Chereads / Tak Ingin Jadi Pelakor / Chapter 7 - Mendengar Pertengkaran

Chapter 7 - Mendengar Pertengkaran

"Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Ayo makan saja." Bima menggerakkan tangan, hendak membukakan kotak nasi di depan Ayu. Pria itu tak sadar bahwa dalam waktu yang sama, tangan Ayu juga menuju tempat yang sama. Tangan keduanya bertabrakan di atas kotak nasi.

Untuk sepersekian detik, mereka saling menatap heran, dan Ayu yang lebih dulu menyadari. Gadis itu menarik tangan dari sana, menyembunyikannya di bawah meja dengan arah mata tak jelas hendak kemana.

Bima baru menyadari, ia memicing saat tangan ayu telah tak ada di sana. "Silahkan. Ini punya kamu," Ucapnya ikut menarik tangan, mengalihkannya dengan memegang sendok.

Ayu tersenyum nyengir. Keduanya kemudian menyuapi mulut dengan arah tatapan dan pikiran masing-masing. Tanpa ada satupun yang berani berbicara. Hingga acara makan malam usai, dan keduanya masuk ke kamar masing-masing.

Tengah malam, ayu terbangun karena mendengar ketukan pintu depan beberapa kali. Meski awalnya agak ragu, tetapi ia yakin, pasti Nyonya yang mengetuk pintu itu. Dan benar saja, saat ia mengintip dari balik jendela, di luar ada Nyonya sasa sedang berbicara dengan seorang pria bertato.

"Ayu, lama banget, sih?" Ruruk wanita itu saat Ayu membukanya.

"Maaf, Nya. Saya baru bangun," Tak perlu beralasan, ia harus memberitahukan pada majikannya itu, bahwa saat ini telah larut malam. Jadwalnya semua orang beristirahat.

"Mana Mas Bima?" Tanya Sasa celingukan ke dalam rumah yang telah gelap.

"Pak Bima sudah tertidur, Nyonya."

"Oh. Bagus, deh." Wanita itu kembali mendekati pria yang mengantarkannya. Dan tanpa punya rasa malu, mereka berciuman di depan Ayu yang langsung ternganga. Menutup mulut menggunakan kedua tangan.

"Hey, kamu kenapa? Ada yang aneh?" Suara Sasa menyadarkan Ayu dari rasa kaget, saat mengamati, ternyata mobil dan pria bertato tadi telah tiada.

"Eh, em, Nyonya?"

"Udah. Ayo masuk!" Seperti cuek saja, wanita itu berjalan melewati Ayu yang masih heran tak habis pikir. Sebenarnya, wanita seperti apa Sasa itu?

Kenapa sikapnya mengerikan sekali? Sudah punya suami, tapi masih dengan santainya keluar hingga tak tau waktu. Dan pulang dengan diantarkan pria asing.

Anehnya lagi, kenapa Pak Bima tak melarang istrinya berbuat demikian? Batin Ayu bertanya-tanya. Dalam langkah yang masih diliputi rasa heran, ia kembali masuk kamar dan terjaga.

Di tempat ini, setiap hari ada saja kejadian baru yang nyaris membuat jantungnya berdetak kencang. Beberapa saat memikirkan, ia kembali dibuat terkesiap oleh suara pertengkaran di ruang tengah.

"Kalau kamu tetap nggak mau berubah, jangan tanya kalau aku lama-lama bosan sama kamu!"

"Aku begini juga karena kamu, mas! Kamu yang nggak bisa bikin aku bahagia. Bisa-bisanya kamu malah ngancam?"

Terdengar jelas suara perdebatan antara suami istri itu. Ayu tertegun mendengarnya, memikirkan sebenarnya apa yang kurang dari keduanya? Yang pria tampan dan mapan, juga romantis seperti yang diinginkan para wanita pada umumnya. Yang perempuan juga cantik dan menarik.

Kenapa mereka malah saling menuntut seperti merasakan ada kekurangan dari masing-masing pihak? Namun, mengingat sikap sasa yang biasa saja berciuman dengan pria lain, mungkin itu yang jadi sebab suaminya makin geram.

"Itu karena kamu nggak pernah mau bersyukur, kamu selalu nuntut di luar batas kemampuan aku!" Masih terdengar pembelaan dari si suami di ruangan tengah sana.

"Pokoknya, aku nggak akan mau berubah, kalau kamu nggak bisa bikin aku bahagia, titik!" Setelah Sasa mengatakan itu, terdengar hentakan kaki dan melangkah cepat entah kemana. Karena yang terdengar adalah bunyi pintu tertutup kasar, hingga ayu yang ada di kamar ini berjingkit kaget.

Ayu melepas nafas penat, baru berapa malam ia berada di sini bersama Pak Bima dan Nyonya sasa? Jika selalu mendengar pertengkaran itu, bagaimana ia bisa tenang bekerja di sini.

Malam makin larut, saat dirasa tak ada lagi suara-suara dari sana. Ia memutuskan segera tidur, karena jika tidak, bisa dipastikan esok hari akan bangun lebih akhir.

Jam empat pagi, ayu terbangun karena desakan ingin ke kamar mandi. Tak seperti kamar majikannya, di sini ia harus keluar di pojok dapur untuk ke kamar mandi.

Usai menunaikan hajatnya, saat ia melewati meja makan, tanpa sengaja tatapannya menangkap sosok berbaring meringkuk di sofa panjang ruang tamu. Ia berhenti sejenak untuk mengamati, karena rumah yang tak cukup luas, menjadikan hampir setiap ruangan terlihat dari sini. Termasuk ruang tamu, dan kamar majikannya.

Perlahan ia mendekat, dan melihat sosok itu adalah Pak Bima. Ia memicing, kenapa bisa pria itu tidur di sini, tanpa bantal ataupun selimut? Apa karena pertengkaran semalam, lalu pak Bima memilih tidur di sini? Padahal udara di sini, setiap saatnya selalu dingin, apalagi malam hari.

Ia ingin membangunkan pria itu tetapi ragu. Namun saat dirinya akan pergi, Bima malah bergerak dan membuka matanya.

"Ayu?" Gumam pria itu masih setengah sadar, melihat Ayu yang masih mematung bingung di tempatnya. "Jam berapa ini?"

"Em, jam empat pagi, Pak," Jawab Ayu hati-hati, melihat pria itu menegakkan badannya, mengucek mata yang mungkin masih terasa berat.

"Kamu udah bangun, udah mau masak?" Tanya Bima lagi, Ayu yang tadinya masih ingin kembali ke kamar, ia mengangguk saja saat di tanya demikian oleh sang majikan.

"Boleh pinjam kamar kamu?"

"Buat apa, Pak?" Bodohnya pertanyaan Ayu, tiap kali berhadapan dengan majikan pria itu, detak jantungnya mendadak tak normal.

"Di sini saya nggak bisa tidur nyenyak, mumpung masih ada waktu sebelum berangkat kerja, saya ingin tidur di kamar kamu. Boleh, kan?" Wajah Pak Bima terlihat memelas, tak tega Ayu bila harus melarangnya. Apalagi pria itu tau, dirinya sudah tak menggunakan kamar lagi.

"Iya, Pak. Silahkan kalau begitu," Ucapnya kemudian, ia berlalu menuju dapur. Mengabaikan Bima yang berjalan mengekor di belakang. Memang jalan menuju dapur dan kamarnya searah.

Sementara pria itu masuk ke dalam kamarnya, ayu tertegun di dapur. Memasak untuk dua orang majikan sangatlah cepat, tak membutuhkan waktu lama. Setengah jam pun jadi. Kini, saat masih jam empat pagi, ia bingung mau mengerjakan apa. Apalagi suasana cukup dingin.

Maka, untuk mengusir rasa dingin itu, ia bergerak untuk melakukan apapun. Membersihkan rumah secara keseluruhan, hingga jam lima pagi. Baru setelah itu memulai memasak untuk makan pagi majikannya.

Jam setengah enam pagi, saat semua makanan telah siap. Meja makan itu masih sepi dari siapapun. Ayu penasaran, mengintip Pak Bima yang ternyata masih nyenyak di kamarnya.

"Pak, sudah siang," Mau tak mau ia harus membangunkan pria itu, dan Nyonya sasa entah kenapa belum kenari juga.

"Pak, bangun, Pak." Karena belum mendapatkan tanggapan, ia goyang-goyangkan badan itu hingga bergerak, menggeliat.

"Hm, sayang, jangan tinggalkan aku .... " Entah ditujukan pada siapa, Tiba-tiba tangan Ayu digenggam Pak Bima. Karena tenaga yang tak sebanding, hanya dengan satu tarikan saja, badan Ayu jatuh terjerembab menindih majikannya itu.

"Ya ampun, Pak. Apa-apaan, ini?" Ayu memekik kaget, jantungnya berdentam tak karuan saat pipinya merasakan kokoh dan hangat dada Pak Bima.

"Eh, Ayu? Maaf, maafkan saya. Apa yang terharu barusan?"Bima terlebih dahulu membantu ayu bangkit, lalu ia sendiri bangun. Duduk di tepi ranjang. Pria itu mengitari sekeliling dengan tatapannya, mungkin baru menyadari bahwa ia saat ini berada di dalam kamar Ayu.

"Apa Nyonya belum bangun?" Tanya Bima mengucek mata.

"Be, belum, Pak," Suara Ayu masih diiringi gerakan dada yang tak normal, membuat suaranya serak dan gugup.

"Jam berapa sekarang?" Tanya Bima lagi, pria itu bukannya segera keluar, malah sibuk bertanya ini dan itu, membuat Ayu makin salah tingkah.

"Sudah hampir jam enam, Pak. Makanan juga sudah siap di meja makan."

"Hey! Ngapain pada di sini?" Sebuah suara lantang membuat keduanya menoleh serentak.

***