Liam tidak bisa tidur karena teringat dengan pertanyaan Luna yang sebenarnya diberikan oleh Chan. Tangan melipat terbuka berada di bawah kepalanya yang saat ini menatap langit kamar. Dia dibayangi dengan ingatan pertanyaan yang dilayangkan oleh Luna.
"Gue ingat sama Kak Chano. Dia pernah memberikan pertanyaan itu sebelum dia pergi. Andai lo ada di sini, Kak. Gue yakin hidup gue tidak akan seperti ini. "
Ponsel Liam berdering, begitu banyak sambungan telepon yang masuk. Selain itu, notifikasi pemberitahuan beribu masuk ke akun media sosialnya. Tidak diherankan lagi olehnya, anak dari seorang pengusaha pertambangan kaya membuat Liam terkenal. Tanpa sengaja sia teringat kembali dengan masalah follow and unfollow dia dan juga Luna saat itu yang membuat dia tersenyum sendiri.
"Jangan mikirin dia."
Liam kembali melamun memikirkan pertanyaan yang ditayangkan oleh Luna. kedua bola matanya masih menatap langit kamar setelah dia mematikan lampu utama kamarnya.
"Mati satu, ya tumbuh seribu."
Mata Liam melemah, matanya terpejam hingga tertidur.
Beberapa saat kemudian mata Liam ketika beberapa tetes air menetes ke wajahnya, dia melihat cucuran air dari AC jatuh ke wajahnya. AC yang kebetulan ada di kepalanya menyebar dengan suhu yang cukup tinggi hingga airnya berjatuhan. Tetes ketika air itu tak mengenai wajahnya karena sebuah tangan menampung air tersebut.
"Kak Chan."
Liam melihat Chano atau Chan yang dikenal oleh Luna tersenyum berdiri di samping kasetnya tidak membiarkan tetesan air dari AC tersebut jatuh ke wajah adiknya. Liam bangun dari tempat tidur, dia berdiri di hadapan Chan dengan memeluk pemuda yang ada di hadapannya itu erat.
"Aku sangat merindukan lo, Kak."
Liam menangis, dia mendaratkan dagu ke pundak kiri Chan dengan mata yang mengeluarkan cairan putih di pipinya dengan mata terpejam.
"Liam...."
Seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di atas kursi roda mengelus lembut rambut Liam. Dia Hemaria, dia adalah nyonya dari rumah besar tersebut yang sedang sakit.
"Mama."
Kedua bola mata Liam menjelajah di sebuah ruangan dengan nuansa berwarna putih dan kebiruan. Tempat tersebut adalah rumah sakit, dia menyadari dirinya sedang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dengan infus yang terkoneksi dengan tubuhnya.
"Kenapa aku berada di sini."
"Kamu menyalakan AC sangat tinggi membuat udara di kamarmu sangat dingin bahkan air dari AC tersebut bercucuran mengenai wajahmu."
"Mimpi. Berarti pertemuanku dengan Kak Chano hanyalah sebuah mimpi. Mungkin karena aku terlalu kepikiran dengannya membuat dia masuk ke dalam mimpiku."
Hemaria menunjukkan wajah sedihnya, dia juga begitu merindukan Chano putra sulungnya. Namun, untuk menghapus kesedihan putra bungsunya dia terpaksa menunjukkan senyuman.
"Jangan bersedih. Mama tahu kamu anak yang kuat."
"Maaf, Ma. Gara-gara aku Mama harus repot datang ke rumah sakit karena aku padahal Mama juga sedang sakit."
"Tidak."
"Kapan Papa Keen pulang dari Kalimantan. Ini sudah dua bulan lebih tetapi dia belum pulang."
Liam terlihat sedikit kesal, Papa sambungnya. Karena pekerjaan di Kalimantan membuat Keen tidak bisa pulang, bahkan jarang berkomunikasi karena jaringan tidak memadai dan tidak mendukung untuk menelepon apalagi video call. Namun, Hemaria cukup lega ketika dia melihat suami keduanya itu baik-baik saja melalui liputan yang sering ditayangkan di televisi.
"Bro. Sorry... kita baru bisa jenguk lo sekarang. Tadi di sekolah ada ujian jadi kita harus mengikuti ujian terlebih dahulu baru ke sini," papar Vino.
"Iya."
"Tante keluar dulu. Dika, tolong panggil Mbok di luar."
Hemaria meminta tolong Dika memanggil pembantu rumah tangga Liam yang ada di luar. Setelah dia membuka pintu kamar tersebut doa melihat Yona dan Luna yang sedang berbicara bersama pembantu tersebut.
"Bi. Dipanggil Tante."
Mata Yona dan Dika saling menatap sinis, Yona merubah garapannya menjadi senyuman.
Di jam istirahat Luna bersama Yona juga menyempatkan diri untuk menjenguk Liam, sebagai buah tangan mereka membawakan buahan.
Lebih dulu Yona masuk ke dalam kamar rumah sakit yang ditempati oleh Liam mengikuti pembantu itu dan Dika. Luna masih ragu, dia deg-degan dan mencoba mengontrol perasaannya terlebih dahulu. Ketika dia ingin masuk Hemaria keluar, gadis itu tersenyum memberikan sapaan karena dia tahu wanita di kursi roda itu adalah ibu dari Liam.
"Temannya Liam?"
"Iya, Tan."
"Iya. Tante pernah liat kamu datang ke rumah. Kamu pacarnya?"
"Bukan...."
Tangan Luna mendadah, dia sontak kaget seperti seeorang yang dituduh mencuri.
"Hanya adik kelasnya di sekolah, Tante. Kenali aku Luna."
"Hemaria, Mamanya Liam."
"Nyonya, saya mau ke toilet sebentar. Kebelet."
"Hem... jangan lama-lama, Bi."
Luna ingat dengan perjanjiannya dengan Chan, dia memiliki ide untuk itu. Merawat Hemaria adakah salah satu dari isi perjanjian kontrak mereka.
"Bi. Jangan khawatir, biar aku yang akan menjaga Tante Hema. Tante, aku menjaga Tante, ya."
"Baiklah."
Luna membawa Hemaria keluar dari rumah sakit, dia berbicara banyak hal bersama wanita itu bahkan wanita itu menceritakan tentang Liam dan masa kecilnya. Luna mendengarkan semua cerita Hema, dia merekam semua cerita yang diceritakan oleh Hemaria.
"Liam anak pintar. Dia sangat mudah diatur tidak seperti kakaknya."
"Kak Liam memiliki Kakak?"
"Iya. Hem... sudah. Luna benar adik kelasnya Liam?"
"Iya."
"Kapan-kapan jalan ke rumah lagi. Dalam waktu dekat adalah hari ulang tahun Liam, seperti biasa dia akan mengadakan party di rumah. Mumpung Papanya tidak ada di rumah jadi dia bisa merayakannya, jika tidak mungkin hari ulang tahunnya akan sepi."
"Kenapa sepi, Tan?"
"Iya. Papanya tidak suka merayakan hal-hal yang membuang uang."
Hemaria membuat Luna tersenyum dengan pembawaan cara dia berbicara, Luna duduk di bangku yang ada di taman tepat di samping Hemaria. Mereka kembali berbicara, Mbok Iyem datang di pertengahan pembicaraan mereka mengajak Hemaria untuk kembali ke rumah.
"Tante pergi dulu."
"Iya. Bi tolong jaga Tante Hema."
"Mbok saja. Mbok pasti jaga."
Mereka berdua pergi meninggalkan Luna yang masih duduk di taman rumah sakit. Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah sakit menuju ke kamar Liam. Setelah masuk ke kamar tersebut tak ada satupun orang yang dia lihat kecuali pemuda yang dia sukai terbaring sedang bermain game.
"Lo. Ternyata lo ke sini."
"Semua orang kemana?"
"Kembali ke sekolah. Lihat saja jam."
Luna melihat jam di pergelangan tangannya, dia kaget karena jam sudah menunjukkan saatnya waktu untuk mengikuti ujian pelajaran berikutnya sudah dimulai. Wajahnya berubah menjadi kekhawatiran karena dia tahu dengan benar bahwa yang masuk saat itu adalah guru matematika yang memiliki sifat yang tegas.
"Aku pasti akan kembali di hukum."
"Tunggu!"
Kaki Luna mulai beranjak ingin keluar dari kamar tersebut, tetapi Liam memberhentikannya.