Luna membantu Liam turun dari tempat tidur rumah sakit, seperti janjinya gadis itu datang untuk mengantar Liam kembali ke rumah.
Lukman sopir pribadi keluarga Liam datang, dia membantu Luna membawanya masuk ke dalam mobil. Gadis itu ingin ikut masuk, tetapi Liam menahan langkahnya.
"Kamu gunakan taksi."
Luna menoleh ke belakang, dia melihat sebuah taksi yang tidak dia sadari sudah berada di belakang mobil berwarna hitam mengkilat milik Liam.
Lima menuruti perkataan pemuda itu, dia beralih ke taksi yang selalu mengikuti mobil hitam yang dikemudikan oleh Lukman. Taksi tersebut berhenti tepat di halaman rumah besar bak istana milik keluarga Walandra.
Luna seperti asisten, dia membawa barang-barang Liam ke rumah besar tersebut. Untuk pertama kalinya Luna masuk ke dalam kamar Liam yang besarnya sebesar ruang tamu rumahnya.
"Kamu sedang memperhatikan apa. Sekarang bantu aku untuk melepaskan sepatu dan jaket."
"Bukannya Kakak sudah baik-baik saja."
"Jangan banyak bicara."
Luna menarik sepatu Liam seperti seorang pembantu, dia juga melepaskan jaketnya, dia mengantarkan semua benda-benda tersebut ke dapur kepada Iyem.
"Tolong bawakan bubur ini untuk Den Liam sekalian. Ini susu dan obatnya."
"Iya, Mbok."
Luna membawa nampan yang berisi bubur dengan minuman juga obat tersebut, dia melangkahkan kaki menaiki tangga. Langkah kakinya berhenti, dia menoleh ke samping ke arah pintu dari sebuah kamar yang terdengar sunyi. Dia mendengar bunyi piano, terdengar samar dan suaranya alat musik tekan tersebut seakan membawa Luna teringat sesuatu di masa lalu karena musik yang dimainkan cocok untuk kenangan.
Salah satu tangan terlepas memegang nampan, dia mendaratkan telapak tangan kanan ke pintu yang berukuran besar berwarna coklat. Pintu tersebut terkunci,DiaSedikit menggedornya dengan mengeluarkan suara bertanya apakah ada seseorang di dalam. Bunyi piano terhenti setelah dia bersuara.
"Permisi...!"
Pintu tiba-tiba terbuka dengan suara yang sedikit menyeramkan seperti di film horor. Bulu kuduk Luna naik membuat dia mulai ngeri, tetapi karena rasa penasaran yang besar membuat dia memberanikan diri memasuki kamar tersebut. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang mendaratkan tangan di pundak kanannya. Dia kaget, lalu menoleh ke belakang dengan kedua bola mata yang membesar. Ternyata Iyem yang berdiri di belakangnya, wajah senyuman dia perlihatkan mengajak Luna ke kamar Liam karena pemuda itu memanggilnya.
"Den Liam mencari Non dari tadi. Jangan buat dia menunggu, bisa saja dia nanti marah karena ketika dan dia marah tidak akan ada orang yang bisa menahan emosionalnya."
Iyem mengambil nampan yang ada di tangan Luna, mereka berdua berjalan beriringan ke arah kamar Liam yang berada di ujung.
"Lo. Sekarang tolong kerjakan tugas gue. Setelah itu"
"Den mau ke mana?"
Iyem bertanya setelah melihat Liam memakai jaket dan mengikat tali sepatu dengan kaki yang diletakkan ke atas meja dekat sofa. Liam mengabaikan pertanyaan pembantunya, dia mengabaikan perkataan Iyem dan pergi meninggalkan kedua wanita yang berada di kamarnya tersebut.
Luna tidak ingin banyak bertanya di hadapan Liam, tetapi dia bertanya setelah pemuda itu pergi. Pertanyaan itu dia latangkan kepada Iyem.
"Ke mana dia, Mbok?"
"Biasanya kalau sudah menggunakan pakaian seperti itu berarti dia ingin nongkrong bersama teman-temannya di markas geng Dragon Little. Di sana adalah tempat perkumpulan teman-temannya."
"Motor?"
"Bukan. Den Liam memiliki sebuah komunitas pecinta senjata. Di sana ada berbagai jenis senjata tembak. Komunitas itu sudah diresmikan dan tidak legal karena di bawah pengawasan beberapa yang ahli dalam bidangnya."
Luna bertambah kagum mendengar sisi lain dari pemuda yang dia sukai. Senyuman keluar, dia membuat Iyem kebingungan dengan tatapannya yang mengarah ke sebuah vas bunga tetapi pikirannya berada pada Liam.
"Non suka ya sama Den Liam."
"Enggak. Jangan salah paham."
Iyem masih tidak percaya. Dia meninggalkan Luna di kamar itu dengan senyuman yang masih berseri. Gadis itu tersipu malu tidak bisa mengendalikan hati, dia jalan di tempat dengan kegeraman mengeluarkan suara hentakan kakinya di lantai.
"Semuanya terasa mimpi."
Luna membaringkan tubuh di atas kasur yang empuk milik Liam, dia mentelentangkan tangan menikmati kelembutan sprei seakan dia adalah seorang bintang iklan yang sedang mempromosikan sebuah produk sprei. Matanya terpejam menikmati kelembutan dari kasur tersebut.
Matanya terbuka setelah merasakan seseorang menghalangi cahaya matahari yang sebelumnya menerobos wajahnya. Akan tetapi, dia tidak melihat siapapun selain dirinya sendiri.
"Kenapa hawainya berganti menjadi menyeramkan."
Luna dari tempat tidur tersebut, dia mengerjakan tugas-tugas Liam yang belum dipelajari olehnya. Namun, dia memanfaatkan internet untuk mencari semua jawaban dari tugas-tugas milik pemuda yang dia sukai itu.
"Selesai."
Luna merapikan buku-buku dan meletakkannya ke atas meja belajar Liam. Dia mengambil sebuah foto dengan ukuran 5R yang ada di atas meja tersebut. Foto Liam yang stylish sedang berdiri di bawah sebuah pohon membuat Luna tidak bisa menahan hati untuk berkhayal tentang dirinya.
Ponsel berdering, suara dari ponsel tersebut membuat khayalannya terganggu. yang menghubunginya adalah Yona.
"Kamu ada di mana. Aku harap kamu tidak lupa dengan tugas kelompok yang diberikan oleh guru di sekolah."
"Iya."
Luna berjalan keluar dari kamar Liam sambil berbicara bersama Yona melalui sambungan telepon. Akan tetapi, keanehan kembali dia rasakan ketika melewati sebuah kamar yang tadi hampir dia masuki.
"Udah dulu. Bye!"
Luna mendekati kamar tersebut, dia nekat masuk setelah memperhatikan kiri dan kanan. Dia kagum dengan kamar yang dia masuki, gambar tersebut lebih besar dan super lengkap daripada kamar Liam.
"Wah... siapa yang tidur di kamar semewah ini. Ini sangat indah, lukisannya... wow...."
"Jangan pernah masuk ke kamar seseorang tanpa izin."
Luna kaget, dia mencari pemilik dari suara yang berbicara dengannya. Matanya menjelajah ke setiap sudut kamar tapi tidak menemukan siapapun. Lalu, dia mendengar suara air dari kamar mandi.
"Mungkin dia berada di dalam."
Luna berbicara dalam hati.
"Maaf. Hem... apa kamu yang tadi bermain piano. Bagus sekali, aku penasaran karena itu."
Luna tersenyum cengengesan. Dia merasa malu sekaligus bersalah karena masuk sembarang.
"Senyumanmu tidak akan bisa membuat masalah selesai. Senyuman itu pembohong, dan senyuman bisa membuat seseorang tampak bodoh."
"Aku tidak mengerti."
"Sudah aku katakan kalau tersenyum itu membuat orang bodoh."
Luna menghapus senyuman di wajahnya.
Keheningan terasa, Luna bersuara berdiri ke arah kamar mandi sambil meminta maaf sebelum dia keluar dari kamar tersebut. Namun, dia tidak mendapatkan respon apapun. Bunyi air yang sebelumnya dia dengar kini sudah berhenti, bergantian suara langkah kaki yang terdengar.
"Bersihkan kasurku. Hidup itu tentang hukuman dan keberuntungan. Kamu sudah melanggar suatu partikel dalam kehidupan, kamu harus membayarnya dengan rapikan kasurku."
"Kasur?"
Luna menoleh ke belakang. Sebelumnya dia melihat kasur tersebut rapi, tetapi ketika dia menoleh kerusuhan dengan bantal yang berserakan terlihat.
"Kenapa bisa begini."
"Baik."
Luna merapikan sprei dan bantal kembali ke posisi semula. Langkah kaki itu semakin dekat, jantungnya semakin berdetak kencang karena ketakutan dengan sosok yang akan keluar dari kamar mandi tersebut. Sesekali kedua bola matanya mengarah ke pintu kamar mandi.