamu gituh."
"Apaan, sih."
"Orang tua kamu bener ke rumah nenekmu. Tadi Kak Chan mengatakannya kepadaku. Dia baik sekali, dia juga ini menyiapkan aku minuman dan camilan."
"Iya. Dia memang baik, sih. Kadang ngeselin aja."
"Kak Chan mana? Tadi dia bilang keluar sebentar tetapi sampai sekarang dia belum masuk."
"Tadi aku ketemu dia di luar, tetapi gak tau deh dia ke mana."
"Hem... malam ini aku akan ke rumahmu lagi. Sekarang aku harus pulang karena aku ada pekerjaan paruh waktu."
"Ohh... aku salut lihat kamu. Fighting!"
"Iya, dah... sampaikan salam aku ke kak Chan."
"Iya."
Yona keluar dari rumah dengan langkahnya yang cepat, dia berpapasan dengan Chan di gerbang rumah.
"Kak, aku pulang dulu."
"Iya."
Yona pergi sambil melambaikan tangan, Chan berjalan masuk dan langkanya terhenti ketika dia berada di teras rumah.
"Kamu siapa?"
Luna bertanya ketika dia berdiri di pintu rumah.