Luna berlari keluar meninggalkan pesta ulang tahun Liam. Rasa bersalah muncul di hati pemuda itu, sejujurnya tidak dia menginginkan hal itu dia lontarkan kepada Luna. Dia tidak sadar mengatakannya, wajah merasa bersama nya bisa terlihat. Dika menyadari rasa bersalah itu.
Ketika Luna ingin keluar dari perkarangan rumah Liam dia berpapasan dengan Yona yang baru masuk. Yona tempat menyapa, Tetapi dia diabaikan karena Luna sudah tidak menyadari kehadiran sahabatnya itu. Dika mencari kesempatan pergi dari keramaian untuk mengikuti Yona.
"Luna...."
Mendengar suara Yona menyuruhnya untuk berhenti melangkah membuat Luna mengikuti perintah suara tersebut dan menoleh ke belakang dengan menghapus air mata yang sempat terjatuh.
Luna mencoba untuk melindungi, menutupi, menyembunyikan semua perasaan kecewa karena mendapatkan perkataan yang tidak baik dari Liam.
"Kamu kenapa? Apa ada seseorang yang sedang menyakiti hatimu. Jangan bilang kalau itu dari gang Angeles. Ayo kita hadapi mereka berdua dan aku akan membuat mereka menjadi bakso malam ini."
"Bukan. Aku tidak apa-apa. Hari ini aku bertengkar dengan Kak Chan di rumah dan baru saja dia menghubungiku. Dia berbicara dan itu menyakiti hatiku."
"Kak Chan. Benarkah?"
"Iya."
Yona jadi bingung, di satu sisi adalah sahabatnya ada di sisi lain ada pemuda yang dia sukai. Dia hanya bisa terdiam, di suasana diam itu Chan datang langsung merangkul bahu Luna.
"Hai!"
Luna bingung melihat pemuda yang bernama Andra yang pernah ia memberikannya bunga berdiri di sampingnya bertingkah sangat dekat. Luna melepaskan tangan Andra yang merupakan Chan dari bahunya, karena tingkahnya itu membuat Yona percaya bahwa mereka sedang bertengkar. akhir-akhir ini dengan kehadiran Andra membuat Luna merasa kesal.
"Jangan pegang-pegang."
"Kak Chan."
"Chan."
Luna bingung dengan mengeluarkan suaranya setelah melihat sahabatnya itu mengatakan bahwa pemuda yang berdiri di sampingnya adalah kakak angkatnya sendiri. Kebingungan mulai muncul membuat dia tidak bisa menetralisirkan keadaan.
"Chan. Ini bu--"
Luna ingin menjelaskan bahwa pemuda yang di sampingnya bukanlah orang yang menjadi topik pembicaraan mereka, tetapi dengan cepat pembicaraannya terpotong karena pemuda tersebut mengajaknya pergi menjauh dari Yona.
"Lepas. Kamu sebenarnya siapa."
"Apa kamu ingat perkataanku siang tadi kepadamu. Coba kamu lihat kedua bola mataku, apakah kamu mengenaliku?"
"Mata yang sama. Mata ini tidak asing bagiku."
Luna berbicara dalam hatinya, dia menatap kedua bola mata pemuda yang berdiri di hadapannya tanpa kedip.
"Hanya Kak Chan yang bisa aku tetap selama ini tanpa kedip."
Luna kembali berbicara dalam hatinya. pemuda yang ada di hadapannya itu meraih pergelangan tangannya, dia meletakkannya di dada dengan Luna yang merasakan detak jantung yang begitu cepat tak beraturan.
"Apa kamu mendengarnya?"
"Apaan, sih."
Luna menarik tangannya dari dada Chan, dia beranjak ingin pergi meninggalkan pemuda itu tetapi tangannya kembali diraih dengan sebuah kenyataan yang membuat dia kaget. Matanya membesar, perlahan dia menoleh ke belakang seperti sebuah robot dengan pandangan penuh rasa kekonyolan.
"Aku adalah Chan."
Raut wajah kaget yang tadi keluar berubah menjadi tawa karena Luna tidak percaya dengan perkataan Chan.
"Mana mungkin kalau kamu itu adalah Kak Chan. Oh, iya. jangan bilang kalau kamu memang kak Chan tetapi saat ini Kakak sedang memakai topeng. Aku tadi mengatakan kalau kita semua yang hadir di pesta ulang tahun Kak Liam menggunakan topeng yang biasanya ada di acara-acara pesta orang barat. Kakak salah mengira dan malah memakai topeng sejenis ini. Zaman sekarang modern aku yakin Kakak menggunakan topeng manusia untuk mengelabui ku."
"Kenyataannya begitu."
Chan melepaskan kalung yang ada di lehernya, senyuman dan tawa yang tadi keluar dari Luna perlahan menghilang menjadi wajah kaget ketika melihat pemuda yang berdiri di hadapannya itu berubah wajah menjadi orang yang selama ini selalu ada di sampingnya yang dianggap sebagai Kakaknya sendiri.
"Tidak. Sekarang pasti aku sedang bermimpi."
Luna pingsan karena rasa ketidakpercayaannya setelah melihat wajah Chan yang berubah. Pemuda itu sudah mengetahui bagaimana akibatnya setelah dia menceritakan semua kebenarannya, dia membopong tubuh Luna memasuki rumah besar tersebut dari pintu belakang. Dia membawanya naik ke lantai 3 di mana sebuah kamar yang sudah lama tidak ditempati terlihat sedikit berdebu. Dia meletakkan Luna di atas kasur.
Beberapa menit kemudian Luna membuka mata, dia melihat dirinya sendiri berbaring di atas kasur dengan kekosongan yang ada. Dia bangkit dari tempat tidur dengan kebingungan, dia menjelajah kamar tersebut dan menemukan pintu yang dikunci. Beberapa kali dia mau itu pintu tersebut meminta seseorang membuka pintu itu dari luar.
Pintu terbuka sendiri, Luna mencari sosok yang membuka pintu tersebut tetapi dia tidak menemukan siapa pun. Dia melangkahkan kaki menuruni tangga rumah tersebut yang membawa dia ke sebuah ruangan yang mana terdapat banyak koleksi piala dan juga penghargaan di dalam sebuah lemari dan juga di atas meja.
'Kemenangan bukan ditandai dengan dapatnya sebuah piala ataupun medali, tetapi kemenangan itu ditandai dengan adanya sebuah kebahagiaan. Intinya, kebahagiaan adalah sebuah kemenangan.'
Luna menemukan sebuah kertas dengan tulisan tersebut yang dia dapat diantara selipan piala di lemari itu. di akhir dari kalimat tersebut terdapat nama Chano Walandra.
"Aku jadi bingung Siapa sebenarnya dia ini."
Terdengar langkah kaki, dia menoleh ke belakang, ke arah pintu yang terbuka lebar. Dia keluar bayangan, dia segera berlari bersembunyi di balik tirai.
"Tidak ada apapun di sini."
Pembantu rumah menutup pintu ruangan tersebut, Luna keluar dari persembunyian dengan lega.
Sebuah tangan mendarat di pundaknya, dia kaget dan langsung menoleh ke belakang. Dia melihat Chan, teringat olehnya saat di mana tadi pemuda itu berubah wajah.
"Hantu. Jangan dekati aku. Aku tidak percaya kalau kamu Kak Chan. Kamu hantu yang menyamar jadi dia."
Luna berlari ke arah pintu, dia berusaha membuka tetapi tidak bisa dia lalukan. Ketakutan semakin besar, dia mencoba mendobrak pintu dengan sesekali menoleh ke belakang.
"Jangan mendekat."
Luna mengambil beberapa piala diatas meja, dia melemparinya ke arah Chan. Dengan gerak cepat Chan mengangkat tangannya seperti ingin mencakar, semua benda-benda yang dilayangkan oleh Luna melayang menambah rasa ketakutan bagi gadis itu.
"Kamu hantu. Jangan dekati aku."
Luna menyerah, dia duduk memeluk lutut dan menangis.
"Kamu percaya kepadaku. Jangan takut, aku ada disini untuk hal kebaikan bagimu. Aku ada karenamu."
Luna mengangkat kapala setelah merasakan sentuhan tangan di rambutnya, dia merasakan kenyamanan.
"Kita bertemu di bus. Aku adalah Chan dan bukan hantu. Sepertinya kamu bermimpi."
"Mimpi?"
Luna menjelajahkan kedua bola matanya ke ruangan tersebut, dia melihat semuanya memburam.
"Luna...."
Luna membuka matanya, dia melihat dirinya berada di sebuah rumah sakit dengan alat jantung yang berbunyi.