Bima yang sejak tadi menatap layar gawai itu, kini beralih ke arah Ayu. Untuk yang kedua kalinya pak mantri itu menatap serius wajah Ayu, kemudian tersenyum manis menegangkan.
"Ih, Mas. Natap pembantu kok gitu, sih?" Gumam sasa membuyarkan fokus Bima, juga Ayu. Keduanya saling memalingkan wajah gelisah.
Kedua wajah yang baru saja saling menjauhkan tatapan itu tak luput dari penglihatan aneh Sasa. Ia menatap suami dan pembantunya secara bergantian, heran.
Kemudian dengan membawa wajah geram, sasa menunjuk wajah Ayu, juga disertai tatapan tajam. "Heh! Jangan sok cantik perempuan Desa, jangan coba-coba goda suamiku!" Desisnya memicingkan mata agar terlihat mengerikan.
"Sayang, udah, dong. Kamu tadi minta dia kemari cuma mau dimarahi begitu? Kasihan dia," Pak Mantri Bima memberikan pengertian pada sang istri, pria itu menatap tak enak ke arah Ayu. Proses itu juga tak luput dari tatapan kesal sasa. Ia mendengus.
"Udah. Ayu, kamu bersihkan ruang tamu ini sampai benar-benar bersih dan nggak berdebu lagi. Coba lihat ini." Sasa menyentuh permukaan meja, lalu memperlihatkan jemarinya ke depan Ayu. "Masih berdebu, kan? Aku nggak suka rumah yang nggak benar-benar bersih seperti ini."
"Iya, Bu." Ayu akan berbalik badan mengambil kemoceng di sudut ruangan, tetapi majikan baru itu kembali memanggilnya.
"Aku akan periksa kamar kami, jika masih belum layak. Kamu juga harus bersihkan ulang."
"Baik, Bu."
Sementara wanita cantik yang ternyata bawel itu pergi, Ayu bergerak membersihkan meja menggunakan kemoceng di tangan. Saat alat itu mengarah ke atas kursi, ia terhenyak karena gerakan tangannya berhenti akibat ada yang menggenggam.
Ayu mengerjap, menggerakkan sorot penglihatan menemukan pemilik tangan kokoh yang ternyata Pak Mantri. Ia tercengang melihat sosok rupawan itu tersenyum sangat manis, dan ... Saking kagetnya ayu menarik paksa, hingga terlepas dari genggaman sang pria tampan.
"Oh, maaf. Bukan maksud saya," Ucap pria itu dengan tutur kata yang benar-benar indah. Ayu sampai menahan nafas karenanya.
Mungkin hal itu terlalu bucin, terlalu lebay. Namun itulah kenyataannya, seorang Ayu sigadis desa yang sejak kecil belum pernah melihat pria setampan Pak Mantri. Saat ini ia langsung menyembunyikan tangan dan menyimpan pandangan.
"Maafkan istri saya, ya. Dia memang seperti itu," Ucap Pak Mantri lagi.
"I, iya, Pak Mantri." Suara Ayu mendadak gugup, dan setelahnya ia merutuk dalam hati. Bagaimana ia tak bisa menyimpan saja reaksi berlebihan itu. Dasar, dasar, dasar!
"Dan satu lagi, kamu nggak usah panggil saya Pak Mantri begitu. Kesannya malah terlalu formal."
"Hah?" Gumam Ayu langsung mendapat sambutan terkekeh dari sang mantri. "Lalu?" Tanya Ayu bingung sendiri. Ia hanya berharap Ibu cantik tadi tak segera kembali dan mengetahui interaksi tanpa kesengajaan ini. Jika wanita itu tau, tamatlah riwayat Ayu saat ini juga.
"Panggil saya Pak Bima saja," Jawab pria itu yang entah kenapa tatapannya masih berada di wajah Ayu. Membuatnya makin salah tingkah saja.
"Ba, baik, Pak."
"Ayu!" Nama terpanggil mendongak, sadar akan suatu kesalahan. "Udah belum yang disitu?" Teriak Sasa dari dalam kamar, ayu bingung, padahal tadi ia baru sempat membersihkan meja dan sebuah kursi saja. Belum yang lain.
"Belum, Bu. Sebentar lagi," Jawab Ayu ikut meninggikan suara, karena letak kamar yang terpisah ruang keluarga dari sini.
"Kok belum, sih? Ngapain aja kamu?" Suara tanya perempuan itu terdengar dekat, seiring dengan munculnya sosok dari balik tembok penyekat.
Ayu tergeragap, dalam hatinya bersiap untuk mendapatkan hukuman karena telah teledor dalam bekerja. Juga telah berinteraksi dengan suaminya. Namun, saat wanita tadi mendekat, dan ayu menoleh panik ke arah Pak Bima, pria itu telah duduk di kursi pojok dengan mata fokus ke arah gawai.
"Cepet beresin, habis ini kamu juga harus beresin kamar. Di sana pun masih berdebu," Titah sang majikan, dan tak ada alasan bagi Ayu untuk membantah. Tugasnya di sini adalah menjadi seorang pelayan. Apapun kata majikan harus ia jalankan dengan senang hati.
Baru beberapa jam ia bekerja dengan majikan baru, rasanya berbeda jauh dengan majikannya yang telah kembali ke kota asal. Jika dulu ia bisa bekerja dengan leluasa, karena kedua majikan sama-sama aktif di luar. Juga tak ada tatapan menegangkan seperti tadi.
Malam ini, Ayu menyiapkan makan malam dengan menata hati dan perasaan, agar tak mudah limbung. Ia segera menjauh saat pak Bima datang, bergandengan tangan dengan istrinya. Terlihat jelas bagaimana wanita cantik itu bergelayut manja di pundak sang suami.
Hati Ayu ikut membuncah, melihat sosok pria berbadan tegap yang malam ini hanya mengenakan kaos putih pendek ketat. Sehingga otot-otot di perutnya tercetak dengan jelas.
"Ayu," Pria itu memanggil, membuat Ayu terkejut bukan main. "Iya, Pak?"
"Kamu sudah makan belum?" Entah kenapa sempat-sempatnya seorang majikan bertanya begitu pada pembantunya, atau memang majikan satu ini selalu baik pada siapapun? Entahlah.
Ayu lagi-lagi bingung, sebelum menjawab terlebih dahulu melirik ke arah permaisuri sang majikan yang rupanya fokus pada layar gawai. Tak terpengaruh sama sekali dengan sikap suaminya itu.
"Belum, Pak. Saya nanti saja," Menjawab Ayu dengan berniat kembali membalikkan badan.
"Sekalian makan di sini saja," Ajakan itu tentu saja membuat langkah Ayu terhenti, menengok ke belakang, khawatir jika saja mendapatkan tatapan menakutkan dari Nyonya Sasa. Ternyata posisi wanita cantik itu masih sama.
"Terimakasih, Pak. Saya nanti saja," Jawab Ayu santun, ia segera kembali ke dapur. Pura-pura sibuk di sana.
Tak berselang lama, ia kembali dikejutkan oleh kehadiran Pak Bima yang tiba-tiba ke dapur membawa dua piring kotor. "Lho, Pak. Kok dibawa sendiri, ini kan tugas saya?" Tanya Ayu merampas piring itu dari tangan sang majikan.
"Nggak apa-apa, memangnya pria nggak boleh membawa piring kotor?"
"Oh, bukan begitu, Pak. Tapi, saya kan bisa ambil ke sana, bukan malah Bapak yang kemari."
"Nggak ada bedanya. Dan saya sekalian mau katakan, ternyata masakan kamu sangat enak, Ayu. Saya sangat menyukainya." Usai berkata demikian, Pak Bima pergi meninggalkan senyum indah yang membuat Ayu ternganga di tempatnya.
Jam sembilan malam, drama di meja makan tadi telah terlewat. Ayu kini bisa bernafas lega, tinggal melanjutkan tugas malam. Membersihkan ruangan mana saja yang ia rasa perlu dibersihkan. Aktivitas yang ia biasakan sejak pertama kali membabu di rumah dinas ini.
Kali ini, ia membersihkan ruang TV yang bersebelahan dengan kamar utama. Tiba-tiba Ayu dikagetkan oleh suara teriakan lirih Nyonya sasa berasal dari kamar sang majikan.
Teriakan yang terdengar bukan sedang merasakan kesakitan, tapi sebaliknya. Ayu si gadis lugu itu penasaran, karena selama tinggal di rumah ini, baru kali ini ia mendengarkan suara aneh majikannya.
Rasa penasaran itu mendorongnya mendekati kamar utama, hingga terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Ayu membelalakkan mata, meskipun tak melihatnya, tetapi suara itu mampu membuat seluruh badannya meremang aneh. Ia membekap mulut menggunakan kedua tangan. Bergegas pergi dari sana.
Malam pertama bersama majikan baru, serasa melewati ujian berat bagi seorang Ayu. Di kamarnya, ia mengumpat dalam hati, bisa-bisanya mendengarkan hal sensitif seperti tadi.
Sabar, Ayu. Ini baru permulaan. Akan lebih banyak ujian setelahnya, dan kamu harus selalu kuat. Juga ingat selalu pesan Ibumu. Ayu menyemangati dirinya sendiri, sambil menatap secarik kertas yang ia tempel di dinding kamar. Bertuliskan janjinya untuk mengumpulkan uang demi bisa kuliah nanti.
Pagi masih buta, Ayu telah bangun dan menyiapkan sarapan. Karena mungkin saja pak mantri akan mulai bekerja hari ini.
"Ayu," Suara seorang pria memanggil, Ayu menoleh. Rupanya, sang majikan mendekat dengan telanjang dada, hanya mengenakan celana boxer bawah lutut.
"Saya masuk angin. Tolong kerokin, ya."
***