Entah apa yang terjadi, ayu kembali memegangi kakinya dan merosot ke tanah. Bima pun tak menundanya, kembali mengangkat badan ramping itu. Mengabaikan tatapan aneh dari sang gadis.
Belum sempat Ayu melakukan protes, tiba-tiba badannya telah diletakkan di atas tempat tidur kamarnya. Ia terhenyak, membelalakkan mata tanpa berkedip. Melihat di depan mata itu, di atasnya, ada wajah Bima yang sedang melakukan hal sama.
Sama-sama saling menikmati momen beberapa detik itu, dengan wajah datar. Karena saking bingungnya hendak mereaksikan seperti apa lagi.
"Pak .... " Lirih Ayu yang tersadar lebih dulu setelah mengerjap beberapa kali.
"Ah, iya. Maaf." Hal yang sama juga dilakukan Bima, pria itu mendadak salah tingkah. Perlahan menjauhkan diri dari badan Ayu yang masih berada di bawahnya.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" Seperti orang bodoh, entah kenapa Bima menanyakan hal itu. Sementara telah jelas, Ayu saat ini tak sedang baik-baik saja.
"A, eh, saya .... " Suasana yang tak nyaman, membuat suara ayu pun bergetar aneh. "Saya nggak apa-apa." Ia palingkan wajah segera, sebelum hal lain terjadi lagi.
"Saya mau berangkat lagi," Ucap Bima, berpamitan seperti pada istrinya sendiri.
"Iya," Dan tak ada hal lain yang ia katakan, selain menyetujuinya. Memang siapa pria itu, ia hanyalah pembantu di rumah ini. Tak lebih, bahkan sang Nyonya besar telah mewanti-wanti padanya, ia tak boleh menggoda Bima.
Seharian ini, ia habiskan waktu di dalam kamar. Berbeda seperti dulu, setiap waktu makan ia akan sibuk di dapur untuk membuatkan makan Ibu dan ke empat orang anaknya. Lalu sekarang, di rumah ini ia seperti berada di rumah sendiri.
Tak ada kerjaan, tak ada majikan yang harus dilayani saat makan siang. Rumah ini sepi. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak itu saling sibuk dengan dunianya sendiri. Sang suami dengan dunia kesehatan, dan sang istri dengan dunia sosialitanya.
Hingga sore dan senja, masih belum ada majikan yang pulang. Ia jadi bingung, harus menyediakan makan malam atau tidak untuk mereka. Jika ia memasak, dan ternyata mereka pulang malam, siapa yang akan memakannya? Namun, jika ia tak memasak, dan ternyata mereka pulang?
Apa harus menelepon Pak Bima untuk menanyakan hal ini? Ah, memalukan sekali.
Saat hendak bergerak di dapur, ia dikejutkan oleh suara mobil berhenti di luar rumah. "Oh, mereka udah pulang?" Gumam Ayu seorang diri sambil berjalan dengan langkah kaki diseret seperti tadi pagi.
Namun, saat membuka pintu depan, yang muncul dari balik pintu hanya Bima seorang diri. "Apa kamu udah masak?" Tanya pria itu tiba-tiba saja.
"Hah? Belum, Pak. Saya tadi masih ragu, khawatir jika Bapak dan Nyonya pulang malam," Jawab Ayu apa adanya.
"Kamu nggak usah masak, saya bawa makanan dari luar." Pria itu menunjukkan kantong plastik di tangan kanannya. Tersenyum tak biasa ke arah pembantunya.
"Oh, iya, Pak. Tapi, Nyonya di mana?" Karena tak melihat ada orang lain di belakang Pak Bima, ia pun menanyakan.
"Dia mungkin pulang malam, atau bahkan besok," Bima menjawab santai, berlalu dari hadapan Ayu yang masih tertegun heran.
"Besok?" Gumamnya, Bima pun berhenti, kembali menoleh ayu yang masih berdiri di ambang pintu. Sesaat setelah mengamati gadis itu secara keseluruhan, ia kembali mendekat.
"Kakimu masih sakit? Mari saya bantu." Bima mengulurkan tangan, bermaksud untuk menuntun gadis itu. Namun Ayu segera menggeleng cepat.
"Nggak perlu, Pak. Saya bisa sendiri." Ayu berjalan terseok mendahului majikannya. Ia kembali diliputi perasaan tak menentu, jika nyonya tak ada di rumah, itu artinya ia akan tinggal berdua saja dengan pak Bima.
Sebelum pria yang berjalan di belakang itu memanggil, ayu cepat-cepat menyelinap masuk ke kamar. Meski dalam hati memang ada rasa senang bersama seorang pria tampan dan mapan, tetapi ia tak ingin menjadi sumber masalah dari rumah tangga mereka.
Ia tak ingin menjadi orang ketiga diantara mereka. Seumur hidup, tak pernah sedikitpun bermimpi demikian. Yang ibu ajarkan selama ini bukan seperti itu, melainkan menghargai sesama.
Kalaupun ingin menikah, ia harus menikah dengan pria lajang, bukan yang masih memiliki ikatan dengan siapapun.
"Ayu," Suara itu? Ia terkesiap, menoleh arah pintu tertutup dengan perasaan cemas luar biasa. "Ayu, ayo kita makan dulu." Suara pak Bima terdengar memohon, ia jadi bingung hendak menjawab apa.
Memang perutnya kosong, dan ia belum sempat memasak, karena jika majikan pulang malam, rencananya hanya akan membuat telur ceplok untuk dirinya makan. Tapi, jika kejadiannya seperti ini, apa yang sebaiknya ia lakukan?
"Ayu, tolong buka dulu pintunya," Pinta Pak Bima entah telah mengetuk pintu berapa kali. Maka, dengan ragu dan sangat terpaksa, Ayu melangkah mendekati pintu.
"Iya, Pak?"
"Kamu kan tadi nggak masak, ini aku bawa makanan. Kita makan dulu, ayo," Ajaknya seperti lupa bahwa Ayu hanyalah pembantu di rumah ini.
"Silahkan Pak Bima makan dulu, saya nanti saja, Pak," Ucap Ayu menolak secara halus.
"Lhoh, nggak apa-apa. Daripada saya makan sendiri di situ, kamu juga makan sendiri, kan? Daripada sendiri-sendiri, kan lebih bareng-bareng."
"Em, tapi, Pak?" Ayu menggaruk kepala yang tak gatal, bingung mau menolaknya dengan cara apa lagi. "Saya kan cuma pembantu. Masa harus makan bareng sama majikan, kan nggak etis, Pak."
"Kata siapa?" Pria itu malah menarik daun pintu yang dibuka sedikit oleh Ayu, kini jadi terbuka lebar. Ia tetap menghadang di tengahnya, karena mendadak mengkhawatirkan sesuatu yang tak jelas.
"Kata siapa, hm?" Bima mendekat, ayu mundur beberapa langkah. Disertai tatapan melebar tegang. "Bapak mau apa?" Tanya gadis itu. Adalah hal wajar ditanyakan, saat seorang gadis suci merasakan ancaman dari seorang pria.
"Kamu ini kenapa, sih? Pikiranmu kok negatif sekali, saya cuma mau ngajak kamu makan bareng di meja sana. Kok malah ketakutan kayak melihat hantu, aneh banget." Bima merutuk menjauh dari depan Ayu, gadis itu kemudian menarik nafas panjang. Melepaskannya perlahan, hal itu ia lakukan beberapa kali untuk meredam kecamuk pikiran tak menentu.
"Sudah ayo sini. Apa saya harus layani kamu?" Ketus suara Pak Bima menandakan bahwa tak ada tujuan apapun darinya, selain mengajak makan malam. Maka ia tersenyum salah tingkah, mendekat perlahan ke depan sang majikan.
"Kamu masih berfikir aneh tentang saya?" Tanya Bima, menatap heran pada gadis yang masih mematung di depannya. Ayu tak berani menjawab, hanya menggeleng cepat. "Maafin saya, Pak."
"Ya sudah, kamu duduk sini." Titah pria itu, dan ia harus menurut. Duduk di depan pak Bima, berhadapan, hanya ada meja memisahkan keduanya.
Tentang perasaan hati Ayu saat ini, jangan ditanya bagaimana. Ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri, sesekali menoleh ke arah ruang tamu. Khawatir bila sewaktu-waktu nyonya datang, dan melihat mereka berdua duduk berhadapan di sini.
"Kamu liatin apa di sana?" Tanya Bima, pria itu menghentikan aktivitas memakannya.
"Itu, kenapa Nyonya belum pulang?" Jawab Ayu, dalam hati memang sangat mengharapkan kedatangan majikan perempuannya. Ia akan lebih nyaman, jika ada teman sesama perempuan di rumah ini.
"Oh, sasa? Dia emang begitu, kadang pulang kadang enggak," Jima menjawab dengan memasang wajah lesu, mengundang rasa iba tersendiri dalam benak ayu.
"Kenapa?" Tanya Ayu makin penasaran, ia bahkan lebih merasakan cemas.
"Saya juga nggak tau. Dia sering pergi dengan teman-teman sosialitanya, tanpa saya tau mereka pergi ke mana." Bima menjeda kalimatnya, memang seperti ada beban berat tersirat dalam sorot mata tegas itu.
"Saya kadang bingung, gimana caranya agar dia mau berubah. Padahal kami sudah menikah selama lima tahun, dan dia tetap aja begitu," Tanpa disadari, pria berprofesi sebagai mantri di desa ini mencurahkan isi hati.
Sementara Ayu bingung harus memberikan tanggapan seperti apa. Ia takut salah.
"Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Ayo makan saja." Bima menggerakkan tangan, hendak membukakan kotak nasi di depan ayu. Pria itu tak sadar bahwa dalam waktu yang sama, tangan Ayu juga menuju tempat yang sama. Tangan keduanya bertabrakan di atas kotak nasi.
***